Memperbaiki Sikap Umat Islam Tentang Persepsi Pemilu

Bookmark and Share
Oleh :  KH Muhammad Al Khaththath (Mantan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia - HTI)

Sekjen FUI

Dalam temu tokoh umat untuk mengangkat pemimpin Islam menuju kepemimpinan nasional yang diadakan AQL Islamic Center di Jakarta awal Desember lalu ada sedikit diskusi soal adanya pemahaman anti demokrasi berujung golput. Ustaz Bachtiar Nasir sebagai pemandu acara mengatakan bahwa sudah ada pertemuan dengan ikhwah yang anti demokrasi di tempat yang sama beberapa waktu lalu dan dicapai kesepakatan untuk saling memahami sikap dan pandangan masing-masing. Bahkan Ustaz Bachtiar sempat menunjuk saya sebagai salah satu dari kelompok anti demokrasi yang sudah hadir di pertemuan itu.

Tentu semua mata tertuju ke saya. Maka saya langsung bicara apa itu demokrasi dan dimana haramnya, yakni pada penerapan hukum buatan manusia kepada manusia. Namun bila DPR mengundangkan syariah Allah Yang Maha Kuasa, maka saya melihat itu bukan demokrasi, justru itu tuntutan tauhid sesuai penjelasan tafsir QS. At Taubah ayat 31.

Memang banyak yang masih berbeda persepsi tentang demokrasi dan pemilu.

Umumnya ulama menghukumi sistem demokrasi adalah sistem kufur dan haram menerapkannya. Namun dalam perjuangan mengubah sistem demokrasi kepada sistem Islam, di sini ada perbedaan. Ada yang mengharuskan jihad dan perang fisik melawan penguasa, ada yang membolehkan dengan cara mengikuti pemilu dan mengubah sistem bila sebuah partai Islam menang dalam pemilu.

Dalam hal mengambil pemilu sebagai jalan melakukan perubahan ini ada yang mengharamkannya dengan logika bahwa sistem demokrasi adalah sistem kufur, sedangkan pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi, maka mengikuti pemilu berarti mengikuti sistem kufur, maka haram hukumnya. Kelompok umat Islam yang punya persepsi seperti ini merasa lebih aman, lebih bersih, dan lebih suci mengambil sikap golput.

Banyaknya fenomena para pemimpin dan wakil rakyat hasil pemilu yang korup menguatkan sikap seperti ini. Namun bila kita melihat dengan persepsi yang lain, maka kesimpulannya bisa lain.

Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab termasuk yang tidak percaya kepada sistem demokrasi. Namun beliau punya pandangan bahwa NKRI ini, merujuk kepada pembukaan UUD 1945, bukanlah negara demokrasi, tapi negara musyawarah. Maka sebagai negarawmusyawarah, seharusnya produk hukum dan perundangan di Indonesia adalah syariat Islam. Untuk itu, partai Islam harus memperbaiki performance agar bisa dibedakan dari partai sekuler dan bisa menjadi wakil umat yang sejati.

Dalam acara silaturrahim DPP Partai Bulan Bintang yang dikomandani MS Kaban ke Markaz Syariah Petamburan beberapa waktu lalu, Habib Rizieq menegaskan bahwa keluarga besar FPI mendukung sepenuhnya untuk kemenangan partai Islam dalam setiap pemilu agar bisa mengundangkan syariah dan memperjuangkan kepentingan umat.


Dalam ijtima' ulama di Padang Panjang tahun 2009, Komisi A yang diikuti 114 ulama dari seluruh Indonesia yang dipimpin oleh KH. Ma'ruf Amin menghasilkan
rumusan ijtima' tentang penggunaan hak pilih dalam pemilihan umum sebagai berikut :

(1) Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita       bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

(2) Memilih pemimpin (nashbul Imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

(3) Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

(4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan          memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

(5) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang     memenuhi syarat hukumnya adalah haram.


Dan ijtima' ulama tersebut merekomendasikan agar umat Islam memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang mampu mengemban tugas amar ma'ruf nahi munkar.

Sayang sekali persepsi dan rekomendasi para ulama yang begitu bagus di atas tidak sampai secara jelas kepada umat Islam. Bahkan ada distorsi media massa
liberal bahwa MUI sekedar memfatwakan wajibnya ikut pemilu dan haramnya golput. Akibatnya umat tidak menjadikan fatwa dan rekomendasi tersebut sebagai
pedoman dalam mengikuti pemilu 2009 secara tepat dan benar.

MUI memang tidak cukup daya untuk menyampaikan fatwa dan rekomendasi itu kepada umat secara merata.

Sementara parta-partai Islam yang paling berkepentingan terhadap fatwa dan rekomendasi itu tampaknya tidak mengambil langkah yang signifikan. Wajar kalau akhirnya mereka kalah telak.

Bila partai Islam ingin menang dalam pemilu 2014, mereka seharusnya memberdayakan fatwa dan rekomendasi ulama di atas untuk memperbaiki persepsi umat tentang pemilu.

Khususnya kepada kalangan awam agar mereka tidak terbujuk oleh money politic dan tampilan kaum tidak beriman yang kini mulai merangsek maju di ranah politik setelah fenomena Jokowi Ahok.

Perlu juga diingatkan bahwa sikap golpul sebagian umat juga telah memberikan tiket gratis kepada kaum tidak beriman menguasai negeri ini. Bukankah ini haram? Oleh karena itu, mari satukan tekad perbaiki persepsi umat tentang pemilu untuk songsong kemenangan Islam.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar