Hukum Membedah Mayat dalam Islam

Bookmark and Share

Secara kebahasaan bedah berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau mengiris bagian tubuh seseorang, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah aljirahah atau ‘amaliyyah bi al-jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan.

Secara terminologis berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal. Dalam ilmu kedokteran dikenal dengan istilah autopsi.


Berdasarkan tujuannya, bedah mayat dapat dibagi tiga, yakni bedah mayat pendidikan (autopsi anatomis), bedah mayat keilmuan (autopsi klinis), dan bedah mayat kehakiman (autopsi forensik).


Bedah mayat pendidikan adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan praktikum tentang ilmu urai tubuh manusia (anatomi).


Bedah mayat keilmuan (autopsi klinis) adalah bedah mayat yang dilakukan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.


Bedah mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat perubahan suatu penyakit, setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu semasa hidupnya. Disamping itu, bedah ini juga bertujuan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat yang tidak diketahui secara sempurna selama ia sakit.


Sedangkan yang dimaksud dengan bedah mayat kehakiman (autopsi forensik) adalah bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan.

Bedah mayat semacam ini dilakukan biasanya atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya karena tindak pidana kriminal atau kematian alamiah.


Melalui hasil visum dokter kehakiman (visum et repertum) biasanya akan diperoleh penyebab yang sebenarnya.


Hasil visum ini akan memengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan. Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai bukti penguat atas dugaan yang terjadi.


Akan tetapi, jika tidak diketahui secara pasti pelakunya, jika bukan karena kematian secara alamiah, maka bedah mayat kehakiman ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya adalah orang tertentu.


Di Indonesia, undang-undang melarang warganya untuk menghalangi petugas melakukan pembedahan atas mayat demi kepentingan peradilan.


Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 222 dijelaskan, "Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak/sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah."


Untuk mengantisipasi kemaslahatan bedah mayat ini, Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Departemen Kesehatan RI pada Fatwa No. 4 tahun 1955 mengisyaratkan dibolehkannya bedah mayat dengan tujuan kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegakan keadilan.


Akan tetapi kebolehan itu dibatasi sekedar dalam keadaan darurat menurut kadar kepentingannya.
Dalam Alquran tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti perihal bedah mayat. Akan tetapi, terdapat beberapa ayat Alquran yang dapat dijadikan isyarat mengenai landasan praktik bedah mayat ini.

Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di angkasa luar (ufuk) dan yang ada dalam diri manusia itu sendiri (QS. 41: 53).


Pengertian dalam diri manusia, menurut para mufasir. berarti di dalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.


Dalam Surah Al-Anbiya (21) ayat 35 Allah SWT menyatakan bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan. Ayat ini berkaitan dengan pernyataan Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia (QS. 17: 70). Dengan kemuliaannya itu, ia perlu diperlakukan secara adil (QS. 4: 58).


Untuk menyingkapkan kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia di dunia, diperlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki manusia, semua cabang ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dimiliki oleh satu orang saja.
Oleh karenanya, diperlukan orang yang ahli di bidang tertentu untuk menjawab persoalan yang muncul jika kita tidak mengetahuinya (QS. 16: 43). Contohnya, orang yang sakit perlu bertanya ke dokter tentang penyakitnya agar bisa diobati.

Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis dapat berpedoman pada hadis Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada obatnya. (HR. Abu Dawud dari Abu Darda).


Hadis ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan, seperti bedah mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu.


Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya penegakan hukum secara adil, karena upaya menetapkan hukum secara adil adalah wajib hukumnya (QS. 4: 58).
Pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana dapat dibenarkan, sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara di pengadilan.

Menurut Hasanain Muhammad Makhluf (ahli fikih Mesir), karena ilmu kedokteran merupakan fardu kifayah, maka segala ilmu yang dapat menuju kepada kesempurnaannya menjadi wajib pula.


Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan, "ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib.” (sesuatu yang menjadi kesempurnaan yang wajib, maka sesuatu itu menjadi wajib pula).


Beberapa ulama mengemukakan pendapatnya tentang bedah mayat. Diantaranya Abu Ishaq Asy-Syirazi (393 H/1003 M-476 H/1083 M) dan Sayid Abu Bakar yang mana kedua tokoh ini adalah ulama Mazhab Syafi‘i.


Mereka mengemukakan, jika yang meninggal adalah seorang perempuan dan di dalam perutnya ditemukan janin yang masih hidup, maka perut perempuan itu dibedah karena keadaan darurat.


Ditambahkan oleh Sayid Abu Bakar, pembedahan dilakukan kalau ada harapan janin itu untuk hidup atau berumur enam bulan ke atas. Jika kurang dari enam bulan atau tidak ada harapan untuk hidup, maka pembedahan tersebut haram dilakukan.


Karena pembedahan itu merupakan kebutuhan darurat (kedokteran dan keadilan hukum) dan untuk kemaslahatan manusia, maka hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang mengatakan “yang darurat itu dilakukan sekedar keperluan” dan "kemaslahatan umum itu diutamakan dari kemaslahatan perorangan (khusus)."


Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan kalangan Mazhab Maliki, perut mayat tidak boleh dibedah. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa memecah tulang mayat sama haramnya dengan memecah tulang manusia hidup (HR. Abu Dawud dari Aisyah binti Abu Bakar dengan sanad syarat Muslim).


Hal ini seiring dengan kewajiban terhadap mayat, yakni memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan sebagai penghormatan bagi mayat.
Ulama Mazhab Hanafi sependapat dengan Mazhab Syafi'i, bahwa jika ada sesuatu yang bergerak dan diduga yang bergerak itu adalah janin yang masih hidup, maka perut ibu boleh dibedah demi membela kehormatan yang masih hidup.

Senada dengan pendapat ini, menurut Syekh Yusuf Dajwi (guru besar hukum Islam Mesir), bedah mayat itu merupakan darurat pada keadaan tertentu, seperti kematian yang diduga karena pembunuhan sehingga pembunuh yang sebenarnya dapat diketahui.


Dalam kitab-kitab fikih, di antaranya kitab fikih sebagian Mazhab Maliki dan umumnya Mazhab Syafi'i, disebutkan bahwa apabila seseorang semasa hidupnya sempat menelan uang logam (koin), maka ketika ia telah meninggal perutnya dibedah untuk mengeluarkan uang tersebut.


Ukuran uang logam yang dikeluarkan tersebut kurang lebih bernilai 1/4 dinar atau 3 dirham (satu dinar = 4,5 gram emas).


Nuruddin Atr (ahli hadis dari Suriah) mengatakan, jika sekedar mengeluarkan uang logam dari perut mayat dibolehkan, maka membedah mayat untuk mengetahui sebab kematiannya dan kepentingan perkembangan ilmu kesehatan lebih diutamakan lagi, karena kepentingannya jauh lebih besar daripada sekedar pembedahan untuk mengeluarkan uang logam yang tertelan itu.


Ketidakbolehan sebagaimana yang tertuang dalam hadis riwayat Abu Dawud di atas merupakan keharaman secara umum tanpa ada tujuan yang bermanfaat.


Akan tetapi, berdasarkan kebutuhan darurat, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kepintaran pelaku kriminal untuk alibi dalam satu pembunuhan, maka secara medis perlu dilakukan pembedahan mayat.


Hal ini menurut Hasanain Muhammad Makhluf termasuk kepada kaidah fikih yang menyatakan "segala sesuatu yang membawa kesempurnaan yang wajib, maka hukumnya menjadi wajib pula." Wallahu’alam.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar