KH. Dimyathi Campurdarat

Bookmark and Share

Biografi
KH. Dimyathi Campurdarat Tulungagung 

Lingkungan Keluarga
Kyai Haji Dimyathi, dilahirkan pada tahun 1875, di Dusun Kauman desa Campurdarat kecamatan Campurdarat kabupaten Tulungagung. Beliau adalah putra ke 6 dari sepuluh orang putra-putri Mbah Zayadi dan ibu Warisah, yaitu Mirah, Hindun, Khodijah, Klumpuk, Sulbiyah, Katminah, Mariam dan Kasmi. Pada waktu dilahirkan oleh kedua orang tuanya beliau diberi nama Khossun, dengan makna Khos: Kedudukannya dan Sun: perbuatan atau tingkah lakunya. 

Khossun lahir dilingkungan keluarga yang religius dan taat menjalankan agama. Sebagaimana umumnya penduduk di wilayah dusun Kauman masa itu. Pekerjaan Khossun adalah bertani demikian pula orang tua Khossun, hanya yang membedakan dari warga masyarakat yang lain adalah, Mbah Zayadi memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi terhadap berkembangnya agama Islam di lingkungannya, oleh karena itu tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa beliau merupakan salah satu pemimpin masyarakat yang sangat disegani pada masanya. 

Hidup dilingkungan tersebut memudahkan Khossun dan saudara-saudaranya untuk memperoleh dasar-dasar agama Islam. Sejak kecil kedua orang tuanya telah menanamkan nilai-nilai Islam pada Khossun dan saudara-saudaranya. Waktu itu Khossun dan saudara-saudaranya menerima pelajaran membaca Al Qur’an dari lingkungan keluarga, sebelum mereka meninggalkan keluarga untuk mencari ilmu ke pondok pesantren. 

Khossun menikah dengan putri dari Desa Kalirong Kecamatan Gringging Kabupaten Kediri yang bernama Syufi’ah binti KH. Abdulloh Hasyim (Abdul Jalal), saat itu beliau baru saja menyelesaikan pendidikan di di pondok pesantren Nduwu Nganjuk. Disaat pernikahan, Khossun tidak berangkat dari rumah di Campurdarat, akan tetapi beliau justru berangkat dari pondok Klumpit hal itu disebabkan oleh kepercayaan mbah Zayadi pada sang kyai/ guru mbah Dimyati. 

Setelah menikah beliau membeli tanah di Tegalarum-Kertosono. Tetapi baru tinggal selama 3 bulan di Tegalarum, Beliau menerima salah satu utusan dari mbah Zayadi yang bernama Mangun. Mangun menyampaikan pesan kedua orang tuanya, yang intinya bahwa Khossun tidak diperkenankan untuk mendirikan pondok di Tegalarum dan diminta untuk mengembangkan pendidikan Islam di daerah kelahiranya yaitu Campurdarat. Menurut Mangun, larangan dari kedua orang tuanya tersebut dikarenakan Khossun dianggap sebagai satu-satunya putra dari Mbah Zayadi yang mampu meneruskan perjuangan dan cita-cita beliau dalam mengembangkan Islam. 

Sekitar tahun 1918 Khossun kembali ke Campurdarat, oleh orangtunya dibelikan sebuah rumah yang berupa balai dari dusun Cerme Desa Gamping Kecamatan Campurdarat, Balai tersebut merupakan bekas milik seorang pemain jaranan, kemudian balai itu oleh Khossun di fungsikan untuk langgar/ surau, ditempat itulah Khossun mulai mengumandangkan Islam di tanah kelahirannya di Campurdarat. 

Pada tahun 1918 Khossun bersama istri melaksanakan ibadah Haji ke Baitullah dan berganti nama dari Khossun menjadi Dimyathi sebagaimana yang diamanatkan gurunya KH. Dimyathi dari Tremas Pacitan. 

Dari pernikahannya dengan Syufi’ah, Khossun memiliki putra-putri sebanyak 10 orang, yaitu Muti’ah, Moh. Syamsudin, Fathonah, Imam Mawardi, Musrifatin, Suparti, Syamsul Mu’adzom (meninggal pada usia kanak-kanak), Musrifah, Rodiyah dan Nurhadi. Saat ini putra-putri beliau tinggal dibeberapa kota di Jawa Timur. Sebagai penerus perjuangan beliau dalam mendidik masyarakat dengan nilai-nilai Islam di Campurdarat saat ini diemban oleh Mohammad Syamsudin. 

Perjalanan Pendidikan
Sejak masa kecilnya Khossun belajar Al Qur’an pada keluarganya di Campurdarat, Selanjutnya beliau menuntut ilmu pada mbah Mesir di Durenan-Trenggalek, setelah menyelesaikan ngaji pada mbah Mesir beliau melanjutkan nyantri pada KH. Dimyathi Tremas, beliau disana selama 6,5 tahun. Pada saat di Tremas inilah, suatu ketika Khossun dipanggil oleh gurunya yakni KH. Dimyathi dengan maksud meminta agar Khossun mengganti nama yang sama dengan dirinya yaitu DIMYATHI. Mendengar perintah dari Gurunya Khossun tidak berani menolak, namun beliau menyatakan kepada KH. Dimyathi bahwa dirinya berkenan memakai nama Dimyathi jika sudah berhasil sampai di Makkah untuk menunaikan ibadah Haji. 

Perjalanan pendidikan Khossun tidak hanya berhenti di Tremas, seteleh masa nyantri di Pondok Tremas dianggap cukup, Khossun melanjutkan ke Pondok Tragal-Jawa Tengah. Dari Tragal Khossun kemudian berguru pada KH. Kholil – Bangkalan - Madura. Menyelesaikan pendidikan di Madura, Khossun lalu berguru pada KH. Zainudin di Mojosari-Nganjuk. Usai dari Mojosari Khossun meneruskan mencari ilmu pada KH. Marwah di Mangunsari Nganjuk. 

Merasa belum cukup bekal untuk mengemban amanat Kholifatullah fil Ardl, Khossun kembali meninggalkan kota kelahirannya untuk menambah bekal pengetahuan melanjutkan mondok di pondok pesantren Sekar putih-Nganjuk, setelah menyelesaikan pendidikan di Sekar Putih beliau meneruskan ngaji di pondok Klumpit Nganjuk. Dari Klumpit beliau melanjutkan lagi di Pondok Pesantren Lirboyo yang diasuh oleh KH. Abdul Karim, saat itu jumlah santri masih 8 orang. 

Ketika menjadi santri dari KH. Abdul Karim Lirboyo, Khossun juga ikut belajar / merangkap belajar di pondok Banjar Mlati dan di Pondok Jamsaren Kediri. 

Setelah menyelesaikan pendidikan di Lirboyo, Khossun lalu melanjutkan belajar di pondok pesantren Nduwu pada tahun 1917. Mulai saat itulah Khossun mulai mengembangkan ilmunya di Pondok Klupit dan dinikahkan dengan seorang putri dari Kalirong yang bernama Syufi’ah binti KH. Abdulloh Hasyim (Abdul Jalal). 

Selama menempuh pendidikan dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain, selalu saja ada kisah yang membuat Khossun dinilai sebagai santri yang memiliki keistimewaan. Pernah ketika menjadi santri di Pondok pesantren Mojosari- yang diasuh oleh KH. Zainudin, Setiap sang guru mulai membuka kitab untuk diajarkan kepada santri-santrinya di masjid, pada saat yang sama Khossun mulai mengerubuti dirinya dengan kain jarit (kemulan jarek) pemberian orang tuanya, dan tidur di depan dampar tempat KH. Zainudin mbalah kitab. Melihat perilaku tersebut KH. Zainudin tidak marah, beliau membiarkan saja tingkah laku Khossun, tak ayal lagi perbuatan itu membuat santri-santri yang lain menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak hendak mencela Khosun, apalagi saat melihat kitab-kitab yang dimiliki Khosun, ternyata kitab-kitab yang telah diajarkan oleh KH. Zainudin milik Khosun tidak ada satu kata pun yang terlewat maknanya. Wallahua’lam. 

Perjuangan Dan Kepemimpinan
Tahun 1918 Khosun meninggalkan pondok pesantren, dan menetap di desa Tegal Arum bersama isterinya. Tetapi Kedua orang tuanya meminta untuk kembali ke Campurdarat. Di Campurdarat beliau tinggal di rumah bekas milik seorang pegiat seni jaranan yang telah dibeli oleh orangtuanya. Di tempat itulah, Khossun mulai mengabdikan ilmu pengetahuannya pada masyarakat sekitar. Dimulai dengan merubah fungsi bale miliknya menjadi Langgar, KH. Dimyathi mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam pada orang-orang disekitar rumahnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau ta’dzim dengan siapapun walaupun itu cucunya sendiri. Hal itu berlangsung hingga Tahun 1955, pada tahun itu beliau masih ngaji sampai selesai (khatam) tiga kitab yaitu Al Qur-an, Fatkhul Wahab dan Bughiyah. Sejak tahun 1957 beliau uzlah (mengasingkan diri) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Wafatnya KH. Dimyathi
Setelah beliau melaksanakan uzlah selama 17 tahun dan tidak aktif lagi untuk melakukan pembinaan kepada santri dan masyarakat sekitar, seluruh aktifitas pembinaan diserahkan kepada putranya K. Moh. Syamsudin.
Pada tahun 1974 beliau KH. Dimyathi wafat dan dimakamkan di dusun Kauman Desa Campurdarat (dibelakang Masjid Daruttaibin Campurdarat), masyarakat Campurdarat dan sekitarnya menyebut makam mbah wali campur ada juga yang menyebut mbah wali Dimyathi. Wallohu a’lam.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar