TV, I Will Kill You!

Bookmark and Share

Hanya satu yang tidak diajarkan televisi, yaitu bagaimana cara membunuh televisi
(Taufiq Ismail)

Pertengahan Juni silam, Maliki Arbi, 13, ditemukan tewas dengan bekas jeratan tali di lehernya. Indah, sepupu Kiki-sapaan akrab bocah itu- berkisah.  Sepuluh menit menjelang ajal, murid kelas V SD Cakung itu asyik menonton film Bollywood yang sedang diputar salah satu stasiun tv swasta. “Salah satu adegannya mempertontonkan orang yang sedang gantung diri,” tutur Indah. Iseng mencoba, kepala Kiki malah tertahan tali ayunan yang memang diikatkannya. Akhirnya, malang yang tak diundang pun datang. Nyawa meregang. Jiwa melayang. (Media Indonesia 4 Desember)           http://flpsumut.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

Kiki tidak sendirian. Masih banyak Kiki-kiki lain yang juga menjadi korban tv. Yah, inilah konsekuensi hadirnya media tanpa batas itu di rumah kita. Kotak pandora itu memang sungguh ajaib. Efek negatifnya memang tak bisa disangkal lagi. Ini bukan bualan belaka. Karena memang berbagai fakta telah membuktikannya. Dewasa ini, berbagai adegan tak mendidik bahkan menjurus tindakan kriminal telah hadir di rumah kita, ke ruangan keluarga, kamar tidur, kos-kosan mahasiswa, ruang tunggu rumah sakit, lobi hotel, juga ruang kantor. Semua peristiwa tak mendidik itu hadir melalui perantaraan televisi.Pagi-pagi kita sudah disuguhi siaran infotainment yang menyebar aib orang lain. Kemudian, kita ”mempelajari” bagaimana cara tersangka melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan melalui reka ulang kejadian dalam program semacam investigasi. Lalu, di hadapan kita telah tersaji berbagai jenis sinetron yang temanya tak jauh-jauh dari dua hal: mistik atau percintaan.           

Ragam variasi hantu lokal dan mancanegara datang bertandang untuk menakut-nakuti kita. Anak-anak yang belum mengerti apa-apa akhirnya menjadi fobia terhadap kegelapan atau suasana sunyi. Mereka mengalami trauma psikologis. Sebab, sosok-sosok seram seperti pocong, sunder bolong, siluman, vampir dan drakula telah berhasil menggoyahkan keyakinan mereka terhadap Tuhan.           

Tak kalah heboh, sinetron remaja Indonesia juga sangat mengenaskan. Tema dominannya cuma percintaan melulu. Sangat picisan. Hasil riset 67 peneliti dari 18 perguruan tinggi di Indonesia menemukan kenyataan berjubelnya adegan seks di dalamnya. Sebagian besar, menurut mereka, berpusat pada ”hubungan seks” (57 %). Adegan tersebut memang tidak secara langsung menunjukkan hubungan seks, namun shot pembukanya sudah cukup untuk mengasosiasikan bahwa hubungan itu (akan) terjadi. Jenis adegan seks lainnya adalah ciuman (18%), pemerkosaan (12%) dan kata-kata cabul (10%). Ditemukan pula adegan telanjang (2%) dan seks menyimpang (1%). (Republika, 9 Maret 2008). Ironisnya, semua itu dilakoni oleh anak-anak sekolah. Tragis!           

Selain itu, aksi kekerasan juga berseliweran secara bebas dalam sinetron remaja. Dan lebih separuhnya, kata Nina Armando-pakar media-, merupakan kekerasan psikologis seperti perilaku mengancam, mengejek, memaki-maki, melecehkan, memarahi, mempelototi dan membentak. Selanjutnya, adegan kekerasan fisik juga tak kalah banyak. Riset menunjukkan bahwa 90% dari kekerasan telah direncanakan oleh pelakunya alias disengaja. Sampai-sampai ada kecenderungan glamorisasi kekerasan.           

Begitu pula dengan menu hiburan musik dan komedi yang –sekarang ini- bukan lagi mengedepankan sisi seninya, tapi malah sisi nudisme. Seakan tak sempurna, kalau video klip sebuah lagu, panggung konser atau komedi situasi tak dihiasi kata-kata dan gerak yang mengarah pada pornografi. Hebatnya, film kartun untuk anak-anak pun tak luput dari nudisme dan kekerasan. Sebuah survey mencatat adanya 84 adegan kekerasan dalam film kartun setiap jamnya.
           
Membunuh TV, Mungkinkah?           

Dampak buruk tv sudah sangat jelas. Tetapi, manfaatnya pun tak bisa dipungkiri. Lantas, haruskah kita ”membunuh” televisi? Itu bukan hal yang mustahil sebab tudingan miring terhadap tv bukan hanya ada di republik ini. Di Amerika, secara ekstrem kekesalan itu mewujud gerakan moral Turn Off Your TV Week. Satu minggu tak menyalakan tv. Hal serupa juga marak dikampanyekan di Australia, Brasil, Jepang, Italia, Taiwan, Meksiko hingga Kanada.            

Bagaimana Indonesia? Kalaupun tak sampai ”membunuh televisi”, paling tidak kita harus melakukan ”diet televisi” dan mengalihkan konsentrasi pada aktivitas yang lebih produktif untuk kebangkitan bangsa. Setuju? 

Oleh: Anugrah Roby Syahputra

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar