Resensi: Pincalang Telah Hilang dari Ingatan

Bookmark and Share

"Laut selalu memberi aba-aba lebih dulu sebelum memulai aksinya," (hlm 10). Begitulah salah satu kalimat di dalam novel ini yang menggambarkan akrabnya manusia dengan laut. Pincalang adalah sebuah novel. Penulisnya, Idris Pasaribu, sangat prihatin dengan pincalang yang nyaris punah. Pincalang adalah kapal kayu ukuran menengah dengan 3-4 layar. Idris mencoba mengenalkan kembali pincalang kepada masyarakat modern, khususnya generasi muda. 
Pincalang pernah berjaya di sepanjang pesisir barat Sumatra beserta kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan setempat. Dulu, masyarakat boleh dikata lahir dan menghabiskan hampir seluruh masa kehidupannya di atas pincalang. Sayang, kini telah hilang dan semakin luntur dari ingatan karena tergerus kemajuan zaman yang lebih modern.
Pincalang bercerita seputar kehidupan manusia "perahu" bernama Amat. Ceritanya dimulai semenjak remaja, tepatnya saat berumur 16 tahun. Ayahnya berpesan agar dia segera menikah. Maka dari itu, dipilihkanlah Maryam yang hanya terpaut usia 2 tahun lebih muda dari Amat sebagai calon istrinya. 
Cerita pun berkembang. Tak lama mereka dikaruniai seorang anak lelaki dinamai Buyung. Amat yang hanya berbekal kepandaian berbahasa Arab merasa apa yang dimilikinya tak cukup. Hal itu disadari setiap kali Amat berkumpul dan berbincang-bincang di kedai kopi bersama orang-orang darek (darat) setiap kali pincalangnya merapat ke dermaga untuk menjual barang miliknya (hlm 92).
Amat lalu berkeras pada Maryam agar Buyung disekolahkan. Sempat Maryam menolak karena harus menerima kenyataan akan terpisah dari anak pertama mereka. Pada akhirnya keputusan Amatlah yang harus dituruti. Buyung bersekolah. Amat berharap anaknya kelak akan menjadi orang pintar dan tak begitu saja dapat dengan mudah ditipu tauke yang kerap mengambil keuntungan dari kekurangtahuan Amat dan masyarakat pincalang lainnya.
Bahkan, kini tak hanya Buyung, Amat pun mulai mengikuti program pemberantasan buta aksara beserta istrinya. Selain itu, mereka merintis usaha dagang. Ternyata, Amat memiliki bakat yang baik dalam hal berdagang. Kegiatan dagangnya terus berkembang. Suami istri itu mulai mencecap hidup yang sangat berkecukupan dan mulai lepas dari menggantungkan seluruh kebutuhan hidup dari laut. 
Keppres

Tak semua yang awalnya baik juga berakhir dengan baik pula. Seperti kehadiran Keputusan Presiden (Keppres) yang mau membantu kemudahan bagi masyarakat untuk mendapat pinjaman agar dapat memiliki kapal bermotor dengan sistem kredit melalui bank (hlm 150). Hasilnya, perlahan setiap orang mulai dapat memiliki kapal motor yang sekaligus ikut mendongkrak gengsi pemilik.
Dengan hadirnya Keppres baru yang menyiapkan dana lebih besar dalam pemberian fasilitas bagi kapal-kapal penangkap ikan (hlm 183), pertumbuhan di pesisir pantai Barat semakin berkembang pesat. Aktivitas perdagangan di laut juga meningkat. 
Kawasan industri turut tumbuh. Imbasnya, segala kekayaan alam yang tersedia dikeruk dengan sangat rakus. Demi rupiah yang akan lebih banyak mengalir ke kantong, alam tak lagi diperhatikan. Apalagi dipelihara keberlangsungannya. 
Idris Pasaribu yang pernah aktif di Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) untuk Sibolaga dan Medan, mungkin, mendapati keadaan yang sama dalam kenyataan yang terjadi di pesisir pantai barat. Kritikan itu diceritakan kembali dalam Pincalang, beserta kritikan-kritikannya. Juga disinggung masa kekuasaan Orde Baru, ketidakadilan yang terjadi pada rakyat kecil, dan masalah kemanusiaan. 
Buku ini belum sempurna benar karena masih banyak salah tik, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi kalau editornya teliti, kemudian tentang rentang waktu pembuka novel juga tidak jelas. Pembaca harus mengernyitkan dahi untuk menerka-nerka. Meski begitu, toh tak ketahuan juga. Namun, Pincalang benar-benar dapat memuaskan ekspektasi pembaca akan kualitas cerita yang dihadirkan pengarang. Begitu pun penggambaran yang sangat baik mengenai manusia-manusia pincalang.
Kepiawaian Idris Pasaribu dalam pemilihan kata yang imajinatif, namun tetap komunikatif dan informatif adalah kelebihan yang membuat novel ini semakin terasa sayang untuk dilewatkan dari daftar referensi bacaan.
Diresensi Fadly Pratama, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Unimed 
Judul            : Pincalang
Penulis         : Idris Pasaribu
Penerbit       : Salsabila
Cetakan       : Pertama, April 2012
Halaman       : 256 halaman
ISBN           : 987-602-98544-1-1
Nb: Resensi ini dimuat pada Koran Jakarta, Kamis 28 Juni 2012

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar