Bismillahirrahmanirrahim' Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada jungjungan Rasulullah SAW.
Pembaca b l o g - f i l l a h, setiap manusia tentu mendambakan kebahagiaan dan keberuntungan. Untuk menggapainya ada cara-cara yang harus ditempuh.
Pembaca b l o g - f i l l a h, setiap manusia tentu mendambakan kebahagiaan dan keberuntungan. Untuk menggapainya ada cara-cara yang harus ditempuh.
Untuk meraihnya terdapat jalan yang harus ditapaki. Jalan itu tidak lain adalah dengan beribadah kepada Allah. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Menjalankan ibadah artinya melakukan hal-hal yang dicintai Allah dan membuat Allah ridha. Hal itu terwujud dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan itu bisa kita dapatkan di dalam Kitabullah -yaitu al-Qur’an- dan Sunnah -yaitu hadits- Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara ayat yang menunjukkan kepada kita bentuk-bentuk ibadah pokok yang menjadi kunci kebaikan, keberuntungan, dan kebahagiaan adalah surat al-’Ashr. Allah ta’ala berfirman,
Menjalankan ibadah artinya melakukan hal-hal yang dicintai Allah dan membuat Allah ridha. Hal itu terwujud dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan itu bisa kita dapatkan di dalam Kitabullah -yaitu al-Qur’an- dan Sunnah -yaitu hadits- Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara ayat yang menunjukkan kepada kita bentuk-bentuk ibadah pokok yang menjadi kunci kebaikan, keberuntungan, dan kebahagiaan adalah surat al-’Ashr. Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sampai-sampai mengatakan, “Seandainya umat manusia mau memikirkan kandungan surat ini niscaya hal itu cukup -sebagai pelajaran- bagi mereka.”
Hal itu dikarenakan, di dalam surat ini Allah memberikan empat hal yang menjadi kunci kebaikan seorang hamba, yaitu:
K e s a t u : I m a n
K e d u a : A m a l s h a l e h
K e t i g a : Saling menasihati dalam kebenaran
K e e m p a t : Saling menasihati dalam kesabaran
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya ‘Tsalatsah al-Ushul’ [tiga pondasi agama] menyimpulkan bahwa berdasarkan surat ini setiap kita wajib untuk mempelajari empat perkara dan mengamalkannya, yaitu:
1. I l m u
2. A m a l
3. D a k w a h
4. S a b a r
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sampai-sampai mengatakan, “Seandainya umat manusia mau memikirkan kandungan surat ini niscaya hal itu cukup -sebagai pelajaran- bagi mereka.”
Hal itu dikarenakan, di dalam surat ini Allah memberikan empat hal yang menjadi kunci kebaikan seorang hamba, yaitu:
K e s a t u : I m a n
K e d u a : A m a l s h a l e h
K e t i g a : Saling menasihati dalam kebenaran
K e e m p a t : Saling menasihati dalam kesabaran
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya ‘Tsalatsah al-Ushul’ [tiga pondasi agama] menyimpulkan bahwa berdasarkan surat ini setiap kita wajib untuk mempelajari empat perkara dan mengamalkannya, yaitu:
1. I l m u
2. A m a l
3. D a k w a h
4. S a b a r
Ya, kalau kita lihat sekilas sepertinya kedua keterangan di atas berbeda. Di atas disebutkan bahwa empat hal yang menjadi kunci kebaikan itu adalah iman, amal salih, menasihati dalam kebenaran, dan menasihati dalam kesabaran. Sementara di bawahnya disebutkan bahwa kewajiban kita adalah ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Apakah bertentangan?
Pengertian Iman
Baiklah, untuk memahami masalah ini, kita perlu untuk mengenal apa sebenarnya hakikat atau pengertian iman itu sendiri. Para ulama kita menerangkan, bahwa iman adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan makna iman secara khusus di dalam hadits Jibril yang sangat terkenal, yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan malaikat Jibril dalam rupa manusia lalu menanyakan tentang islam, iman, dan ihsan. Di dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman adalah ‘kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang buruk’ (HR. Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu)
Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan iman. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat yang benar. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 47)
Pengertian Iman
Baiklah, untuk memahami masalah ini, kita perlu untuk mengenal apa sebenarnya hakikat atau pengertian iman itu sendiri. Para ulama kita menerangkan, bahwa iman adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan makna iman secara khusus di dalam hadits Jibril yang sangat terkenal, yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan malaikat Jibril dalam rupa manusia lalu menanyakan tentang islam, iman, dan ihsan. Di dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman adalah ‘kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang buruk’ (HR. Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu)
Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan iman. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat yang benar. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 47)
Baiklah, berikut ini akan kami paparkan sekilas tentang keempat hal itu mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan kepada kita.
1. Menuntut Ilmu
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat ilmu itu adalah mengetahui petunjuk dengan dalilnya. Apabila disebutkan kata ‘ilmu’ -dalam pembicaraan para ulama atau dalil agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar’i / ilmu agama (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)
Banyak sekali dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukkan wajibnya menuntut ilmu. Diantaranya, Allah ta’ala berfirman,
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat ilmu itu adalah mengetahui petunjuk dengan dalilnya. Apabila disebutkan kata ‘ilmu’ -dalam pembicaraan para ulama atau dalil agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar’i / ilmu agama (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)
Banyak sekali dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukkan wajibnya menuntut ilmu. Diantaranya, Allah ta’ala berfirman,
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu itu melihat bahwasanya apa yang diturunkan dari Rabbmu kepadamu itulah kebenaran” (QS. Saba’: 6).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang berilmu itulah yang bisa melihat kebenaran yaitu pada apa-apa yang diturunkan Allah (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/222])
Allah ta’ala berfirman,
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang berilmu itulah yang bisa melihat kebenaran yaitu pada apa-apa yang diturunkan Allah (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/222])
Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
“Apakah orang yang telah mati [hatinya] lalu Kami hidupkan kembali dan Kami jadikan baginya cahaya yang bisa membuatnya berjalan di tengah-tengah manusia seperti keadaan orang yang sama dengannya yang masih berada di dalam kegelapan-kegelapan dan tidak keluar darinya” (QS. Al An’am: 122)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah orang yang dahulunya mati hatinya karena kebodohan lantas Allah hidupkan kembali dengan ilmu (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah 1 : hlm .232)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah niscaya akan Allah pahamkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al Qashidin, hal. 15)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 30)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah orang yang dahulunya mati hatinya karena kebodohan lantas Allah hidupkan kembali dengan ilmu (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah 1 : hlm .232)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah niscaya akan Allah pahamkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al Qashidin, hal. 15)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 30)
2. Beramal Salih
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu amal- sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana buahnya. Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12)
Allah ta’ala berfirman,
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu amal- sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana buahnya. Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Amat besar kemurkaan Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (QS. Ash-Shaff: 2-3) (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah, hal. 6)
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan amal adalah jalan para Nabi. Inilah hakikat jalan yang lurus/shirathal mustaqim. Apabila ditinjau dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan amal adalah jalan para Nabi. Inilah hakikat jalan yang lurus/shirathal mustaqim. Apabila ditinjau dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
Orang yang berilmu namun tidak beramal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai [al-maghdhubi 'alaihim] seperti halnya orang-orang Yahudi dan yang seperti mereka
Orang yang beramal namun tanpa ilmu, sehingga menjerumuskan mereka dalam berbagai kebid’ahan. Mereka itulah orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin] seperti halnya orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara kita maka dia menyerupai kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka dia menyerupai kaum Nasrani.”
Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, inilah jalan para nabi dan pengikut mereka. Inilah hakikat shirothol mustaqim yang kita minta setiap hari sampai berulang kali. Inilah jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah. Oleh sebab itulah para salafus shalih adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam beramal. Tidak sebagaimana kita yang hanya bersemangat untuk ‘menghitamkan kertas’ [menyusun banyak tulisan, pent] namun tidak bersemangat untuk beramal. Para salafus shalih tidak demikian! Bahkan, mereka adalah orang-orang yang bersemangat untuk berilmu dan beramal (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 44-47)
Allah ta’ala berfirman,
Allah ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang beramal salih dari kalangan laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan karuniakan kepadanya kehidupan yang baik. Dan Kami akan membalas mereka dengan balasan yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97) (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman oleh Syaikh as-Sa’di, hal. 73)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal shalih -yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/601])
Allah ta’ala berfirman,
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal shalih -yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/601])
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun” (QS. Al-Kahfi: 110).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
3. Ikut Serta Dalam Dakwah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kesempurnaan pribadi seseorang akan bisa terwujud dengan menyempurnakan dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan amalan. Menyempurnakan kekuatan ilmu adalah dengan keimanan, sedangkan menyempurnakan kekuatan amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya, dengan ilmu, iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian kesempurnaan individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan secara sosial, yaitu dengan mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya, dan menasihati dalam hal kesabaran untuk berilmu dan beramal (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah 1 : hlm.239)
Allah ta’ala berfirman,
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kesempurnaan pribadi seseorang akan bisa terwujud dengan menyempurnakan dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan amalan. Menyempurnakan kekuatan ilmu adalah dengan keimanan, sedangkan menyempurnakan kekuatan amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya, dengan ilmu, iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian kesempurnaan individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan secara sosial, yaitu dengan mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya, dan menasihati dalam hal kesabaran untuk berilmu dan beramal (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah 1 : hlm.239)
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalanku; aku berdakwah/mengajak [kalian] kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108).
Apabila seorang insan telah berusaha menyempurnakan kekuatan ilmu dan amal dalam dirinya, maka sudah semestinya dia berusaha berpartisipasi untuk mencurahkan kebaikan kepada orang lain dalam rangka meneladani para utusan Allah. Berdakwah ila Allah adalah perkara yang sangat agung dan membuahkan pahala yang sangat melimpah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, apabila melalui perantaramu Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja itu jauh lebih baik bagimu daripada onta-onta merah” (HR. Muslim) (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia akan dimintakan ampunan oleh setiap binatang melata, bahkan oleh ikan yang berada di dalam lautan sekalipun.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 14)
Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Meskipun demikian, tidak boleh dilupakan bahwasanya dakwah harus dilandasi dengan ilmu, bukan bermodal semangat belaka. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid[1/82])
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh al Manzhumah al Mimiyah, hal. 111)
Apabila seorang insan telah berusaha menyempurnakan kekuatan ilmu dan amal dalam dirinya, maka sudah semestinya dia berusaha berpartisipasi untuk mencurahkan kebaikan kepada orang lain dalam rangka meneladani para utusan Allah. Berdakwah ila Allah adalah perkara yang sangat agung dan membuahkan pahala yang sangat melimpah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, apabila melalui perantaramu Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja itu jauh lebih baik bagimu daripada onta-onta merah” (HR. Muslim) (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia akan dimintakan ampunan oleh setiap binatang melata, bahkan oleh ikan yang berada di dalam lautan sekalipun.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 14)
Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Meskipun demikian, tidak boleh dilupakan bahwasanya dakwah harus dilandasi dengan ilmu, bukan bermodal semangat belaka. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid[1/82])
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh al Manzhumah al Mimiyah, hal. 111)
4. Menghiasi Diri Dengan Kesabaran
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al Mustafid 2 : 107 dan 109])
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya…. Imannya tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur…” (lihat adh-Dhau’ al Munir ‘ala at-Tafsir 1 : 145 )
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman,
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al Mustafid 2 : 107 dan 109])
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya…. Imannya tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur…” (lihat adh-Dhau’ al Munir ‘ala at-Tafsir 1 : 145 )
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami” (QS. as-Sajdah: 24).
Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya,
Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya,
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran” (QS. al Ashr: 3).
Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “.. Sesungguhnya tidaklah ada seorang da’i yang mengajak manusia kepada apa yang didakwahkan oleh para rasul kecuali pasti menghadapi orang-orang yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya, sebagaimana yang dihadapi oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan kesabaran; yang hal itu termasuk salah satu karakter terbaik ahli iman dan sebaik-baik bekal bagi seorang da’i yang mengajak kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sama saja apakah dakwahnya itu ditujukan kepada orang-orang yang dekat dengannya atau selainnya, dia harus menjadi orang yang penyabar.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)
Allah ta’ala berfirman,
Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “.. Sesungguhnya tidaklah ada seorang da’i yang mengajak manusia kepada apa yang didakwahkan oleh para rasul kecuali pasti menghadapi orang-orang yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya, sebagaimana yang dihadapi oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan kesabaran; yang hal itu termasuk salah satu karakter terbaik ahli iman dan sebaik-baik bekal bagi seorang da’i yang mengajak kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sama saja apakah dakwahnya itu ditujukan kepada orang-orang yang dekat dengannya atau selainnya, dia harus menjadi orang yang penyabar.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)
Allah ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga begitu saja sementara Allah belum mengetahui (menunjukkan) siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian, dan juga siapakah orang-orang yang bersabar” (QS. Ali Imran: 142)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya, janganlah kalian mengira dan jangan pernah terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk surga begitu saja tanpa menghadapi kesulitan dan menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan Allah dan berjalan mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi dan tujuan paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba -dalam kebaikan-. Semakin besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula upaya yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali dengan meninggalkan sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga- kecuali dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-. Hanya saja perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang dialami seorang hamba di jalan Allah -tatkala nafsunya telah dilatih dan digembleng untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik yang akan diperoleh sesudahnya- niscaya itu semua akan berubah menjadi karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah/ilmu, mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150)
Sabar dengan makna yang luas terbagi menjadi 3; yaitu sabar dalam melakukan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah. Termasuk sabar dalam ketaatan adalah sabar dalam menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kesabaran.
--------------------
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya, janganlah kalian mengira dan jangan pernah terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk surga begitu saja tanpa menghadapi kesulitan dan menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan Allah dan berjalan mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi dan tujuan paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba -dalam kebaikan-. Semakin besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula upaya yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali dengan meninggalkan sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga- kecuali dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-. Hanya saja perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang dialami seorang hamba di jalan Allah -tatkala nafsunya telah dilatih dan digembleng untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik yang akan diperoleh sesudahnya- niscaya itu semua akan berubah menjadi karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah/ilmu, mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150)
Sabar dengan makna yang luas terbagi menjadi 3; yaitu sabar dalam melakukan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah. Termasuk sabar dalam ketaatan adalah sabar dalam menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kesabaran.
--------------------
Oleh: Ari Wahyudi
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar