Menjenguk Rindu Di Kota Laut

Bookmark and Share


 Ini puasa pertama. Aku menjejak kakiku pada tanah kelahiran kita yang sepi. Berbilang tiga tahun tak berkabar. Ah, apa kabarmu sekarang? Sungguh! Aku rindu. Bukan aku tak mau pulang. Hanya belum sempat atau belum waktuku. Malu, bukan? Jika aku pulang tak membawa rumah impian untukmu. Apa kau sudah lupa padaku? Apapun ceritanya aku ini tetaplah separuh jiwamu. Kesayanganmu. Oh ya, hari ini aku kembali ingin menggenapi janjiku dulu; ingin  membangunkanmu rumah dengan selasar, tempat kita akan menikmati detik-detik kelahiran matahari. Setiap hari. Setiap pagi. Tak mewah, tak bertingkat, tapi aku yakin kau pasti suka dengan rumah yang akan aku bangun. Seperti permintaanmu dulu; rumah kecil berberanda di tepi pantai.

Tanah kelahiran kita ini tetap panas. Mengalahkan panasnya kota tempat aku bersimbah keringat; mengais rupiah demi rupiah.  Ah, tetap seperti dulu. Bahkan tak berubah. Jalan-jalan yang panjang. Pohon-pohon kelapa. Rumah-rumah panggung. Hanya saja, pantai itu sudah semakin ramai dikunjungi pewisata dari luar kota. Ah, seperti mimpimu dulu; tanah kita ramai diminati orang.

Ini puasa pertama. Kau masak apa? Aku rindu gulai lomak itu. Kita tak seperti keluarga lain; menyambut puasa pertama dengan rendang daging, semur ayam dan makanan mewah lainnya. Bahkan, tak ada tradisi mandi pangir dan punggahan. Kau sendiri bingung dengan petuah orang tua kita; mandi pangir dapat menyucikan diri. Ai, ada-ada saja!

Aku menggegas langkahku. Sungguh, aku ingin tahu seperti apa rupamu kini? Masih cantikkah seperti dulu? Sama persis ketika aku mendecak kagum atas gemulai tubuhmu yag dengan rancak menarikan serampang dua belas. Sungguh! Kau cantik sekali hari itu. Dengan selendang biru membalut wajah pualammu. Sejak hari itu, aku merasa hikayat cintaku bermula.

 Masih berbinarkah mata indahmu? Masih  hangatkah senyum cerahmu? Ah, aku rindu! Atau, kali ini kau akan merepetiku habis-habisan? Aku siap, Dinda. Jika itu mampu menebus kesalahanku yang tak berkabar sekian lama.

Ini puasa pertama. Aku ingin menghabiskannya sebulan ini bersamamu. Aku merindukan ibadah dengan tenang; tilawah dengan tenang, tarawih dengan tenang. Sungguh, Dinda, aku merindukan kau membangunkanku untuk tahajud bersama, memercikkan air ke wajahku yang pulas. Lalu aku akan pura-pura manja. Kau malah menyiramkan segelas air dingin sambil menahan tawa.

Dinda, apa kau ingat kejadian empat tahun lalu. Bukankah saat itu Bulan Ramadhan pula? Kau tertunduk di teras msjid. Memandang kaku orang-orang yang hendak beranjak tarawih. Sedang kau, mengapa pula hanya berdiam diri saja. Bahkan rambutmu awut-awutan. Mukenamu tak kau pakai. Tak ada orang-orang yang peduli. Kau tersungkup berjalan. Menunduk. Lalu, aku melihatmu. Aku mengenalimu (meski kita tak pernah bercakap-cakap). Kau adalah anak Uwak Mansyur, yang baru wafat seminggu lalu. Kau saat itu sebatang kara. Kata orang-orang kau perempuan sial. Aku tak peduli. Kutegur saja kau saat itu (setelah sekian lama aku mengumpulkan keberanianku untuk berbicara denganmu). Lantas, aku merasakan hujaman tatapan-tatapan ganjil orang-orang membungkus tubuh kita. Aku gugup!

Orang tuaku mengendus hubungan kita. Mereka berang. Sebab, baru aku tahu, ada dendam kesumat yang sudah terpatri sekian lama antara keluargamu dengan keluargaku. Padahal kita masihlah satu keluarga jauh. Agaknya, masalah perebutan harta warisan selalu mendulang kebencian tak berkesudahan. Ayahmu, yang bukan siapa-siapa di keluarga buyutku, malah mendapat jatah tanah melimpah. Sementara keturunan aslinya, mendapat ala kadar saja.
“Mak, biarlah Dik Dinda tinggal di rumah kita,” bujukku pada Mamak saat itu.

“Ah, gila kau ini! Apa kata orang kampong nanti?” Mamak terang saja tak menyetujui usulan konyolku itu.

“Mak, kita ini Orang Melayu yang menjunjung kepedulian. Dia itu yatim-piatu. Apa susahnya menampung seorang saja?” Aku memaksa.

“Alah, tahu apa kau soal adat kampong dan kepedulian.” Perempuan paruh baya dengan baju kurung itu bersikeras.

Aku beringsut. Tak ingin memperpanjang perdebatan. Setiap hari aku mengunjungimu. Orang-orang menatap sinis. Mau kali kau berteman dengan gadis pembawa sial tu? Sontak mereka berkomentar. Aku bergeming. Hei, lagipula apa peduli mereka?

Kau masih 17 tahun saat itu. Sebatang kara; simpai keramat. Tak ada sanak saudara. Maka, aku yang sejak lama sudah memendam rasa padamu, semakin bertambah rasa ibaku. Eh, tepatnya rasa cintaku.  Dadaku berdebam-debam. Kau bahkan selalu menangis ketika diam-diam aku memberikan makanan berbuka puasa. Ah, bahkan warisan orang tuamu pun telah dirampas paksa.

Lantas, aku beranikan diri. Nekad.  kubilang pada Orang tuaku; aku akan menikahimu. Benar. Dugaanmu tepat. Aku ditentang. Dicap anak durhaka. Jika tetap keras kepala, maka, aku harus hengkang dari rumah. Dicoret dalam daftar waris keluarga. Tak mengapa. Yang terpenting, aku semacam berkewajiban, melindungi yatim-piatu sepertimu. Oi, kurasa, alasan lainnya sebab aku begitu mencintaimu sejak dulu. Maka, jadilah kita lari nikah.

Kita menikah. Sederhana. Amat sederhana. Pindah. Rumah kita jauh dari hingar binggar warga. Tak ada orkes Melayu. Sunyi, sepi, misteri. Kita harus menyeberangi laut. Pada sebuah pulau kecil. Di sana, kita hidup bahagia. Soal, makan. Gampanglah! Bahkan segala aneka ikan dengan mudah kita dapatkan. Saat itu masih bulan puasa. Kita tarawih berdua. Bergantian membaca Alquran dengan lilin seadanya. Hingga di penghujung bulan; waktu menasbihkan keakraban kita. Tak kusangka kau lebih dari sekadar cantik. Begitu baik. Kau selalu bertanya padaku, apakah aku meridhaimu? Aku hanya mengganguk saja sebagai jawaban. Tak lupa menyungging senyumku.

“Aku ondak merantau, Dik. Ke Malaysia. Demi masa depan kita. Seperti janjiku dulu. Membangun rumah yang berteras.” Aku menatap tajam wajah istriku itu.

“Kanda, Dik tak butuh itu. Asal Kanda ridha saja. Itu semua sudah lebih dari cukup.” Suara Dinda lantas diselingi deburan ombak malam. Sungguh,itu malam lebaran yang romantis. Aku tahu kau tak ingin aku pergi. Tapi, ini demi kebaikan hidup kita. Percayalah!

Jadilah malam takbiran itu. kita bertakbir di pinggir pantai. Memandang bulan yang menawan. Sinarnya menyemburat lantai laut. Indah. Itu adalah suasana paling romantis seumur hidupku. Aku mengecup keningmu dalam. Kau mendekapku erat. Kita begitu bahagia. Takbir entah dari mana menyepuh telinga kita. Lamat-lamat. Angin laut merangkul tubuh kita.

***

Aku menjejak tanah kita. Hampir sampai. Tinggal mendayung dua tiga kali. Sunyi. Masih sama seperti dulu. Kubayangkan kau menungguku di bingkai pintu. Dengan baju kurung dan selembar selendang biru yang menutup rambut hitam lurusmu. Tak ada, aku bahkan sudah menjejak kakiku di tepi pantai. Air menyapu ujung celanaku. Kau tak ada. Ah, terang saja, bukankah aku tak mengabarimu sama sekali akan kedatanganku di puasa pertama ini? pasti kau sedang di dalam. Membersihkan rumah atau sedang membaca Alquran. Sebab ini, kan, bulan berlimpah pahala? Setiap huruf yang kau lafazkan diganjar berlipat balasan. Namun, aku mengenalmu luar dalam. Kau tak pernah hitung-hitungan dalam ibadah.

Tak lama, maka, akupun sampai di tepi pantai.

“Assalamulaikum,Dinda..” sapaku hangat. Aku takut kau tak mengenali lagi suaraku setelah tiga tahun.

Aku kitari rumah kecil kita. Tak ada. Ah, atau kau sedang bertandang ke rumah orang. Ya, kurasa iya. Aku keluar. Menyapu pandangan. Satu-dua-tiga rumah baru sederhana. Aku menuju ke sana. Aku seperti orang kebinggungan yang sedang mencari-cari.

“Ada yang melihat istri saya?” tanyaku gusar sambil menunjuk rumah amat sederhana kami.
Gelengan kepala. Mereka tak tahu. Agaknya mereka pendatang baru. Pindah ke rumah kedua. Pertanyaan serupa kuajukan. Menggeleng lagi. Lanjut ke rumah ketiga, pertanyaan yang sama. Seorang wanita paruh baya. Belum terlalu tua. Nek Hayati.

“Sudah meninggal 3 tahun lalu. Pendarahan. Keguguran.” Pendek sekali jawabannya. Tapi membuatku nyaris limbung dan pingsan. Aku terisak. Roboh dengan lutut membentur tanah. Dindaku sayang, gumamku pelan. Tega nian kau meninggalkanku!

***

Tanah kelahiran kita sepi. Ini kali pertama aku merasakan kesedihan yang membabi buta. Begitu menyiksa. Begitu mendera. Aku kehilangan semangat hidupku. Separuh jiwaku serasa pergi. Serasa tak berada di dunia. Nek Hayati menunjukkanku sebuah gundukan tanah. Kering. Tak ada batu nisan. Aih, bahkan di akhir riwayatmu kau sendiri di tanah kelahiranmu ini. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku memeluk pusaramu. Kubiarkan bajuku kotor. Ada dua pusara di sana. Keduanya tak bernisan. Pada puasa pertama ini, Tuhan memberiku lelucon yang begitu indah. Aku pingsan sambil menangis. Memeluk tanahmu. Ironisnya!  Aku bahkan tidak tahu kalau hari itu kau sedang mengandung. Maafkan, Abang, sayang!


Medan, menjelang Ramadhan 2011.
Oleh Abdilah Putra Siregar

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar