Mbah Mbatu Bumiaji

Bookmark and Share
Mbah Mbatu Bumiaji - Batu - Malang 





Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim yang selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang, juga agar lebih singkat penyebutannya serta lebih cepat bila memanggil seseorang, akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu.


Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim sebagai cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat yang memulai babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan wilayah Batu, sebenarnya Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari Jawa Tengah. 

Abu Ghonaim sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah dikaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda (Kompeni) Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa, pengetahuan dan ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. 

Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya serta masyarakat yang lain berdatangan dan menetap untuk berguru, menuntut ilmu serta belajar agama kepada Mbah Wastu. Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji, Sisir dan Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan banyak serta menjadi suatu masyarakat yang ramai.

Konon Syekh Abul Ghonaim itu jugalah yang dikenal mampu membuat Dewi Condro Asmoro, salah seorang keturunan Kerajaan Majapahit untuk memeluk Islam. Dewi Condro Asmoro merupakan putri Prabu Suito Kerto dan Dewi Anjasmoro. Dikisahkan, bahwa Dewi Condroasmoro atau biasa dikenal dengan Nini Kuning masuk Islam setelah ditolong Syekh Abul Ghonaim. Apalagi tutur bahasanya santun dan perangainya mulia, Dewi Condroasmoro pun langsung memeluk Islam, kemudian meninggal saat melantunkan lafadz pujian miftakhul jannah. Menurut kisahnya Dewi Condro Asmoro inilah yang dikenal sebagai Mbah Mbatu. 

Awalnya  Pangeran Rojoyo memanggil beliau dengan sebutan Mbok Tuwo sehingga para santri menyebut beliau dengan sebutan Mbah Tuo. Karena kebiasaan masyarakat memperpendek nama, sehingga nama tersebut menjadi Mbah Tu. Mbah Tu mensyiarkan agama Islam di Batu bahkan sampai ke Lumajang, Pasuruan, dan Jember. Mbah Tuwo adalah orang yang dituakan dan pertama kali menempati hutan Wonoaji di Kecamatan Bumiaji. Dewi Condro Asmoro akhirnya wafat padat ahun 1781.

Abul Ghonaim alias Kiai Gubuk Angin adalah salah seorang ulama murid dari Pangeran Diponegoro. Abu Ghona’im mempunyai nama kondang lain, yaitu Mbah Wastu, untuk menghindari dari pengejaran pasukan Belanda. Konon dalam versi yang lain, karena nama Mbah Wastu dianggap cukup panjang, masyarakat setempat menyingkat namanya dengan panggilan Mbah Tu atau Mbatu. Dalam pelarian tersebut, Mbah Wastu mendirikan sebuah padepokan di kaki Gunung Panderman. Mbah Wastu mengajarkan berbagai ilmu, termasuk menyebarkan Islam, kepada masyarakat. Lambat laun, makin banyak pendatang dari berbagai penjuru untuk belajar ilmu dan menetap di Batu. 

Selain itu, di pemakaman ini terdapat makam Dewi Mutmainah, yang merupakan istri dari Syech Abul Ghonaim. Dewi Mutmainah merupakan putri Syekh Maulana Muhammad, putra Sunan Gunung Jati. Istrinya yang selalu mendampingi dan mendukung perjuangan syiar Islam suaminya. Ada pula makam Kyai Naim yang berasal dari Mataram. Ia datang ketempat Pangeran Rojoyo untuk memberitahu mengenai perang di Mataram. Kemudian ia diminta Pangeran Rojoyo untuk tinggal di sana untuk membantu mengajar ngaji di pondoknya. Beliau meninggal saat akan meninggalkan Syekh Abul Ghonaim, yang rencananya akan kembali ke Mataram. Namun keburu meninggal saat jatuh dari kuda. 

Mengenai perawatan makam, banyak dermawan yang perhatian dengan makam Mbah Batu. Seperti pemugaran, pemberian kelambu, semuanya dari para dermawan peziarah. Di sini bahkan ada haulnya yang diperingati setiap 17 Agustus. 

Makam Mbah Mbatu
Makam Mbah Batu terletak di Dusun Banaran, Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Makam itu berada dalam satu kompleks dengan kondisi sangat terawat. Lantainya keramik putih bersih di area makam, dilengkapi pula dengan tempat shalat dan mengaji bagi para peziarah. Makam Mbah Batu pun telah dipagari dan dilengkapi kelambu transparan warna putih. Para peziarah yang datang tidak hanya dari Kota Batu saja, banyak juga yang berasal dari luar kota, antara lain Bojonegoro, Malang Selatan, Jakarta, dan Surabaya. Bahkan dari Malaysia pun ada yang datang kesini. Kebanyakan datang untuk mengaji dan berdoa. 

Di komplek makam Mbah Batu ini dimakamkan empat tokoh penyebar agama Islam di daerah Batu. Mereka adalah Syekh Abul Ghonaim atau Pangeran Rojoyo, Dewi Mutmainah, Dewi Condroasmoro (MbahTu), dan Kyai Naim. Syekh Abul Ghonaim merupakan putra Sunan Kadilangu, cucu Sunan Mulyo, dan cicit Sunan Kalijogo. Penyebaran agama Islam dilakukan dengan berkumpul bersama warga dan membicarakan tentang Islam. Beliau termasuk penyebar agama Islam yang mumpuni, sehingga mendapat julukan Syekh Abul Ghonaim. Syekh Abul Ghonaim alias Mbah Wastu alias Kiai Gubuk Angin wafat pada 1830 dan Raden Ayu Dewi Muthmainnah wafat pada 1847. 

Sumber: kotawisatabatu.com dan sumberlainnya

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar