Ketika pertama kali kita mendengar kata “Majapahit” maka ingatan kita langsung tertuju pada seorang Patih Gajah Mada yang terkenal dengan “Sumpah Palapa”-nya. Ia berjanji tidak akan berhenti ber-lara-lapa atau berpuasa, sebelum bisa mempersatukan seluruh kerajaan-kerajan di Nusantara. Patih Gajah Mada sebagai Patih kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa juga seorang Muslim. Nama aslinya adalah Gaj Ahmada. Setelah mengundurkan diri dari kerajaan, Patih Gaj Ahmada lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Mada oleh masyarakat sekitar.
Diduga ada peran tak langsung dari politik Gajah Mada di Kerajaan Majapahit yang nota bene bukan kesultanan Islam. Bahkan “Gayatri Rajapatni seorang Arsitek politik Majapahit” pun kaget dan kagum pada kemampuaan politik Gajah Mada yang baginya dianggap sudra misterius.
Dalam buku “Gayatri Rajapatni” Karya Earl Drake Hal 109-117, terlihat Drake tidak mengetahui bagaimana Gajah Mada memiliki wawasan yang luas, bahkan di luar nalar kerajaan Majapahit saat itu.
Ada beberapa politik Gajah Mada yang luar biasa, yang akhirnya membawa kesuksesan bagi Majapahit di Nusantara, seperti:
- Memperluas wilayah Majapahit dengan menundukkan Pemerintah di Nusantara. Saat beliau di lantik menjadi Maha Patih, dengan tekad Sumpah Palapa Tan ayun amukti Palapa tidak buka puasa sebelum tercapai cita-cita, itu adalah puasa ala nabi Daud AS.
- Menyusun kitab hukum “Kutara Manawa Sastra” yang meniru Al Qanun al Azazi (Kitab Hukum Syariat Islam).
- Menerapkan Politik Bahasa penduduk, yaitu: Bagi Pribumi Jawa adalah bahasa Jawa, dan untuk orang luar Jawa (seberang) adalah Bahasa Melayu Islam (dengan merombak Bahasa Melayu kuno yang bercampur Bahasa Sansekerta). Politik Bahasa ini menyebar di seluruh Nusantara: dari Pattani, Champa, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Sulu (Moro Philipina), Darwin Australia, dan semua negeri-negeri Polinesia dan Mikronesia pasifik.
Pada saat Gajah Mada (atas saran Gayatri) akan mencaplok Bali, Gayatri khawatir pada dominasi peran orang-orang Islam di Majapahit, meskipun muslim adalah penduduk minoritas. Apalagi setelah dicetaknya koin dinar emas kerajaan Majapahit yang memuat kalimat syahadat-meski jumlahnya tidak banyak, yang digunakan untuk alat tukar ke Aceh, Arab dan India yang muslim.
Singkatnya, Islam bukan barang langka di Majapahit. Dalam kitab “Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416-1433 (zaman Majapahit mulai mundur, tapi belum benar-benar hancur), karya Ma Huan, juru tulis dan penerjemah Laksana Cheng Ho dalam ekspedisi 1405-1433, tertulis:
Ada tiga golongan dalam Masyarakat di Tuban, Surabaya, kota baru (dusun baru tanpa nama-bisa jadi dusun Lukman Hakim atau kini disebut Luk Rejo Lamongan) dan kota raja Majapahit, yaitu:
- Kaum Muslim yang menguasai pelabuhan dan perdagangan (pribumi, Arab, India dan keturunan campur).
- Pendatang China suku Tang (juga muslim).
- Pribumi Jawa Hindu-Budha yang tidak pakai baju, rambut terurai acak-acakan atau di sanggul.
Untuk rakyat dan pejabat Majapahit, kaum muslim (pribumi dan pendatang) yang bercirikan pakaian rapi, wajah cerah karena sering wudlu, santun, jujur, pandai (memiliki berbagai keahlian. Karena mereka adalah para insinyur pendatang dari Baghdad dan Andalusia Islam) sangat disegani dan di hormati.
Golongan minoritas ini mendapat posisi yang strategis dalam struktur masyarakat Majapahit, bahkan mendapat jabatan khusus di Trowulan kotaraja. Akhirnya mereka pun mendapat fasilitas pemakaman khusus di Troloyo.
Memang pada abad pertengahan tidaklah aneh apabila dalam pemerintah besar yang bukan kesultanan Islam memiliki jendral atau perdana menteri seorang muslim. Seperti pemerintah China, kaisar Yong le yang memiliki Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Tetapi dalam kasus Majapahit, Gajah Mada sengaja menyembunyikan identitas diri dan keluarganya demi keselamatan nyawanya dari saingan politiknya.
Rumah Panggung tempat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Amukti Palapa yang terkenal itu. |
Diduga Gajah Mada menjadi seorang muslim ketika beliau menjadi bhayangkara, atau mungkin beberapa saat sebelum menjadi Maha Patih. Itulah sebabnya, kenapa Gajah Mada memilih bertempat tinggal di luar kompleks kraton.
Tentu agar dia bisa bebas melaksanakan ibadahnya tanpa diketahui pihak istana. Tentu selain itu, juga memfasilitasi massa berhubungan dengan beliau, tanpa mengenal protokoler kasta.
Gajah Mada pun memisahkan antara keyakinan pribadi dengan tugas Negara. Beliau menghargai Gayatri Rajapatni yang beragama Budha, dan atas desakan Mayoritas Masyarakat Hindu Jawa, maka Gayatri diizinkan oleh Gajah Mada untuk di-Hindukan melalui pembuatan patung dan candi.
Akhir Juni 2012, Tim riset “Gajah Mada Bangkit, Nusantara Sukses” yang terdiri dari: Viddy Ad Daery, Sufyan al Jawi, dan Drs. Mat Rais, secara tak terduga menemukan bukti-bukti adanya penduduk minoritas Muslim zaman Majapahit abad 14-15, seperti ketika di temukannya situs Medalem, Modo, Lamongan yang terdiri dari 4 (empat) buah makam Muslim Majapahit yang diduga masih kerabat Gajah Mada. Dan di kawasan ini juga dijumpai penduduk pribumi dengan wajah dan tubuh berpostur Mongoloid.
Gajah Mada pada waktu pengangkatannya mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru berhenti berpuasa “berlara-lapa” atau justru akan menikmati palapa atau rempah-rempah yang merupakan kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Kitab Pararaton menyatakan, bahwa: “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.”
Astabrata |
Meskipun sejumlah orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Temiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, dan Sampit.
Penelitian LHKP Muhammadiyah Yogyakarta
Hasil kajian tersebut diterbitkan dengan judul Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan, bahwa;
- Telah ditemukan koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah’.
- Batu nisan Syaikh Maulana Malik Ibrabim (Sunan Gresik) terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah seorang Qadhi (hakim agama Islam) kerajaan Majapahit.
- Lambang kerajaan Majapahit berupa delapan sinar matahari dengan beberapa tulisan arab yakni Sifat, Asma, Ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat.
- Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit besar kemungkinan seorang muslim. Beliau adalah cucu dari Prabu Guru Dharmasiksa, seorang Raja Sunda sekaligus ulama Islam Pasundan. Sedangkan neneknya merupakan seorang muslimah keturunan penguasa Kerajaan Sriwijaya.
- Patih Gajah Mada sebagai Patih kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa juga seorang muslim. Nama aslinya adalah Gaj Ahmada. Setelah mengundurkan diri dari kerajaan, Patih Gaj Ahmada lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Mada oleh masyarakat sekitar. Pernyataan ini diperkuat dengan bukti fisik yaitu pada nisan makam Gajah Mada di Mojokerto terdapat tulisan ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’.
- Bahwa pada 1253 M, tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Timur Tengah pun berada dalam situasi konflik yang tidak menentu. Terjadilah eksodus besar-besaran (pengungsian) kaum muslim dari Timur Tengah. Mereka menuju kawasan Nuswantara (atau Nusantara) yang kaya akan sumber daya alamnya. Mereka menetap dan melanjutkan keturunan yang sebagian besar nantinya menjadi penguasa kerajaan-kerajaan di nusantara, termasuk kerajaan Majapahit.
Fakta tersebut menjelaskan, bahwa Gajah Mada dan Kerajaan Majaphit besar kemungkinan sudah menganut agama Islam. Bukti koin emas yang merupakan sebuah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan, maka sungguhlah mustahil jika dikatakan bahwa sebuah kerajaan Hindu memiliki koin yang bertuliskan kalimah Tauhid, sebagaimana juga batu nisan yang menandakan bahwa Agama Islam merupakan agama resmi kerajaan tersebut. Tidak pula mungkin, sebuah kerajaan non Muslim menggunakan lambang resmi bertuliskan kata-kata arab dan Al Quran.
Selain itu, meskipun Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana (bahasa sansekerta), hal ini tidak lantas menjadikan seseorang itu otomatis pemeluk Hindu. Gelar seperti ini masih digunakan oleh raja-raja Muslim Jawa zaman sekarang seperti Hamengkubuwono dan Paku Alam. Kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasan pada masa Patih Gaj Ahmada, bahkan kekuasaannya sampai ke semenanjung Melayu (Malaka/Malaysia).
Di olah dari beberapa sumber, diantaranya:
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar