Imam Syafi’i Tabarruk Dengan Jubah Muridnya

Bookmark and Share
Imam Syafi’i Tabarruk Dengan Jubah Muridnya, Imam Ahmad Bin Hanbal

Di antara akhlak ulama salaf shaleh adalah meluluhlantahkan dirinya dengan melakukan tabarruk (mengambil berkah) kepada muridnya dan menanggung resiko dengan apa yang dilakukannya. Dia tidak memandang dirinya lebih alim (pintar) atau lebih banyak amal shalehnya dibandingkan muridnya berdasarkan syara’.

Apabila itu ada pada dirinya, dia tidak takut dengan fitnah yang akan menimpanya dengan sebab melakukan tabarruk kepada muridnya.

Sungguh telah datang kepada kami bahwa Imam Syafi’i, semoga Allah meridhai beliau, ketika mengutus seorang utusan yang ditunjuk beliau untuk mengunjungi Imam Ahmad bin Hanbal, beliau merasakan akan ada musibah besar yang akan menimpanya, namun beliau selamat dari musibah itu, yakni tentang munculnya sebuah permasalahan: “Apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan?.”

Maka, ketika utusan itu memberitahukan tentang tujuan kedatangannya, langsung Imam Ahmad melepas gamis atau baju jubah yang dikenakannya dan memberikannya kepada utusan itu, karena beliau merasa sangat gembira atas kedatangan utusan gurunya, Imam Syafi’i. 

Ketika utusan itu pulang dengan membawa gamis dan memberitahukannya kepada Imam Syafi’i, maka beliau berkata kepadanya: Apakah gamis ini sesuatu yang langsung melekat pada badannya, tanpa ada sesuatu lain yang menghalanginya?. Jawab utusan itu: Ya, benar.

Berkata Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani: Kemudian, Imam Syafi’i mencium gamis itu dan meletakkannya di atas kedua mata beliau. Selanjutnya, beliau mengucurkan air ke atas gamis itu di dalam sebuah wadah dan mengosok-gosokkannya di dalamnya. Setelah itu beliau memerasnya dan meletakkan air basuhan gamis itu ke dalam sebuah botol. Maka, setiap ada orang sakit dari kalangan sahabat beliau, beliau mengirimkan air basuhan dari gamis itu kepadanya. Kemudian, jika dia mengusap badannya dengan air basuhan itu, maka sembuhlah penyakitnya, karena memang sudah waktunya.

Dengan demikian, simaklah wahai saudaraku tentang ketawadhu’an (kerendah-hatian) Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagai murid beliau. Ini menunjukkan kepadamu bahwa suatu kaum meskipun banyak amal shaleh mereka, namun mereka tidak memandang luhur diri mereka sehingga merendahkan orang lain, sebaliknya dari kaum itu banyak hal-hal yang terjadi pada golongan guru-guru agama di zaman sekarang ini.

{Kitab “Tanbihul Mughtarrin”, karya Imam Abdul Wahab Asy-Sya’rani, seorang Wali Qutub pada zamannya, halaman 86, cetakan “Darul Kutub al-Islamiyyah”, Kalibata – Jakarta Selatan}.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar