Karya Pembaca: Air Mata Ayah

Bookmark and Share
“Tuhan nggak akan memberikan ujian dengan cobaan yang nggak sanggup dipikul umatnya!”

Demikian kata-kata yang ayah dengar dari seorang lelaki berjenggot tebal, ketika ia menceritakan tentang hidup yang tengah dijalaninya. Lelaki berjenggot tebal itu ustadz Jamil, yang ayah kenal di mesjid tempatnya bekerja. Ustadz Jamil kerap melakukan shalat di mesjid itu, mesjid bandara yang selalu dipenuhi jamaah shalat para pegawai dan pengguna bandara.

“Bersabarlah, Nak. Barangkali Tuhan tengah mengujimu!” tambah ustadz jamil, setelah mendengar ceritanya. Ayah memang telah banyak bercerita pada ustadz Jamil karena ustadz itu memaksa. Ustadz melihat kesedihan di wajah ayah, maka ustadz ingin mendengar apa yang tengah ayah alami sehingga ia tampak bersedih. Ustadz Jamil memang bukan siapa-siapa. Beliau hanya seorang pengelana pengguna bandara yang kebetulan sering melakukan shalat bersama dengannya di mesjid itu.

Kata-kata ustadz Jamil begitu meresap di hatinya, namun ayah tetap tak bisa menerimanya. Ia merasa Tuhan terlalu berat mengujinya! Tuhan menguji dirinya dengan cobaan yang tak mungkin bisa ia pikul ! Tuhan memberikan ujian yang tak sanggup ia hadapi!

****

Sejak tujuh tahun ibu terkapar sakit. Ibu yang telah melahirkan ku itu mengalami sakit gagal ginjal dan kelainan pada perutnya dan harus keluar masuk rumah sakit untuk keperluan cuci darah. Dalam satu bulan, paling sedikit ibunya harus tiga atau empat kali cuci darah. Sebab kalau tidak, hanya tinggal menunggu detik-detik kematian.

Beruntunglah ibu mendapatkan keringanan pengobatan dari tempat ayah bekerja. Segala biaya rumah sakit yang diderita ibu ditanggung perusahaan. Hanya saja melihat penderitaan yang dialami ibu selama tujuh tahun itu, harus keluar masuk rumah sakit dan berbagai pengobatan alternatif lain, ia merasa kasihan.

Setiap hari, ayah yang mengurus aku dan kedua adikku. Sebab ia tak ingin mengandalkan ibu, yang tak mungkin mampu mngerjakan pekerjaan rumah tangga. Setiap hari ibu berbaring di dipan dan tak bisa berbuat apa-apa. Perutnya yang mengidap kelainan terus membesar, meskipun cairan yang ada di dalamnya sudah dikeluarkan oleh dokter .

Setiap kali mendengar tentang ahli pengobatan yang mampu mengobati penyakit yang diderita ibu, ayah membawa ibu untuk berobat. Ia berusaha untuk menyembuhkan penyakit ibu. Sebab ia percaya, kalau ia mau berusaha, Tuhan pasti mengabulkan permohonannya.

“Tak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan.” Demikian bunyi resep salah satu tabib yang pernah ayah datangi. Tetapi nyatanya, penyakit ibu tidak pernah sembuh. Namun ia tidak putus asa. Ia datangi tempat pengobatan lainnya. Dokter ahli, tabib, orang pintar dan sebagainya, semua ia usahakan agar ibu bisa sembuh.
****
Sejak ibu terkapar tak berdaya, ayah tidak  hanya menjadi tulang punggung keluarga. Ia juga harus merawat seluruh anggota keluarga. Mencuci, memasak, mengurus kami bertiga dan sebagainya. Semua ia lakukan dengan tabah.

Ayah mengerjakannya sendiri karena tak mungkin minta bantuan orang lain. Karena meskipun biaya rumah sakit ditanggung perusahaan, biaya transportasi dan untuk pengobatan lainnya ia tanggung sendiri. Bila mendengar seseorang tentang ahli pengobatan yang mungkin mampu menyembuhkan ibu, ia langsung membawa ibu berobat.

Selama tujuh tahun lebih hal itu ia lakukan, tak pernah mendapatkan hasil yang menggembirakan. Apapun yang ia miliki rela ia korbankan untuk membiayai perobatan ibu, di samping rutin cuci darah di rumah sakit. Namun ibu tetap terkapar tak berdaya, menghadapi penyakit yang dideritanya.

****

Selama ini ayah tak pernah menangis. Ia memang laki-laki tegar. Di depan anggota keluarganya, ia tak pernah terlihat sebagai lelaki yang menderita kesusahan atau kepedihan. Ia terlihat baik-baik saja meski ibu terkapar sakit. Andaikata hal itu terjadi pada anggota keluarga yang lainnya yang hidup pas-pasan, baik dari pihak ibu atau ayah, tentu tak akan mampu menanggung beban yang harus dipikul akibat penyakit istri mereka.

Berobat cuci darah ke rumah sakit itu tidak murah. Sekali masuk biayanya lebih dari empat ratus ribu rupiah. Belum lagi harus mengeluarkan cairan perut. Bayangkan bila dalam sebulan ibu masuk paling sedikit empat kali cuci darah. Di samping itu ayah harus menebus obat-obatnya, yang tentu tidak murah. Sungguh, ia berterima kasih pada perusahaan yang selama ini menanggungnya.

Semua keluarga bersyukur ayah bekerja di perusahaan itu. Mereka membayangkan andai biaya itu dipikul oleh dirinya sendiri atau dari seluruh keluarga sekalipun. Mereka mengakui tak akan sanggup menghadapi beban ini.

Sejak tujuh tahun merawat ibu, mengantar keluar masuk rumah sakit, baik untuk keperluan cuci darah atau berobat dengan ahli pengobatan lain yang memungkinkan mampu mengobati ibu, ia memang selalu tampak tegar. Padahal, tak jarang ketika ayah mangantar ibu masuk rumah sakit untuk keperluan cuci darah itu atau menyedot cairan yang bersarang diperut ibu yang terus membengkak. Satu dua pasien rumah sakit penderita penyakit seperti yang diderita ibu menutup mata untuk selama-lamanya.

Ayah jadi bangga juga terhadap fisik ibu, melawan penyakit yang selama ini menggerogotinya. Setiap malam, ketika mengantarkan ibu tidur, tak pernah lupa ayah kecup kening ibu. Ia hantarkan ibu tidur, setelah itu baru anak-anaknya.

Suatu malam Ibu berkata kepada ayah bahwa ayah bebas mencari istri lain sebagai pendamping hidupnya. Ibu mengaku pasrah pada keadaan dirinya yang hanya menjadi beban bagi kami.  

Malam itu ayah mengeluarkan air mata mendengar ketulusan kata-kata ibu. Ayah bisikkan ke telinga ibu, bahwa ia tetap mencintai ibu dalam keadaan bagaimanapun.

****

Ayah merenungi kata-kata yang di ucapkan ustad Jamil waktu itu, sambil termenung di hadapan ibu yang terkapar di dipan. Kata-kata yang ia dengar setelah mendengar keputusan PHK dari pihak perusahaan itu tak henti-hentinya berkelebat, memenuhi dinding-dinding ingatan.

Ya, ayah mendengar kata-kata ustadz Jamil itu tiga bulan yang lalu, sesaat setelah ia mendapat kabar bahwa perusahaan tempatnya bekerja, yang selama ini menghidupi dirinya dan kami, memberikan keringanan berobat ibu tercinta, melayangkan surat pemutusan hubungan kerja.

Ia pasrah mendengar kabar buruk itu dan sebisa mungkin untuk tetap tabah dan sabar. Ia berusaha untuk yakin bahwa, Tuhan tidak mau menguji dirinya dengan cobaan yang tidak sanggup dipikul ayah.

Kini, tiga bulan ayah menganggur. Ia harus menghadapi ibu ketika tak bisa lagi menikmati cuci darah. Menghadapi perut ibu yang terus membesar. Ia hanya bisa duduk terpaku, melihat ibu terbujur sakit dengan bibir gemetar.

 Melihat kesehatan ibu semakin memburuk, sebenarnya kami ingin ibu mati saja karena kasihan melihat keadaannya. Perutnya semakin membesar. Kakinya menjadi bengkak. Darah keluar melalui pori-pori. Sekujur kaki dari betis hingga pangkal paha mengeluarkan cairan, terlihat seperti seorang korban kebakaran.

Semenjak tak dibawa ke rumah sakit, ibu menjerit-jerit lirih di dipan reot. Hanya bisa berkeluh dan menyebut-nyebut nama Tuhan.

Keluarga dekat datang silih berganti. Tapi tak mampu berbuat apa-apa. Semua hanya bisa berdoa. Berdoa dan berdoa. Menyabarkan kami. Menyuruh untuk tetap sabar dan tabah. Dalam hati kecil ayah berteriak, dimana Tuhan sekarang berada?

Hari ini, Alhamdulillah ayah mendapatkan pekerjaan baru. Seorang teman menawarkannya pekerjaan sebagai buruh harian di proyek perumahan. Walau hasil yang didapatkan tidak terlalu besar tapi itu sudah cukup untuk makan kami sehari-hari. Namun bersamaan dengan itu, ibu menghembuskan nafas terakhirnya setelah tujuh tahun lebis disiksa penyakit.

Ayah menangis, bukan saja karena kepergian ibu tercinta. Ia menangis karena sempat tak meyakini apa yang pernah diucapkan oleh ustadz Jamil, bahwa Tuhan tidak akan menguji umatnya dengan cobaan yang tak sanggup ia pikul.

Ketika tak ada lagi biaya untuk mengobati ibu tercinta, ketika tak ada lagi harta untuk menyambung hidup dirinya dan kami. Tuhan mengambil ibuku tercinta, lalu memberikan pekerjaan untuk ayah.


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar