Makna Hidup Seimbang Dalam Arti Sesungguhnya

Bookmark and Share
Banyak terjadi salah pengertian akan makna hidup seimbang di antara manusia, semoga kita mendapatkan pandangan atau konsep baru yang benar.

Allah berfirman:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ...” (Q.S. Al-Qashash : 77)

Setelah merenungkan ayat mulia ini, didapati bahwa kata “ibtaghi” (carilah) disebutkan untuk MENGUKUHKAN perkara yang agung. Perkara beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan mempergunakan nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya untuk menaati-Nya.

Ketika merenungkan lafal, “Janganlah kamu melupakan”, didapati bahwa peringatan di sini disebutkan lantaran beberapa faktor, di antaranya:

1. Pengukuhan bahwa DUNIA IALAH SARANA DAN BUKAN TUJUAN atau target. Sebab, tidak pernah ada bahwa sarana itu lebih penting daripada tujuan.
2. Kemungkinan kata “lupa” di dalam firman-Nya, “Janganlah kamu melupakan”, menegaskan REMEHNYA urusan dunia.
3. Perhatian terhadap urusan yang besar dan menyibukkan diri dengannya bisa melupakan urusan-urusan sekunder lain, seperti dunia dan kebutuhan individu di dalamnya. Dengan demikian, ada baiknya seorang hamba di sini diperingatkan agar tidak sibuk beribadah hingga membuatnya LUPA dari dunia dan kebutuhannya.

Lantaran larut dalam ibadah kepada Allah, para penuntut akhirat melalaikan urusan dunia dan kebutuhan mereka di dalamnya, lebih-lebih pada perhiasan-perhiasannya. Sehingga, peringatan tersebut sesuai dengan kondisi mereka.

Abu Hurairah, seorang shahabat yang selalu menyertai Rasulullah saw. untuk mengadopsi ilmu beliau. Hal itu membuatnya lupa dengan dunianya. Lalu ia berkata kepada para shahabatnya. “Kalian sibuk dengan dunia, sedangkan aku sibuk menemani Rasulullah saw.”

DUNIA MACAM APA yang menyibukkan para shahabat Rasulullah saw? APA YANG AKAN DIKATAKAN Abu Hurairah ra, seandainya ia melihat kita?

Inilah dia Haritsah ra. yang pernah ditanya oleh Rasulullah saw., “Bagaimanakah keadaanmu pada pagi hari, wahai Haritsah?” Dia menjawab, “Pada pagi hari aku dalam keadaan mukmin sejati.” Nabi bertanya lagi, “Aku ingin melihat apa yang engkau ucapkan, sebab setiap ucapan itu memiliki hakikat. Lalu, bagaimanakah hakikat keimananmu?” Dia menjawab. “Aku telah MENJAUHKAN DIRIKU DARI DUNIA, lalu aku gunakan malam untuk bergadang (shalat dan dzikir malam) dan siang hari untuk berhaus-haus (puasa). Selain itu, seakan-akan aku melihat ‘Arsy Rabb-ku Nampak jelas, dan seakan-akan aku melihat penduduk surga saling berkunjung di dalamnya, serta seakan-akan aku melihat penduduk neraka sedang berdesak-desakan di dalamnya”. Nabi berkata. “Wahai Haritsah, engkau telah mengetahui maka tetapilah (komitmenlah)”

Inilah Ahmad bin Hambal, seorang ulama besar yang melaksanakan shalat sebanyak tiga ratus rakaat sehari semalam (red) dan mengkhatamkan Al-Quranul Karim sekali dalam setiap pekan. Ia adalah sosok yang banyak berdoa, berdzikir, serta ditambah lagi dengan kesibukannya menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ahmad bin Hambal pernah berdoa, “Ya Allah, janganlah Engaku menyibukkan hati kami dengan hal-hal yang Engkau bebankan kepada kami.”

Dari Anas ra., bahwa ada tiga orang yang sampai menganggap sedikit saja amal ibadah Nabi saw (red!), Seorang dari mereka itu berkata: "Adapun saya ini, maka saya bersembahyang semalam suntuk selama-lamanya." Yang lainnya berkata: "Adapun saya, maka saya berpuasa sepanjang tahun dan tidak pernah saya berbuka." Yang seorang lagi berkata: "Adapun saya, maka saya menjauhi para wanita, maka sayapun tidak akan kawin selama-lamanya." (Kandungan hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim)

Ketika Salman menanyakan pada istri Abuddarda yang hanya mengenakan pakaian yang serba kusut – yakni tidak berhias sama sekali. Lalu istrinya menjawab, “Abuddarda' itu sudah tidak ada hajatnya lagi pada keduniaan - maksudnya: sudah meninggalkan keduniaan, baik terhadap wanita atau lain-lain."

Banyak pula riwayat shahih mengenai Abdullah bin Al-'Ash, seorang yang berpuasa setahun penuh dan mengkhatamkan bacaan Al-Quran sekali setiap malam (red!), sampai istrinya berkata, “ia tidak pernah menginjak hamparan kita dan tidak pernah memeriksa tabir kita - maksudnya tidak pernah berkumpul untuk menyetubuhi isterinya.”

Hingga mereka ditegur, “Tuhanmu itu ada hak atas dirimu, untuk dirimu sendiri juga ada hak atasmu, untuk keluargamupun ada hak atasmu. Maka berikanlah kepada setiap yang berhak itu akan haknya masing-masing." Dalam suatu riwayat, ditegaskan bahwa sekeras apapun kita beribadah, amal itu TETAP berpahala, Allah tetap senang menerima, dan Allah tidak pernah bosan! Hingga kitalah yang akan bosan dan lelah, maka Rasulullah menekankan bahwa yang dicintai Allah adalah istiqomahnya, maka lakukanlah yang mana engkau sanggup istiqomah, meskipun sedikit, dimana semakin banyak menunjukkan ketinggian derajat seseorang.

*Gambaran sosok seperti merekalah yang pantas mendapatkan teguran sebagaimana dimaksud dalam Al-Qashash 77, dan bukan orang seperti kita.

Karena sibuk beribadah, sebagian manusia ada yang lalai dari mengurusi keluarga dan menyayangi mereka, sampai-sampai ada penekanan terhadap mereka bahwa keluarga itu memiliki hak. SEMENTARA BAGI KITA, kita perlu orang yang mengingatkan akan tujuan luhur penciptaan kita serta orang yang bisa menyadarkan dengan keras agar kita mengingat akhirat.

(Dari Buku Rumus Masuk Surga "Cara Cerdas Memilih Amal Untuk Hasil Optimal" hlm. 92-94 & 149 serta Hadits-Hadits dari Riyadhus Shalihin, sebagai renungan mendalam bagi kita semua)

R e s u m e :

Firman "janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” setidaknya menunjukkan: [1] remehnya kehidupan dunia, sampai ada kemungkinan dilupakan, [2] bahwa makna seimbang dunia akhirat tetap lebih condong kepada akhirat, dan [3] dunia hanya sarana bukan tujuan.

Ilustrasi: Seorang ibu ingin pergi ke pasar membeli sembako, kemudian si ayah nitip untuk membelikannya rokok. Sudah barang tentu membeli rokok dapat terlupakan, namun hanya orang yang ‘sakit jiwa’ yang sampai lupa tujuan awalnya untuk membeli sembako.

Hidup seimbang yang haqq bukan berarti dunia : akhirat adalah 50: 50. Tidak demikian, hidup seimbang adalah memberikan masing-masing sesuai haknya, dimana hak Allah telah sedikit saya uraikan sebelumnya dalam tulisan “MAKSUD 50 SHALAT”. Sehingga kita sedar bahwa kita sama-sama masih belum mencapai hidup seimbang, karenanya perjalanan waktu dan pelayaran hidup kita ini hendaknya semakin menuju titik seimbang hingga sampai akhir hayatnya. Aamiin.

“Generasi sahabat sibuk beribadah sampai terlupa dunia (tujuan sampingan), SEMENTARA BAGI KITA, kita perlu orang untuk mengingatkan dan menyadarkan dengan keras akan tujuan utama penciptaan kita (akhirat).”

Astaghfirullah wa atuubuilaihi... 99x

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar