(I): Menghancurkan Pemerintahan Islam
SHABESTAN — Setelah perang salib pertama yang berlangsung selama dua abad gagal dalam upaya mencabut Islam dari akarnya, orang-orang Kristen mulai mengadakan kajian yang cermat dan membuat program untuk menghancurkan umat Islam. Rencana mereka itu secara bertahap adalah sebagai berikut :
Pertama : Menghancurkan Pemerintahan Islam
Inggris, Yunani, Italia, dan Perancis menggunakan kelemahan Daulah Utsmaniyah karena perselisihan yang berkecamuk di dalam tubuh daulah itu. Mereka bagai segerombolan serigala lapar menyerbu dengan ganas dan menguasai tanah-tanah daulah. Di antaranya adalah ibukota Daulah, Istanbul. Kemudian diadakan perjanjian perdamaian Luzan. Inggris memberi isyarat kepada penghianat, Attaturk, bahwa Inggris tidak akan menarik pasukannya dari tanah Turki, kecuali setelah dilaksanakan kesepakatan dengan syarat-syarat berikut :
1. Menghapus Khilafah Islamiyah, mengusir khalifah dari Turki, dan merampas harta bendanya.
2. Turki berjanji untuk menumpas segala gerakan yang dilancarkan oleh para pembela khilafah.
3. Turki harus memutuskan hubungan dengan Islam.
4. Turki harus memilih undang-undang sipil sebagai pengganti undang-undang yang diambil dari hukum Islam.
Selain itu, menghapus mahkamah (pengadilan) syariah, sekolah-sekolah agama,wakaf, hukum waris, dan mengubah azan dengan bahasa Turki, mengganti huruf arab dengan huruf Latin,mengganti hari libur pada hari Jumat menjadi hari Minggu, dan semua ini terlaksana tuntas pada tahun 1928.
Pengkhianatan Attaturk berhasil melaksanakan segala persyaratan ini. Dan Inggris beserta para sekutunya mengakui kemerdekaan Turki. Mereka menyalami Attaturk atas keberhasilannya menghapus khilafah, mensekularkan negara dan memerangi Islam.
Ketika Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris, berdiri di Majelis Umum Inggris (The House Of Common) melaporkan apa yang terjadi di Turki, sebagian perwakilan Inggris memprotesnya. Merekapun menyangkal mengapa Inggris mengakui kemerdekaan Turki yang di sekitarnya mungkin berkumpul negara-negara Islam yang kemudian bersama-sama menyerang Barat. Curzon menjawab, “Kita telah menghancurkan Turki yang tidak memungkinkan mendirikan satu negara pun yang membelanya sejak hari ini. Sebab, kita telah menghancurkan kekuatannya yang terwujud dalam dua dimensi: Islam dan khilafah.” Para hadirin pun bertepuk tangan, dan tidak terdengar lagi bantahan. (Abdullah Nashih Ulwan)
Kedua : Menghancurkan dan Menghapus Al-Qur’an
Hal ini dilakukan karena ajaran salib (Kristen) beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah sumber pokok kekuatan orang-orang Islam, sumber mereka untuk kejayaan, kekuatan dan kemajuannya yang telah berlalu.
1. Gladstone, yang menjabat perdana menteri Inggris selama empat kali (1864-1874, 1880-1885, 1886-1891, 1892-1894) dalam Majelis Umum (The House of Common) Inggris, sambil mengangkat Al-Qur’an, mengatakan, “Selama Al-Qur’an ini berada di tangan orang-orang Islam, maka Eropa sama sekali tidak akan dapat menguasai Dunia Timur. Bahkan Eropa itu sendiri akan terancam.”
2. Seorang missionaris, William Jeford Balcrof, berkata, “jika Al-Qur’an dapat disisihkan dan kota Mekkah dapat diputuskan hubungannya dari negara-negara Arab, maka sangat memungkinkan bagi kita untuk melihat seorang Arab secara bertahap mengikuti kemajuan Barat, terjauh dari Muhammad dan sekitarnya.”
3. Seorang missionaris pendengki lainnya, Catly, berkata, “Kita harus menggunakan Al-Qur’an sebagai senjata yang paling ampuh dalam Islam untuk melawan Islam itu sendiri, sehingga kita dapat menghancurkannya. Kita harus menerapkan kepada kaum muslimin bahwa yang benar dalam Al-Qur’an bukanlah baru, dan yang baru tidaklah benar.”
4. Seorang penguasa kolonial Prancis di Aljazair, dalam peringatan seratus tahun kedudukannya, berkata, “Kita harus melenyapkan Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu dari kehidupan mereka, dan melenyapkan Bahasa Arab dari lidah mereka, agar kita dapat berkuasa penuh.”
Kenyataan ini menimbulkan kejadian unik di Prancis. Yaitu adanya usaha untuk melenyapkan Al-Qur’an dari jiwa pemuda Aljazair. Prancis mengadakan suatu eksperimen ilmiah, dengan memilih sepuluh pemudi muslimat berkebangsaan Aljazair yang oleh pemerintah Prancis dimasukkan di sekolah Prancis, diajari kultur Prancis, diajari Bahasa Prancis, sehingga seolah-olah seperti seorang Prancis. Setelah sebelas tahun berlalu dari usahanya itu, sekolah mengadakan pesta meriah untuk melepas alumni. Diundang pula para menteri, ahli fikir dan para wartawan. Ketika pesta dimulai, semua hadirin dikejutkan dengan pemunculan pemudi-pemudi Aljazair yang mengenakan busana muslimat Aljazair. Surat kabar-surat kabar Prancis gempar dan bertanya-tanya. “Apa yang dilakukan Prancis di Aljazair, setelah berlalu seratus duapuluh delapan tahun dari masa pendudukannya?” La Couist, Menteri colonial Prancis menjawab, “Apa yang mesti saya lakukan, jika Al-Qur’an ternyata lebih kuat dari Prancis?”(Abdullah Nashih Ulwan)
[Sumber: Era Muslim]
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar