Akal merupakan daya atau kekuatan yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai alat berpikir dan alat untuk mempertimbangkan dan memikirkan baik buruknya sesuatu.
Akal merupakan suatu potensi yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia di samping nafsu. Kedua unsur ini termasuk dalam alam rohani (non-fisik).
Secara bahasa akal berarti daya atau kekuatan pikiran (quwwah al-idrak) atau pemahaman (al-fahm). Istilah lain dari akal adalah an-nazr (berpikir secara mendalam) dan al-fikr atau logika.
Ragib Al-Isfahani (ahli bahasa dan gramatika Arab) mengatakan, akal merupakan kekuatan yang dipersiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman, ”Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS. Al-Ankabuut: 43).
Orang yang tuli, bisu, dan buta dalam Surah Al-Baqarah: 171 menunjukkan kata-kata metafora yang berarti orang yang tidak menggunakan akalnya. Orang yang berakal adalah orang yang sadar, bisa berpikir, tidak gila, dan termasuk dalam kriteria mukalaf, orang yang wajib melaksanakan hukum Allah SWT.
Peranan akal dalam berijtihad
Potensi akal sebagai daya kekuatan untuk berpikir dan berijtihad dalam bidang hukum Islam sangat menarik di kalangan ahli usul fikih, terutama dalam merumuskan (mengistinbatkan) hukum yang tidak diatur secara terperinci dalam Alquran maupun sunah Rasulullah SAW.
Permasalahan ini muncul berdasarkan hadis Rasulullah SAW ketika menugaskan Mu'adz bin Jabal sebagai kadi ke Yaman. Dalam hadis ini dikemukakan tata cara Mu‘adz menetapkan hukum setelah bertugas di sana. Hukum ditetapkan berdasarkan ketetapan Kitabullah (Alquran).
Jika tidak ditemukan ketetapan hukum itu dalam Alquran, ditempuh cara kedua, yakni berdasarkan ketetapan sunah Rasulullah SAW. Jika juga tidak ditemukan dalam sunah, ditempuh cara ketiga, yakni dengan menggunakan akal (ar-ra’yu).
Mendengar keterangan Mu‘adz bin Jabal ini Rasulullah SAW mengucapkan, "Alhamdulillah,” sambil menepuk-nepuk dadanya dengan pelan (HR. Abu Dawud). Berdasarkan hadis ini, para ahli usul fikih sepakat menempatkan ijtihad (pengerahan potensi akal) sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Alquran dan sunah Rasulullah SAW.
Peluang yang diberikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang terdapat dalam hadis di atas membawa pengaruh pada munculnya apa yang disebut dengan aliran yang mengutamakan akal dalam merumuskan hukum dibanding nash (ahlu ar-ra’yi) dan aliran yang mengutamakan nash dibanding akal (ahlu al-hadis).
Tetapi, kedua aliran ini tetap menempatkan ijtihad atau ar-ra ’yu pada urutan ketiga dalam sumber hukum Islam setelah Alquran dan sunah Rasulullah SAW.
Sumber: Sumber: Ensiklopedi Hukum Islam
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar