Beberapa Pandangan Golput Menurut Islam Dalam Pesta Demokrasi

Bookmark and Share
Fatwa Golput : Isyarat Gagalnya Demokrasi
 
Oleh : Ustadz Felix Siauw

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat dikejutkan dengan fatwa baru MUI hasil ijtima ulama di Padang Panjang awal tahun 2009, yaitu 2 fatwa yang muncul ke permukaan, yaitu fatwa haramnya rokok (dengan beberapa catatan) dan fatwa haramnya golput (golongan putih) atau golongan yang tidak menggunakan hak pilihnya ketika proses pemilihan umum. Dikutip dari naskahnya, fatwa itu berbunyi sebagai berikut:

1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

3, Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat.

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Selanjutnya fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.

Di masyarakat dan kalangan politik pun muncul pro dan kontra ataskeputusan, ini. Nah, to the point, sampai saat ini saya juga belum mendapatkan detail dalil yang dipakai oleh MUI untuk menelurkan fatwa ini, tetapi kita akan sedikit membahas, seperti apa indikasi yang ditunjukkan oleh fatwa ini.

Pertama, kita harus memahami terlebih dahulu, bahwa pemilu itu sendiri ada 2 jenis, yaitu pemilu legislatif dan pemilu pemimpin. Pemilu legislatif dalam Islam adalah akad wakalah, atau akad perwakilan, yang mempunyai 4 rukun yaitu adanya: yang mewakilkan, wakilnya, perkara yang diwakilkan, dan ucapan (redaksi) perwakilan. Jika semua rukunnya dipenuhi maka akad perwakilannya sah, apabila salah satunya tidak dipenuhi, maka akadnya menjadi tidak sah (bathil).

Yang menjadi masalah, dalam memilih wakil rakyat yang akan duduk di kursi legislatif, akad perwakilan ini menjadi bathil, karena ada satu rukun yang bermasalah, yaitu rukun “perkara yang diwakilkan”. Ketika kita mewakilkan kepada wakil rakat, maka wakil rakyat itu nantinya akan melakukan tugasnya atas perwakilan dari kita, apa saja tugas wakil rakyat: (1)fungsi legislasi (membuat hukum), (2)fungsi anggaran, dan (3)fungsi mengoreksi penguasa. Dalam pandangan Islam,hak membuat hukum hanyalah milik Allah semata, sehingga tidak diperbolehkan bagi manusia untuk melakukan fungsi itu

Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Allah (TQS Yusuf [12]: 40)

Singkatnya, ketika kita memilih wakil rakyat, sesungguhnya kita sedang memberikan perwakilan pada mereka untuk melakukan dosa yangsangat besar, yaitu membuat hukum bagi manusia, atau menjadi tandingan Allah sebagai satu-satunya yang layak untuk membuat hukum. Ini perkara yang sangat bathil

Dan siapa yang tidak berhukum dengan aturan yang telah diturunkan oleh Allah, maka itulah orang-orang yang kafir (TQS al-Maaidah [5]: 44)

Adapun pemilihan pemimpin, maka ini adalah perkara yang wajib didalam Islam, dan Islam mengharuskan adanya pemimpin bagi jama’ah kaum muslim. Dan sangatlah tegas, di dalam Islam, pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang ta’at pada Allah dan Rasul-Nya serta memimpin dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian, dan bila kalian berselisih tentang segala sesuatu,maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hal seperti itu lebih utama dan lebih baik akibatnya (TQS an-Nisaa [4]: 59)

dan pemimpin ini pun telah dibatasi oleh rasulullah baik jumlahnya maupun sistemnya, pemimpin yang dimaksud wajib untuk mengadakan dan mengangkatnya disini adalah khalifah yang satu untuk seluruh kaum muslim, sebagaimana yang dimaksud dalam hadits rasulullah saw.

Dulu Bani Israil diurus urusannya (tasusu) oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, Nabi yang lain menggantikannya.  Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, yang berjumlah banyak” Para sahabat bertanya “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. Bersabda: “Penuhilah baiat yang pertama saja dan yang pertama saja (satu khalifah suntuk seluruh kaum muslim), dan berikanlah kepada mereka hak mereka (ketaatan).  Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus (HR. Bukhari)

Sehingga dapat kita fahami, dalam dalil-dalil diatas dan masih banyak lagi dalil yang lainnya,maka pemimpin yang dimaksud dalam Islam adalah pemimpin yang satu untuk seluruh muslim, menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam suatu bingkai sistem kepemimpinan yang dinamakan khilafah. Inilah yang wajib untuk diadakan dan diperjuangkan.

Fakta yang terjadi saat ini, pemimpin yang dipilih dalam sistem sekuler (sistem yang dipakai hampir di seluruh dunia, termasuk negeri kita), adalah pemimpin yang akan menerapkan hukum sekuler, yaitu thaghut pengganti hukum Allah. Fungsi pemimpin dalam sistem tidak ubahnya seperti masinis yang menjalankan keretanya, rel dan tujuannya takkan pernah berubah walau pemimpinnya soleh. Atau mudahnya, ketika kita memilih pemimpin untuk menerapkan sistem thaghut ini, maka sesungguhnya kita telah berkontribusi pada setiap penyelewengan syariah yang dilakukan oleh pemimpin.

Bila MUI lalu menyampaikan bahwa haram golput selama masih ada pemimpin yang amanah, pertanyaan kita, adakah pemimpin yang amanah yang mau memperjuangkan syari’at Islam?! jangankan memperjuangkan, adakah yang terbuka dengan jelas mengatakan keinginannya untuk mengambil amanah dari Allah untuk memperjuangkan syari’at Islam?! Padahal dengan jelas amanah yang dimaksud dalam al-Qur’an yaitu menjadi pengelola di bumi dengan apa yang Allah berikan yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia (TQS al-Ahzab [33]: 72)

Berdasarkan semua dalil diatas, jika pemimpin ini adalah pemimpin yang tidak menerapkan Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah), dan tidak menggunakan bingkai sistem khilafah untuk seluruh kaum muslim, maka bukan seperti ini pemimpin yang diwajibkan oleh Islam untuk mengangkatnya.

Kedua, fatwa golput ini setidaknya menunjukkan beberapa indikasi, yaitu :

a) tekanan yang besar kepada pihak MUI untuk merealisasikan fatwa golput ini, sehingga fatwa dikeluarkan tanpa melihat dasar hukum dan kondisi tempat berlakunya fatwa. Ilustrasinya begini, ada seseorang yang berada di diskotik dimana pemimpinnya adalah DJ, kemudian ketika terjadi protes kepada DJ lantas ada orang lain yang menyerukan “taat pada pemimpin adalah wajib!”. Sama seperti kondisi saat ini, hukum dan dalil Islam diterapkan pada kondisi dan dasar sekuler.

(b) indikasi bahwa demokrasi telah gagal mengatur dan mengelola ummat, ummat semakin menyadari, bahwa pemilu lima tahunan ini dan pemilu apapun bentuknya adalah sebuah siasat untuk memperdaya dan seolah-olah bertindak atas nama ummat, pemilu hanya digunakan untuk mendapatkan legitimasi dari ummat, padahal ummatlah yang paling dirugikan dengan semua keputusan yang diatasnamakan ummat. Demokrasi sesungguhnya hanyalah sebuah slogan persamaan, slogan yang seolah menaruh ummat pada posisi utama, dan ummat sudah menyadari bahwa demokrasi tidak lebih adalah propaganda yang hanya ada ketika kampanye saja.

(c) golput juga menunjukkan suatu pertanda keputusasaan elit politik yang tidak pernah melakukan proses edukasi kepada masyarakat, sehingga ini termasuk langkah panik mereka. yaitu menggunakan kekuasaan dan persuasi agama, yang lucunya agama itu selalu mereka kesampingkan ketika beraktivitas di parlemen. buruknya kinerja partai politik, parlemen dan pemerintah harusnya yang menjadi perhatian, bukan ummat Islam yang golput, karena golputnya ummat adalah karena korban buruknya kinerja partai, parlemen dan pemerintah

Maka sesungguhnya tidak ada tempat berharap bagi kaum muslim kecuali kepada sistem yang Allah turunkan yaitu sistem Islam yang berbasis pada ak-Qur’an dan as-Sunnah. Marilah tetap pada perjuangan semula, menegakkan kepemimpinan Islam yang menerapkan Islam, yang bangga kepada Islam dan mencintai ummat Islam sebagaimana ummat Islam mencintai mereka. Maka ini tidak akan didapat, kecuali dalam bingkai daulah khilafah rasyidah.

wallahu a’lam bi ash-shawab

============
Sumber: http://felixsiauw.com/home/fatwa-golput-isyarat-gagalnya-demokrasi


HUKUM TIDAK IKUT PILKADA, PEMILU, GOLPUT DALAM PANDANGAN ISLAM
Pertanyaan :   Ustadz jika tdk ikut memilih dlm Pilkada, apa dihukum bersalah?

Jawaban Oleh Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc, MA: (Disusun Di BBG Dewan Hadits: Tanya Jawab Masalah 247)

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bismillah. TIDAK BERDOSA jika tidak ikut dalam pilkada atau pemilu, karena itu hukum asal berpartisipasi di dalam PEMILU / PILKADA adalah TIDAK, kecuali dalam kondisi tertentu yang mana pertimbangan adanya maslahat dan tercegahnya mudharat yang lebih besar untuk Islam dan Muslimin hanya ada pada ikut serta dalam pemilu atau pilkada tsb, maka hukumnya menjadi BISA, menurut pendapat sebagian ulama.

Hal ini sesuai dengan kaidah syari'ah yang menganjurkan kita agar mengambil dan memilih madharat yang paling ringan diantara 2 madharat yang ada (Akhoffu Dhororoin) ketika kita dihadapkan dengan hal dan kondisi yang tidak mungkin lepas dari adanya madharat. Dan juga ada sebuah kaidah syari'ah yang berbunyi: (Idza tazaahamat al-mafsadataani urtukiba adnaahuma) Artinya : "Apabila saling berdesakan / berhadapan antara 2 mafsadat (dalam satu hal dan satu waktu) maka hendaknya yang diambil / dipilih adalah mafsadat yang paling ringan diantara keduanya."

Akan tetapi, dalam menentukan dan menimbang antara maslahat dan mafsadat ini, hendaknya dikembalikan kepada para ulama robbani yang dikenal akan ketakwaan, ilmu, dan sikap kehati-hatiannya. Bukan ditentukan oleh setiap orang yang awam yang tidak paham ilmu agama, dan jauh dari ketakwaan. Dan para ulama robbani yang ada di suatu negeri atau daerah, merekalah yang paling paham dan mengerti tentang kondisi negara dan daerahnya. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat dipahami dan menjadi ilmu yg bermanfaat. 

Wallahu a'lam bish-showab. Wabillahi at-taufiq.
===============


Pemilu - Satu Pilihan yang Ekstra Sulit

Beberapa waktu lalu (dan juga sampai sekarang), bahasan partisipasi kaum muslimin dalam Pemilu sempat menghangat. Menghangat karena memunculkan satu hal yang dianggap 'baru' - walau sebenarnya tidak baru - yang 'dianggap' bertentangan dengan mayoritas sikap kaum muslimin (salafiyyun) tanah air yang memutuskan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Dimunculkanlah beberapa fatwa yang kurang 'populer' dari para ulama Ahlus-Sunnah. Padahal, fatwa-fatwa tersebut benar adanya dan punya landasan yang layak untuk dipertimbangkan . Tidak perlu hati ini bergegas angkat bicara kontra. Taruhlah misal Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimin, Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzan, ataupun para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daaimah Saudi Arabia yang memang memfatwakan kemampuan berpartisipasi dalam Pemilu. Sedangkan di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Rabi, dan yang lainnya memungkinkan pendapat dengan para ulama tersebut.

Berbicara tentang Pemilu, saya pikir tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai demokrasi. Pemilu merupakan salah satu produk utama sistem demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai kekuatan utama dalam proses pengambilan keputusan dengan prinsip mayoritas-minoritas. Demokrasi sangat bertentangan dengan Tauhid Rububiyyah dalam hal hukum dimana Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak membuat dan menetapkan hukum (syariat). Allah ta'ala berfirman :

إن الحكم إلا لله 
"Hasil (hukum) itu hanyalah milik Allah" [QS. Yusuf: 40].

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" [QS. Al-Maaidah: 44].

Saya yakin kita semua sepakat dengan bathilnya sistem demokrasi menurut kaca mata syari'at jika ditilik dari sisi ini. Pun jika kita lihat dari Pemilu itu sendiri, tidak akan jauh berbeda dari demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme dalam memilih wakil-wakil rakyat yang akan merumuskan beberapa hukum dan peraturan yang akan diterapkan terhadap warga negara.

Jika kita telah sepakat bahwa demokrasi itu haram, maka segala sarana (perantara) yang dapat mewujudkannya pun otomatis dihukumi haram. Bukankah kaidah telah mengatakan "hukum sarana itu sesuai dengan hukum tujuan" . Belum lagi prinsip mayoritas-minoritas yang membuat semua manusia dalam satu posisi yang sama, bertentangan dengan 'aql (akal), apalagi naql (dalil). Pemilu (dan juga demokrasi) telah menyamakan semua golongan dalam satu posisi, apakah ia seorang laki-laki, wanita, 'alim, jahil, shalih, atau fajir.


واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون من الشهداء

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang pria, maka (bisa) seorang pria dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridlai " [QS. Al-Baqarah: 282].

قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون إنما يتذكر أولو الألباب 

"Katakanlah:" Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? " Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran " [QS. Az-Zumar: 9].

أفمن كان مؤمنا كمن كان فاسقا لا يستوون 

"Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama " [QS. As-Sajdah: 18].

Ketika 'suara' dari orang-oang tersebut dikumpulkan, diumumkanlah pemenang berdasarkan suara terbanyak. Bila suara preman lebih banyak, jadilah ia pemimpin dan apa yang ia tetapkan dapat menjadi hukum yang berlaku bagi manusia. Jarang rasanya didapatkan - dari pengalaman yang ada - bahwa suara seorang 'alim (ulama) itu menang dalam sistem mayoritas-minoritas, karena Allah telah menjelaskan kehendak kauniy -nya bahwa secara kuantitas, orang-orang beriman itu lebih sedikit dari orang-orang yang tidak beriman.


إنه الحق من ربك ولكن أكثر الناس لا يؤمنون 

"Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman" [QS. Huud: 17].

وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah" [QS. Al-An'am: 116].

Bathilnya Pemilu hampir bisa ditetapkan secara aklamasi. Tidak lain karena faktor yang menjelaskan kebathilannya sudah sedemikian terang.

Namun perkaranya menjadi 'panjang' (untuk didiskusikan) ketika pendapat yang menyatakan kemampuan ikut Pemilu adalah dengan alasan memilih mafsadat yang paling ringan di antara dua mafsadat . mafsadat yang dianggap lebih ringan adalah keikutsertaan dalam Pemilu, dan mafsadat yang lebih berat adalah terwujudnya peraturan hukum yang tidak sesuai dengan syari'at Islam atau terpilih seorang pemimpin kuffar. Dengan kata lain, ikut serta dalam Pemilu adalah sebuah alasan yang bersifat dlaruriy .

Jika semua umat Islam golput, lantas siapa yang akan memperjuangkan nilai-nilai Islam di legislatif. Bukankah jika demikian, kaum kuffar akan semakin leluasa membuat peraturan perundangan yang menguntungkan mereka dan merugikan umat Islam? Bukankah satu titik cahaya itu lebih baik dari gelap gulita sama sekali? Atau, ..... jika semua umat Islam golput, bukankah ada kemungkinan kita akan dipimpin oleh penguasa kafir?

Inilah barangkali pertanyaan yang menggelayuti pihak yang memungkinkan Pemilu. Dan pertanyaan seperti di atas pun tidak mudah untuk segera dijawab oleh pihak yang kontra Pemilu. Sama halnya ketika Asy-Syaikh Shaalih As-Suhaimi hafidhahullah ber- tawaquf (abstain) ketika ditanya pertanyaan serupa, sebagaimana pernah saya dengar dalam sesi satu tanya-jawab dalam sebuah siaran radio. Di sini ada satu mafsadat yang berputar pada sisi yang berbeda. Pertanyaan di atas lahir akibat adanya penerapan sistem demokrasi. Ketika kita masuk atau 'menyepakati' sistem tersebut, maka secara spontan pertanyaan di atas pun lahir.

Celakanya, itu merupakan realitas yang disepakati oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Obrolan punya obrolan, .... mungkin ada beberapa musykilat yang bergabung pendapat ini. Jika ada seorang yang beralasan bahwa keikutsertaan kita adalah sebagai perwujudan kaidah memilih mafsadat yang paling ringan di antara dua mafsadat ; bukankah ada kaidah lain yang juga patut kita perhatikan bahwa kerusakan / bahaya itu wajib untuk dihilangkan ( الضرر يزال). Jika kita menyadari bahwa Pemilu itu semula adalah satu mafsadat dan kemudian kita memutuskan untuk mengambil mafsadat tersebut dengan alasan dlarurat , tentu saja kita harus berusaha sekuat tenaga untuk segera keluar dari hal yang kita anggap dlarurat itu. Dlarurat itu harus segera dihilangkan, bukannya malah dilanggengkan . Kita gunakan hal mafsadat tersebut sekedarnya saja, seperti halnya kita harus bangkai. Kita memakannya dengan penuh keengganan dan kebencian, dan kemudian terus berusaha mencari jalan mendapatkan makanan halal. Kalau kita lihat kenyataan yang ada, banyak orang yang berkecimpung dalam Pemilu justru menjadi lupa. Bahasa tubuh mereka seolah-olah menyiratkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah mubah (atau bahkan disyari'atkan) secara asal. Kata bahwa mereka melakukannya dengan alasan dlarurat , mengambil mafsadat yang paling ringan diantara dua mafsadat hanya sebagai penghias bibir dan bahan debat ketika berhadapan dengan orang yang berseberangan dengannya. Iya apa iya? Tentu saja ini di luar yang diinginkan para ulama. Ini sudah keluar pakem menurut saya.

Taruhlah kita terima bahwa kita mengambil pendapat untuk ikut serta pada kancah Pemilu adalah untuk mengambil mafsadat yang paling ringan diantara dua mafsadat dalam kerangka dlarurat - yang bersamaan dengan itu kita tetap berusaha keluar dari sistem bathil tersebut; inipun juga mustahil bisa terwujud. Mengapa? Ketika kita ikut serta dalam Pemilu, maka dengan itu kita telah berpartisipasi untuk melestarikan sistem yang bathil tersebut. Betapa tidak? Suara yang kita berikan tersebut akan menghasilkan seseorang yang duduk badan legislatif yang di situ poros demokrasi hukum dilaksanakan. Mewujudkan seorang perwakilan di badan legislatif berarti kita 'setuju' dengan segala aturan main di dalamnya. Tentu saja ikhwah semua menyadari bahwa dalam demokrasi, semua paham dan pendapat itu diperbolehkan, kecuali ketidaksepakatan akan demokrasi itu sendiri. Keberadaan 'wakil rakyat' pilihan kita itu saja sudah merupakan kemustahilan untuk melenyapkan sistem demokrasi dengan segala turunannya. Keberadaannya justru merupakan upaya legal terhadap kelanggengan sistem demokrasi.

Tentu saja pertanyaan menjadi: "Bagaimana kita bisa menghilangkan kemudlaratan sedangkan di sisi lain kita sepakat untuk melestarikan kemudlaratan itu?" . Padahal demokrasi itu satu kemunkaran yang sangat besar di sisi syariat.

Ingat ikhwah, .... di majelis tersebut tercampur juga Yahudi, Nashrani, atheis, penyembah berhala, filosof, sosialis, dan yang lainnya. Bisakah nilai-nilai Islam diperjuangkan dan nilai-nilai kekafiran dihilangkan di majelis demokrasi tersebut? Merembet-merembetnya juga akhirnya ke masalah Pemilu juga kan?

Kembali ke pertanyaan sebelumnya:

Jika semua umat Islam golput, lantas siapa yang akan memperjuangkan nilai-nilai Islam di legislatif. Bukankah jika demikian, kaum kuffar akan semakin leluasa membuat peraturan perundangan yang menguntungkan mereka dan merugikan umat Islam? Bukankah satu titik cahaya itu lebih baik dari gelap gulita sama sekali? Atau, ..... jika semua umat Islam golput, bukankah ada kemungkinan kita akan dipimpin oleh penguasa kafir?

Jika kita berpikir on the spot , maka kita akan paham fatwa sebagian ulama yang memungkinkan berpartisipasi dalam Pemilu beresensi amar ma'ruf nahi munkar atau memilih mafsadat terkecil di antara dua mafsadat . Satu fatwa yang lahir untuk menyikapi kenyataan yang terjadi di banyak negara Islam akibat kebodohan manusia di dalamnya dimana mereka menerapkan atau menyepakati satu sistem yang salah. Namun, ini juga tidak mutlak berlaku dalam semua kondisi.

Jikalau saja partai yang ada hanya ada dua, yaitu partai Islam dan partai Kafir; tentu opsi ini bisa lebih mudah dipertimbangkan. Atau kasus serupa, jika ada dua calon pemimpin, yang satu muslim, dan yang lain kafir. Tapi kenyataan yang ada kan tidak seperti itu kan? Apalagi ditambah track-record dari para wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu / demokrasi yang tidak bisa dikatakan bagus, menambah semakin rumit dan kompleksnya pembahasan ini.

Adapun sebagian ulama yang tidak memungkinkan, mereka melihat asal hukum dan kemustahilan dihilangkannya mafsadat ketika kita sudah berkecimpung di dalamnya.

Sebenarnya pembahasan mengenai ini tidaklah seringkas dan sesederhana di atas. Banyak saling-silang pendapat, protes sana dan sini, sebagaimana yang telah beredar di banyak buku dan situs web. Saya tidak ingin menambah runyam perselisihan yang ada. Untuk ikhwah yang mengikuti pendapat sebagian ulama yang memungkinkan mengikuti Pemilu, saya harap antum jangan tinggalkan peringatan kepada umat bahwa demokrasi dan pemilu itu adalah bathil. Peringatkan pula penyakit yang lazim menyertai hal ini, yaitu: tahazzub dan ta'ashub . Silakan dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga tidak membuat orang terlena dengan menganggap hal itu sebagai satu hal yang mubah secara asal. Dan untuk ikhwah yang mengikuti pendapat tidak memungkinkan ikut serta dalam Pemilu, maka satu saat - jika ada maslahat yang benar-benar jelas dan nyata (bukan hanya sekedar dugaan tanpa melihat pengalaman dan realitas yang telah terjadi, berdasarkan keterangan dari para ulama) - pendapat ( ijtihad) yang memungkinkan Pemilu dapat dipertimbangkan sebagai pilihan.

Adapun saya - melihat kondisi dan realitas sosial politik serta orang-orang yang telah berkecimpung di dalamnya - rasanya lebih nyaman untuk tidak ikut Pemilu. Minimal untuk sementara waktu ini.

Akhirnya, ......... tidak diperbolehkan adanya perpecahan dan sikap saling cela kepada orang yang berseberangan, karena permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadiyyah yang membuka ruang perbedaan pendapat.

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/pemilu-satu-pilihan-yang-ekstra-sulit.html

Wallaahu a'lam .

Abul-Jauzaa '- di Sardjito, Yogyakarta, Rabi'ul-Awwal 1430 H.


NB : Apa yang tertulis di sini tentu saja tidak ingin mendukung sebagian harakiyyun yang juga menganjurkan mengikuti Pemilu. Perbedaannya jelas. Mereka mengatakan demokrasi sesuai itu sesuai dengan syari'at Islam. Mereka pun mengajak bertahazzub dan berta'ashub melalui perantaraan itu. Meskipun di satu sisi mereka dan ulama Ahlus-Sunnah memiliki kesamaan; namun di sisi lain, perbedaan mereka jauh lebih besar dan mendasar.

==========================

Hukum Demokrasi dan Golput Dalam Pandangan Islam

Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) menyelenggarakan acara "IJTIMA’ ULAMA DAN TOKOH ISLAM" membahas tema “Hukum Demokrasi dan Golput Dalam Pandangan Islam”.

Acara tersebut dilaksanakan mulai jam 9.00 pagi sampai jam 15.00 sore, bertempat di Ruang Pendidikan, Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Acara dihadiri oleh Ust. Abu Bakar Ba'asyir, Ust. Abu Jibriel, Ust. Mush’ab Abdul Ghaffar (editor Kafayeh Media, pengganti Ust. Aman Abdurrahman dalam acara tersebut), dan Ust. Labib (pengganti Ust. Ismail Yusanto).

Mereka diundang dalam acara tersebut sebagai pemakalah. Sebagai penanggap, hadir beberapa tokoh Islam yaitu: Dr. Jose Rizal Yurnalis Sp Oth, Ust. Fauzan Al Anshary, Achmad Michdan SH MH, Ust. M. Al Khaththath, dan Ust. Zulkifli M. Ali Lc.

Beberapa tokoh Islam lainnya juga diundang dalam acara tersebut namun berhalangan hadir, yaitu: KH Hasyim Muzadi, Ust. Aman Abdurrahman (ada pengganti), Ust. Syuhada Bahri, Ust. Ismail Yusanto (ada pengganti), dan Ust. Din
Syamsudin.

Sementara dari penanggap, tokoh-tokoh yang berhalangan hadir adalah:
Bpk Amin Rais, Ust. Hartono Ahmad Jaiz, Ust. Arifin Ilham, Ust. Ahmad Dedat, dan Ust. Abu Rusdan.

Ustadz Jel Fathullah bertindak sebagai moderator dalam acara tersebut.

Ijtima tersebut akhirnya menghasilkan keputusan sebagai berikut:

1. Sistem DEMOKRASI adalah SYIRIK AKBAR dan KUFUR AKBAR, hukumnya HARAM

2. GOLPUT dalam sistem demokrasi hukumnya WAJIB

3. Sistem DEMOKRASI akan menjerumuskan rakyat kepada KEMUSYRIKAN

4. Harus ada pencerahan / sosialisasi tentang konsep SYARI’AT ISLAM terhadap pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia

5. Agar umat Islam lintas lembaga / ormas dan tokoh agama islam bersatu untuk menegakkan SYARI’AT ISLAM dan menghapus sistem jahiliyah

6. Pada seluruh ulama’ dan muballigh diamanahkan untuk menyampaikan pentingnya penegakan syari’at Islam dengan mensosialisasikan hasil ijtima’ ulama’ dan    tokoh Islam yang diadakan oleh KPSI pusat

7. Menolak pandangan sebagian umat bahwa tidak ikut pemilu (GOLPUT) itu hukumnya haram

Keputusan tersebut ditandatangani oleh :
1. Ust. Abu Bakar Ba’asyir
2. Ust. Abu M. Jibriel Abdul Rahman
3. Ust. Mush’ab Abdul Ghaffar
4. Ust. Fauzan Al Anshary
5. Achmad Michdan SH MH
6. Dr. Jose Rizal Yurnalis Sp Oth
7. Ust. Zulkifli M. Ali Lc
8. Ust. M. Al Khaththath
9. Ust. Jel Fathullah L

=====================

Kajian Fiqh : Haramkah Golput dalam Islam?

Rabu, 6 maret 2013. Masjid Ibnu Sina, Universitas Padjadjaran Jatinangor, LDK DKM UNPAD mengadakan kajian Fiqh kontemporer, tema yang diangkat kali ini mengenai bagaimana pandangan islam mengenai golput. Tema tersebut diangkat ketika banyak kalangan masyarakat khususnya mahasiswa masih memiliki pandangan yang samar mengenai golput tersebut.


“Banyak orang menganggap orang yang memillih golput, adalah orang yang apatis, apolitis” tutur pengisi kajian Ust. Hakim Abdurrahman S.Si. yang merupakan aktifis bakti DKM Unpad. Beliau menyampaikan, jika pada kenyataannya, sikap seseorang yang memilih untuk tidak memilih ketika pemilu dalam sistem demokrasi sekuler saat ini, merupakan tindakan yang menunjukan tiga indikasi sikap seseorang. Pertama, ia tidak memilih karena perkara teknis, misalkan jauh dari TPS atau tidak mendapatkan sosialisasi. Kedua, Ia tidak memilih karena sudah tidak percaya kepada demokrasi yang sudah nyata-nyata menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia dengan diterapkannya sistem yang kapitalis-sekuler. Ketiga, adalah orang yang memang menganggap bahwa demokrasi dari akarnya sudah bertentangan dengan aqidah islam yaitu asas kedaulatan ditangan rakyat.

Pada dasarnya, pemilu yang dalam islam merupakan akad wakalah (perwakilan) adalah perkara yang mubah atau dibolehkan dalam islam, asalkan rukun-rukunnya terpenuhi. Dalam hal pemilu ini, berarti kita (harusnya) mewakilkan kepemimpinan kepada seseorang agar menerapkan hukum hanya yang berasal dari Allah swt. Karena, menerapkan hukum selain hukum Allah bisa membawa kita kepada kekafiran (lihat QS. Al Maidah [5] : 44). Nah, Pemilu dalam sistem demokrasi menjadi jalan untuk seseorang atau sekelompok orang bisa menerapkan hukum yang sumbernya bukan berasal dari Allah swt (Alquran dan As sunnah), sehingga akad wakalah-nya menjadi batil, karena salah satu rukunnya tidak terpenuhi.

Lewat demokrasilah, maka kebebasan dijunjung setinggi tingginya. Manusia bisa bebas mengoceh sesuai akal dan hawa nafsunya (freedom of speech). Dalam sistem demokrasi, seseorang boleh memiliki tambang emas seluas-luasnya, bahkan pulau pun boleh dimiliki oleh seorang saja. Lewat sistem yang menjunjung tinggi kebebasan inilah lahir undang-undang yang nyata-nyata menyengsarakan rakyat dan hanya mengunungkan kapitalis saja. Lewat sistem ini jugalah manusia boleh berpindah agama (baca: murtad) karena memang hal tersebut dilindungi undang-undang negara.

“disinilah peran pengemban dakwah untuk melakukan edukasi kepada masyarakat umum, mengenai kesalahan demokrasi, kebobrokan demokrasi yang memang sudah bertentangan dengan aqidah islam dan secara nyata menyengsarakan, serta memberikan solusi Islam kepada mereka” tambah aktivis yang juga merupakan lulusan Universitas Padjadjaran ini.

Kegiatan kajian fiqh ini ditutup dengan ajakan agar mahasiswa muslim melakukan aktivitas dakwah untuk menyadarkan umat dengan tulisannya, khususnya mahasiswa akan pentingnya mengganti sistem demokrasi sekuler ini dengan sistem islam yang berasal dari Allah swt dalam bingkai khilafah. [Taufiq/DKMUPpress/www.al-khilafah.org]

Sumber : http://www.al-khilafah.org/2013/03/kajian-fiqh-haramkah-golput-dalam-islam.html

=====================

Memperbaiki Persepsi Umat Islam Tentang Pemilu

Oleh KH Muhammad Al Khaththath (Sekjen FUI)

Dalam temu tokoh umat untuk mengangkat pemimpin Islam menuju kepemimpinan nasional yang diadakan AQL Islamic Center di Jakarta awal Desember lalu ada sedikit diskusi soal adanya pemahaman anti demokrasi berujung golput. Ustaz Bachtiar Nasir sebagai pemandu acara mengatakan bahwa sudah ada pertemuan dengan ikhwah yang anti demokrasi di tempat yang sama beberapa waktu lalu dan dicapai kesepakatan untuk saling memahami sikap dan pandangan masing-masing. Bahkan Ustaz Bachtiar sempat menunjuk saya sebagai salah satu dari kelompok anti demokrasi yang sudah hadir di pertemuan itu.

Tentu semua mata tertuju ke saya. Maka saya langsung bicara apa itu demokrasi dan dimana haramnya, yakni pada penerapan hukum buatan manusia kepada manusia. Namun bila DPR mengundangkan syariah Allah Yang Maha Kuasa, maka saya melihat itu bukan demokrasi, justru itu tuntutan tauhid sesuai penjelasan tafsir QS. At Taubah ayat 31.

Memang banyak yang masih berbeda persepsi tentang demokrasi dan pemilu.

Umumnya ulama menghukumi sistem demokrasi adalah sistem kufur dan haram menerapkannya. Namun dalam perjuangan mengubah sistem demokrasi kepada sistem Islam, di sini ada perbedaan. Ada yang mengharuskan jihad dan perang fisik melawan penguasa, ada yang membolehkan dengan cara mengikuti pemilu dan mengubah sistem bila sebuah partai Islam menang dalam pemilu.

Dalam hal mengambil pemilu sebagai jalan melakukan perubahan ini ada yang mengharamkannya dengan logika bahwa sistem demokrasi adalah sistem kufur, sedangkan pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi, maka mengikuti pemilu berarti mengikuti sistem kufur, maka haram hukumnya. Kelompok umat Islam yang punya persepsi seperti ini merasa lebih aman, lebih bersih, dan lebih suci mengambil sikap golput.

Banyaknya fenomena para pemimpin dan wakil rakyat hasil pemilu yang korup menguatkan sikap seperti ini. Namun bila kita melihat dengan persepsi yang lain, maka kesimpulannya bisa lain.

Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab termasuk yang tidak percaya kepada sistem demokrasi. Namun beliau punya pandangan bahwa NKRI ini, merujuk kepada pembukaan UUD 1945, bukanlah negara demokrasi, tapi negara musyawarah. Maka sebagai negarawmusyawarah, seharusnya produk hukum dan perundangan di Indonesia adalah syariat Islam. Untuk itu, partai Islam harus memperbaiki performance agar bisa dibedakan dari partai sekuler dan bisa menjadi wakil umat yang sejati.

Dalam acara silaturrahim DPP Partai Bulan Bintang yang dikomandani MS Kaban ke Markaz Syariah Petamburan beberapa waktu lalu, Habib Rizieq menegaskan bahwa keluarga besar FPI mendukung sepenuhnya untuk kemenangan partai Islam dalam setiap pemilu agar bisa mengundangkan syariah dan memperjuangkan kepentingan umat.

Dalam ijtima' ulama di Padang Panjang tahun 2009, Komisi A yang diikuti 114 ulama dari seluruh Indonesia yang dipimpin oleh KH. Ma'ruf Amin menghasilkan rumusan ijtima' tentang penggunaan hak pilih dalam pemilihan umum sebagai berikut:

(1) Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
(2) Memilih pemimpin (nashbul Imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
(3) Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
(4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
(5) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Dan ijtima' ulama tersebut merekomendasikan agar umat Islam memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang mampu mengemban tugas amar ma'ruf nahi munkar.

Sayang sekali persepsi dan rekomendasi para ulama yang begitu bagus di atas tidak sampai secara jelas kepada umat Islam. Bahkan ada distorsi media massa liberal bahwa MUI sekedar memfatwakan wajibnya ikut pemilu dan haramnya golput. Akibatnya umat tidak menjadikan fatwa dan rekomendasi tersebut sebagai pedoman dalam mengikuti pemilu 2009 secara tepat dan benar.

MUI memang tidak cukup daya untuk menyampaikan fatwa dan rekomendasi itu kepada umat secara merata.

Sementara parta-partai Islam yang paling berkepentingan terhadap fatwa dan rekomendasi itu tampaknya tidak mengambil langkah yang signifikan. Wajar kalau akhirnya mereka kalah telak.

Bila partai Islam ingin menang dalam pemilu 2014, mereka seharusnya memberdayakan fatwa dan rekomendasi ulama di atas untuk memperbaiki persepsi umat tentang pemilu.

Khususnya kepada kalangan awam agar mereka tidak terbujuk oleh money politic dan tampilan kaum tidak beriman yang kini mulai merangsek maju di ranah politik setelah fenomena Jokowi Ahok.

Perlu juga diingatkan bahwa sikap golpul sebagian umat juga telah memberikan tiket gratis kepada kaum tidak beriman menguasai negeri ini. Bukankah ini haram? Oleh karena itu, mari satukan tekad perbaiki persepsi umat tentang pemilu untuk songsong kemenangan Islam. 


Kesimpulan : Pro dan Kontra  selalu ada karena telah menjadi hukum alam (sunatullah),  oleh karena itu ada baiknya diperhitungkan suara Golput sehingga dapat diketahui Kuantiti prosentase yang tidak memilih dan bahan masukan pertimbangan dalam pesta demokrasi Oleh KPU Pusat

¨Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.¨[QS. Yaa Siin 36 : 36].
 

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar