Ghibah
adalah penyakit hati yang memakan kebaikan, mendatangkan keburukan
serta membuang-buang waktu secara sia-sia. Penyakit ini meluas di
masyarakat karena kurangnya pemahaman agama, kehidupan yang semakin
mudah dan banyaknya waktu luang. Kemajuan teknologi, telepon misalnya,
juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini.
Lebih lanjut, ikuti penjelasannya berikut ini.
Hakekat Ghibah
Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya
bila ia mengetahuinya, baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada
pada badan, nasab, tabiat, ucapan maupun agama hingga pada pakaian,
rumah atau harta miliknya yang lain. Menyebut kekurangannya yang ada
pada badan seperti mengatakan ia pendek, hitam, kurus dan lain
sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong, fasik,
munafik dan lain-lain.
Kadang orang tidak sadar ia telah melakukan ghibah, dan saat
diperingatkan ia menjawab: “Yang saya katakan ini benar adanya!” Padahal
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tegas menyatakan
perbuatan tersebut adalah ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau,
bagaimana bila yang disebut-sebut itu memang benar adanya pada orang
yang sedang digunjing-kan, beliau menjawab: “Jika yang engkau gunjingkan
benar adanya pada orang tersebut, maka engkau telah melakukan ghibah,
dan jika yang engkau sebut tidak ada pada orang yang engkau sebut, maka
engkau telah melakukan dusta atasnya.” (HR. Muslim)
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan
tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran
bibir dan sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan
seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang
kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ketika wanita itu sudah pergi,
‘Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya yang menunjukkan bahwa wanita
itu berbadan pendek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas
bersabda: “Engkau telah melakukan ghibah!” Semisal dengan ini adalah
gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang,
cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah
daripada ghibah, karena di samping mengandung unsur memberitahu
kekurangan orang, juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.
Tak kalah meluasnya adalah ghibah dengan tulisan, karena tulisan adalah
lisan kedua. Media massa sudah tidak segan dan malu-malu lagi membuka
aib seseorang yang paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian,
sensor perasaan malu masya-rakat menurun sampai pada tingkat yang paling
rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yang seharusnya ditutupi,
perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.
Macam dan Bentuk Ghibah
Ghibah mempunyai berbagai macam dan bentuk, yang paling buruk adalah
ghibah yang disertai dengan riya’ seperti mengatakan: “Saya berlindung
kepada Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu semacam ini, semoga
Allah menjagaku dari perbuatan itu.” padahal maksudnya mengungkapkan
ketidaksenangannya kepada orang lain, namun ia menggunakan ungkapan doa
untuk mengutarakan maksudnya.
Kadang orang melakukan ghibah dengan cara pujian, seperti mengatakan:
“Betapa baik orang itu, tidak pernah meninggalkan kewajibannya, namun
sayang ia mempunyai perangai seperti yang banyak kita miliki, kurang
sabar.” Ia menyebut juga dirinya dengan maksud mencela orang lain dan
mengisyaratkan dirinya termasuk golongan orang-orang shalih yang selalu
menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yang lain misalnya mengucapkan:
“Saya kasihan terhadap teman kita yang selalu diremehkan ini. Saya
berdoa kepada Allah agar dia tidak lagi diremehkan.” Ucapan semacam ini
bukanlah doa, karena jika ia menginginkan doa untuknya, tentu ia akan
mendoakannya dalam kesendiriannya dan tidak menguta-rakannya semacam
itu.
Ghibah yang Diperbolehkan
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah
yang diperbolehkan, yaitu yang dimaksud-kan untuk mencapai tujuan yang
benar, dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Setidaknya ada
enam jenis ghibah yang diperbolehkan:
Pertama :Melaporkan
perbuatan aniaya. Orang yang teraniaya boleh mela-porkan kepada hakim
dengan mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini
adalah perbuatan ghibah, namun karena dimaksudkan untuk tujuan yang
benar, maka hal ini diperbolehkan dalam agama.
Kedua : Usaha
untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari perbuatan
maksiat, seperti mengutarakan kepada orang yang mem-punyai kekuasaan
untuk mengubah kemungkaran: “Si Fulan telah berbuat tidak benar,
cegahlah dia!” Maksudnya adalah meminta orang lain untuk mengubah
kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah
ghibah yang diharamkan.
Ketiga : Untuk
tujuan meminta nasehat. Misalnya dengan mengucapkan: “Ayah saya telah
berbuat begini kepada saya, apakah perbuatannya itu diperbolehkan?
Bagaimana caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi? Bagaimana
cara mendapatkan hak saya?” Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi
lebih selamat bila ia mengutarakannya dengan ungkapan misalnya:
“Bagaimana hukum-nya bila ada seseorang yang berbuat begini kepada
anaknya, apakah hal itu diperboleh-kan?” Ungkapan semacam ini lebih
selamat karena tidak menyebut orang tertentu.
Keempat : Untuk
memperingatkan atau menasehati kaum muslimin . Contoh dalam hal ini
adalah jarh (menyebut cela perawi hadits) yang dilakukan para ulama
hadits. Hal ini diper-bolehkan menurut ijma’ ulama, bahkan menjadi wajib
karena mengandung masla-hat untuk umat Islam.
Kelima : Bila
seseorang berterus terang dengan menun-jukkan kefasikan dan kebid’ahan,
seperti minum arak, berjudi dan lain sebagainya, maka boleh menyebut
seseorang tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun ia tidak boleh
menyebutkan aib-aibnya yang lain.
Keenam : Untuk
memberi penjelasan dengan suatu sebutan yang telah masyhur pada diri
seseorang. Seperti menyebut dengan sebutan si bisu, si pincang dan
lainnya. Namun hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan untuk
menunjukkan kekurangan seseorang. Tapi alangkah baiknya bila
memanggilnya dengan julukan yang ia senangi.
Taubat dari Ghibah
Menurut ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya orang yang
melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap
Allah Ta’ala karena melakukan perbuatan yang jelas dilarang olehNya dan
kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil
untuk menghindari maksiat ini adalah dengan taubat yang mencakup tiga
syaratnya, yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, menyesali
perbuatan yang telah dilakukan dan berjanji untuk tidak melakukannya
lagi.
Selanjutnya, harus diikuti dengan langkah kedua untuk menebus
kejahatan-nya atas hak manusia, yaitu dengan menda-tangi orang yang
digunjingkannya kemudian minta maaf atas perbuatan-nya dan menunjuk-kan
penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicara-kannya mengetahui
bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahuinya, maka
bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan
kebaikan dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulanginya.
Kiat Menghindari Ghibah
Untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit
dideteksi dan sulit diobati ini, ada beberapa kiat yang bisa kita
lakukan.
Pertama: Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya adzab dariNya.
Kedua: Bahwasanya
timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yang
digunjingkannya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali, maka
diambilkan dari timbangan kejahatan orang yang digunjingkannya dan
ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini
selalu, niscaya seseorang akan berfikir seribu kali untuk melakukan
perbuatan ghibah.
Ketiga: Hendaknya
orang yang melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan
segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan
malu pada diri sendiri bila membuka aib orang lain, sementara dirinya
sendiri masih mempunyai aib.
Keempat: Jika
aib orang yang hendak digunjingkan tidak ada pada dirinya sendiri,
hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah karena Dia telah
menghindarkanndari aib tersebut, bukannya malah mengotori dirinya dengan
aib yang lebih besar yang berupa perbuatan ghibah.
Kelima: Selalu
ingat bila ia membicarakan saudaranya, maka ia seperti orang yang makan
bangkai saudaranya sendiri, sebagaimana yang difirmankan Allah: “Dan
janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (Al
Hujuraat : 12)
Keenam: Hukumnya wajib mengingatkan orang yang sedang melakukan ghibah, bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram dan dimurkai Allah.
Ketujuh: Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yang melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah.
Mudah-mudahan Allah selalu menjauhkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji ini, amin.
Ketujuh: Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yang melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar