Peta kuno Area Tapanuli / Batak dari kaum Misionaris Rheinischer, Diterbitkan oleh Kartography (Pembuat Peta) terkenal dari Jerman tempo dulu, Gotha Justus Perthes pada th.1876

Bookmark and Share
Peta keseluruhan, ukuran 40 cm x 25 cm

Sebuah peta kuno dari kaum Misionaris Rheinischer

Residentschap Tapanuli, dengan kota utama Siboga dan Danau Toba di bagian utara



Area Tapanuli Selatan, Mandailing, Ayer Bangis berbatasan dengan Pasaman di utara Resident Padang dan Siak di bagian timur

Diterbitkan oleh Kartography (Pembuat Peta) terkenal dari Jerman tempo dulu,
Gotha Justus Perthes pada th.1876

Peta genuine antik yang menggambarkan Area Tapanuli / tanah Batak di abad 19 (th.1876), adalah barang langka untuk kolektor peta kuno dan sangat dicari oleh pemerhati sejarah Kristen di tanah Batak.
Sebuah peta kuno dari kaum Misionaris Rheinischer - Jerman.
Indah sekali setelah diberi bingkai / frame dan dipajang di ruang tamu,
Kondisi masih bagus untuk ukuran peta yang sudah sangat jadul (asli antik - bukan repro).
Ukuran: 40 cm 25 cm
Bagian belakang peta: blank / kosong.

Sebagai Referensi untuk perbandingan harga Peta-peta kuno, 
silahkan lihat dan click pada: www.vintage-maps.com

Sejarah Singkat tentang seorang Misionaris Rheinischer,  I.L. Nommensen di Tanah Batak Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr. Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?

Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu untuk melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan. Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinischer Missionare-Gesselschaft (RMG) Barmen

Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.

Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.

Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke Silindung.
Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang kondisinya sudah mulai usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.

Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya. Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta.

Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG (Rheinischer Missionare-Gesselschaft) kemudian mengangkat Nommensen menjadi ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu diabadikan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri

Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.
Kini, Nommensen telah tiada tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya

Keterangan lebih lanjut mengenai pembelian,
pengiriman barang, cara pembayaran dll.
silahkan hub. HP. 0813.1540.5281

Sudah Terjual

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar