BERITA SUFI Adab Bersama Allah dan RasulNya, Syeikh dan Sesama

Bookmark and Share
Syeikh Ibnu ‘Ajibah Al-Hasany
Adab Bersama Allah dan RasulNya
Untuk kalangan awam:
Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-laranganNya. Mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi ahli bid’ah.
Untuk kalangan Khawash:
Memperbanyak dzikir, muroqobah bagi kehadiranNya dan memprioritaskan Cinta kepadaNya dibanding lainnya. Syeikh Zaruq menambahkan, dengan: menjaga aturan, menepati janji dengan Allah dengan bergantung pada Allah, Ridlo dengan pemberianNya dan mencurahkan kemampuan jiwanya. Sedangkan adab bersama Rasulullah SAW, (bagi Khawash) adalah memprioritaskan cinta pada Rasul, mengikuti petunjuk, berakhlak dengan budi pekertinya.
Khawashul Khawash (Al-Arifun):
Senantiasa patuh dalam segala hal kepadaNya, mengagungkanNya untuk segalanya, dan melanggengkan ma’rifat dalam Tajally Jalal dan JamalNya. Sedangkan bersama Rasulullah saw.: Mewujudkan seluruh hakikat dirinya dalam cakupan Rasul saw, mengagungkan ummatnya dan senantiasa memandang cahayanya.
Adab Bersama Syeikh
Adab Dzohir:
Menjalankan perintahnya (walaupun bertentangan dengan keinginannya), menjauhi larangannya, walau pun tampaknya (secara lahiriyah) keliru.
Harus tenang , sopan dalam kharisma Syeikh ketika berada di hadapan Syeikh. Tidak tertawa juga tidak mengeraskan suaranya, tidak pula memulai pembicaraan sebelum ditanya. Atau memahami bahasa isyaratnya, dengan pemahaman jiwa. Tidak makan bersamanya (kecuali diajak), tidak makan di depannya, juga tidak tidur bersamanya, atau dekat dengannya.
Bergegas khidmah padanya secara material maupun jiwanya menurut kemampuannya. Khidmah ini bisa menjadi penentu Wushul kepada Allah.
Mengikuti majlisnya, atau minimal sering bertemu. Karena pertemuan ini bisa mempercepat wushul kepada Allah.
Adab Bathin:
Meyakini keparipurnaannya, dan meyakini kemursyidannya, karena Syeikh telah menyatu dalam syariat dan hakikat, jadzab dan suluk secara paripurna. Dan Syeikh senantiasa berada pada jejak-jejak Rasulullah SAW.
Mengangungkan dan menghormatinya baik secara ghaib maupun hadir, dengan tetap mencintai di hatinya sebagai bukti pembenaran jiwanya.
Melepaskan akal rasional, prestasi dan pristis serta kapasitas ilmiah dan amaliyahnya, kecuali yang tumbuh dari hadapan Syeikhnya. Sebagaimana dilakukan oleh Syekh Abul Hasan as-Syadzily ketika bertemu Syeikhnya. Siapa pun yang hendak menemui syeikhnya, hendaknya ia memandikan ilmu dan amalnya sebelum ia bertemu dengan syeikhnya, agar mendapatkan minuman yang murni dari lautan ilmunya yang mulia.
Tidak boleh pindah dari satu Syeikh ke Syeikh lain. Karena perpindahan ini sangat tercela menurut ahli thariqah. Namun, diperkenankan pindah dari Syeikh Ilmu Dzohir (syariat) ke Syeikh syariat lainnya.
Adab dengan Sesama
Menjaga kehormatan mereka, apakah ia hadir atau tidak. Tidak boleh saling mencela, saling menggunjing, tidak boleh meremehkan sesama. Karena itu tidak boleh mengatakan, “murid si syeikh Fulan lebih sempurna dibanding murid syeikh fulan.” Si Fulan ini ‘arif, si fulan itu tidak arif. Si Fulan kuat dan si fulan lemah. Karena ungkapan itu tergolong pergunjingan, dan jelas haram. Apalagi bagi menggunjing para auliya’. Jangan sampai si murid menggunjing Waliyullah.
Turut menasehati jika terjadi kesalahan dan kesesatan, membantu keperluan mereka, karena diantara mereka ada yang pemula, ada pula yang sudah sampai (wushul).
Saling bertawadlu’ antar mereka, membantu mereka untuk mudah mengingat Allah. Saling membantu secara maksimal. Pembantu seorang kaum itu berarti pemuka kaum itu. “Saling tolong menolonglah kamu atas dasar kebajikan dan ketaqwaan.” (Firman Allah).
Memandang dengan pandangan hati yang jernih pada mereka, tidak menganggap kurang pada sesama kaum Thariqat Sufi.
Jika ia melihat kekuarangan secara dzahir (tampak di permukaan) hendaknya sebagai mukmin ia menempuh rasa maaf, hingga tujuh puluh kali. Dan jika saja masih tampak kurang, hendaknya ia melihat cermin dirinya sendiri. Karena seorang mukmin adalah cermin bagi sahabatnya. Sabda Rasulullah saw, “Dua perilaku utama yang tak ada unggulannya dalam hal kebaikannya: Husnudzon kepada Allah dan Husnudzon kepada hamba Allah. Sebaliknya tidak ada yang lebih buruk dari dua perilaku: Su’udzon kepada Allah dan Su’udzon kepada hamba Allah.”
—(ooo)—




Kedudukan Para Wali


Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya dari kalangan para hamba Allah ada segolongan orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada, namun para nabi dan para syuhada’ berebut dengan mereka dalam kedudukan terhadap Allah.”
Orang pun bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakan kepada kami siapa mereka itu dan apa amal perbuatan mereka. Sebab kami senang kepada mereka karena yang demikian itu.”
Nabi menjawab, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan Ruh Allah, tidak atas dasar pertalian keluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya terang, dan mereka berada di atas cahaya terang. Mereka tidak merasa takut ketika semua orang merasa takut, dan mereka tidak merasa kuatir ketika semua orang merasa kuatir.” Dan beliau membaca ayat ini: Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tiada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka merasa kuatir.
(Kitab Fath al-Bari, Syarh Sahih al-Bukhari)

Ciri-ciri Wali Badal


Wahai yang berhasrat memperoleh kedudukan para badal
Yang tanpa kesungguhan menjalani amalan-amalan.
Samasekali janganlah berharap, karena kau tidak berhak,
Sampai kau ikuti mereka dalam kiprah dan langkah
Diamlah dalam hatimu dan menyingkirlah dari setiap orang,
Yang mendekat, selain pencinta dan yang berwenang.
Jika kau malam berjaga dan lapar kau peroleh maqam mereka,
Dan kau temani mereka saat menetap dan bepergian.
Wisma kewalian terbagi-bagi biliknya dalam sekatan-sekatan,
Dan junjungan kita para badal berada di dalamnya.
Antara bilik-bilik diam sempurna dan pengasingan diri abadi,
Serta bilik-bilik lapar dan berjaga, suci luhur di hati.

Hakikat Karamah


Fatwa Syeikh Abul Hasan Asy Syadzili
Soal Karamah yang dilimpahkan oleh Allah kepada para auliya’ seringkali ditentang oleh mereka yang anti dunia sufi. Mereka menganggap Karamah itu seperti sihir, bahkan termasuk kategori khurafat dan zindiq. Padahal Karamah adalah bentuk lain dari sesuatu yang luar biasa, jika itu turun kepada Nabi dan Rasul disebut Mu’jizat, tetapi karena diturunkan kepada para wali maka disebut Karamah.
Pada era terakhir ini muncul di berbagai media massa sejumlah iklan yang menonjolkan istilah Karamah, misalnya, Ilmu Karomah, Kadigdayan Karamah, Karamah Sejati, dan sebagainya. Sebenarnya, istilah yang disebarluaskan dalam iklan tersebut sama sekali bukan masuk dalam istilah Karamah para sufi atau para wali. Karena itu perlu ekstra hati-hati untuk melihat dan memandang apakah keluarbiasaan seseorang itu bersifat Karamah atau sekadar Ilmu Jin, atau Ilmu Hikmah. Semuanya berbeda, walau pun punya kemiripan.
Banyak sekali kisah al-Qur’an yang mengilustrasikan Karamah itu sendiri. Misalnya kisah-kisah Maryam, Ibunda Nabiyullah Isa as, seperti dalam surat ali Imran 37: “Maka Tuhannya menerima (nazarnya) dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikannya yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa terhitung.”
Pada surat lain, misalnya Maryam 25 disebutkan, “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”
*Sementara itu dalam hadits Nabi, soal Karamah itu juga dijelaskan, misalnya, riwayat Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Tak ada bayi yang bicara kecuali tiga bayi: Isa bin Maryam, seorang bayi di zaman Juraij dan seorang lainnya….dst.” Juga kisah Ashabul Kahfi.
Sedangkan Amirul Mu’minin ra pernah berucap, “Wahai pasukan! Awas bukit…awas bukit…!” diucapkan di tengah-tengah Umar bin Khaththab sedang berkhutbah jum’at. Suara Umar ketika itu didengar oleh pasukan yang sedang bertempur sengit di medan laga saat itu.
Proses-proses munculnya Karamah adalah sebagaimana munculnya Mu’jizat. Bisa muncul karena doa seseorang, bisa karena muncul tiba-tiba secara luar biasa. Namun, hakikatnya Karamah itu, bukan saja sesuatu yang muncul dengan kedahsyatan. Seseorang bisa menahan kesabarannya, ketika harus marah besar, bisa disebut sebagai Karamah Allah atas orang itu.
Kebajikan-kebajikan dan barakah-barakah para sufi terhadap para pengikutnya juga bisa disebut Karamah. Namun munculnya Karamah itu bukan atas usaha seseorang yang disertai ilmu-ilmu tertentu atau dzikir tertentu supaya Karamah bisa datang. Dan ciri-ciri orang yang punya Karamah itu tentu berbeda dengan orang yang punya ilmu hikmah. Kalau Karamah mesti tumbuh dari para sufi, sementara ilmu hikmah muncul dari kalangan ahli hikmah, yaitu mereka yang menguasai ilmu-ilmu tertentu yang bisa mendatangkan keluarbiasaan. Derajatnya pasti jauh, dan Karamah berada di tempat yang sangat luhur.
Tetapi di dalam perjalanan sufi menuju kepada Allah, seseorang dilarang mencari Karamah. “Uthlubil istiqamah walaa tahlubil Karamah.” (Carilah istiqamah, dan jangan mencari Karamah). Karena hakikat Karamah itu adalah istiqamah itu sendiri. Orang yang bisa istiqamah akan mendapatkan Karamah, tetapi orang yang mencari Karamah belum tentu dapat Karamah sekaligus juga belum tentu bisa istiqamah.—(ooo)—

Hati


  1. Yang paling menakjubkan pada diri manusia adalah hatinya, padahal ia merupakan sumber hikmah sekaligus lawannya. Jika timbul harapan, ketamakan akan menundukkannya. Jika ketamakan telah berkobar, ia akan dibinasakan oleh kekikiran. Jika ia telah dikuasai oleh keputusasaan, penyesalan akan membunuhnya. Jika ditimpa kemarahan, menjadi jadilah marahnya. Jika sedang puas, ia lupa menjaganya. Jika dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian. jika sedang dalam kelapangan (kaya), bangkitlah kesombongannya. Jika mendapatkan harta, kekayaan menjadikannya berbuat sewenang wenang. Jika ditimpa kefakiran, ia tenggelarn dalam kesusahan. Jika laparnya menguat, kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak. Dan jika terlampau kenyang, perutnya akan mengganggu kenyamanannya. Sesungguhnya setiap kekurangan akan membahayakan, dan setiap hal yang melampaui batas akan merusak dan membinasakan.
  1. Ada empat hal yang mematikan hati, yaitu: dosa yang bertumpuk-tumpuk, (mendengarkan) guyunon orang pandir, banyak bersikap kasar dengan kaum perempuan, dan duduk bersarna orang orang mati.
    Orang orang bertanya, “Siapakah orang orang mati itu, wahai Amirul Mu’minin?” Imam ‘Ali a.s. menjawab, “Yaitu setiap hamba yang hidup bergelimang dalam kemewahan.”
  1. Ketahuilah! Sesungguhnya di antara bencana ada kefakiran, yang lebih berat daripada kefakiran adalah penyakit badan, dan yang lebih berat daripada penyakit badan adalah penyakit hati. Ketahuilah! Sesungguhnya di antara kenikmatan adalah banyak harta, yang lebih utama daripada banyak harta adalah kesehatan badan, dan yang lebih utama daripada kesehatan badan adalah ketakwaan hati.
  1. Tanyailah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang tidak akan menerima suap.
  1. Sebaik baik hati adalah yang paling ingat.
  1. Nyalakanlah hatimu dengan adab, sebagaimana nyalanya api dengan kayu bakar.
  1. Harta simpanan yang paling bermanfaat adalah cinta hati.
  1. Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka, datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliannya. Sebab, jika hati itu dipaksakan, ia akan buta.
  1. Sesungguhnya hati mengalami kejemuan, sebagaimana jemunya badan. Maka, berikanlah padanya anekdot anekdot hikmah.
  1. Jika engkau ragu dalam hal kecintaan seseorang, maka tanyailah hatimu tentangnya.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar