Karya Pembaca: Siapa Dia?

Bookmark and Share
Aku berjalan sendiri, sunyi, senyap melewati satu – persatu kelas di sepanjang koridor sekolahku. Seakan – akan ini membawaku kembali kemasa lalu, dimana aku masih menjadi seorang pelajar disini. Seketika keadaan berubah menjadi sangat ramai, murid – murid Tk berlari kesana kemari, terjatuh lalu menangis, berkelahi karena permainan. Angin menyapu wajahku, semuanya hilang kembali seperti semula sunyi dan senyap, yang ada hanya pegawai tetap sekolah ini yang sedang menyapu halaman. Tiba – tiba, entah apa yang aku rasa dan dengarkan suara lantunan Qiro’at – Qodarasmadi, aku berbalik kearah pemilik suara, diiringi semilir angin menyapaku.

 “Wajaā assaharotufir‘auna Qōluū innalanā la ajron ingkun nā nahnulghōlibīn. Qōlana’am wa innakum laminal muqorrobīn. Qōlū yāmūsaā immaā antul Qiya wa immaā annakūna nahnul mulqīnQōla alqu falammaā alqou saharū a’yunannās, a’yunannasi wastarhabūhum wajaā uū bisihrin ‘azhīm. Wa auhaynaā ilāmūsaā an alqi ‘ashōk. Fa idzāhiyatal qofumā yak fikūn. Fa wa qo’al haqqu wabatholamā kānūya’malūn. Faghulibū hunālika wangqolabūshōghirīn,”(al - a’raf 113 - 119)

Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada fir’aun mengatakan: “apakah sesungguhnya kami mendapat upah, jika kamilah yang menang?”. Fir’aun menjawab: “Ya, dan sesungguhnya kamu benar – benar akan termasuk orang – orang yang dekat (kepadaku)”. Ahli – ahli sihir berkata: “Hai Musa, kamukah yang akan melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan?”. Musa menjawab: “Lemparlah (lebih dahulu)!” Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). Dan kami wahyukan kepada Musa: “Lemparkanlah tongkatmu!”. Maka sekonyong – konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang – orang yang hina.

Selesai, bersamaan dengan berhentinya semilir angin yang melambai wajahku lembut.
Aku?
Kenapa ada aku disana?
Acara apa itu, apa pernah aku membawakan ayat itu dengan Qiro’at - Qodarasmadi?

Meskipun aku tau aku sangat ingin membawakannya, tapi aku tak punya keberanian membawakannya setiap kali aku pembaca Qur’annya. Sejak kapan aku berani membawakannya dengan nada setinggi itu, padahal aku sering tercekik membawakannya?

Lalu, seperti ada cahaya ajaib membawaku entah kemana. Aku membuka mataku perlahan, tempat yang tak asing lagi bagiku. Ya, ini ruangku sewaktu kelas tiga. Aku melihat, kami semua berkumpul di sudut kelas.

“AQ, sedang apa anak itu?” Gumamku. Aku mencoba mengingat yang terjadi di masa lalu. Ah, tampaknya aku mengingat sesuatu tapi entah apa. Seseorang masuk terburu – buru tanpa sadar ia membanting pintu kaca itu, ia wali kelas kami. Ada apa sebenarnya ini, aku benar – benar tak mengerti. Mataku menangkap seseorang berjilbab putih dengan wajah ketakutan.

“Kenapa ada aku lagi?” Kataku heran. Tapi, tak ada yang mengdengarku. Mereka semua sibuk dengan AQ yang terbaring di pojok seperti orang kesurupan.

“Aaaaaaaaaa,” Teriak AQ pada wali kelas kami, beliau terkejut hingga terduduk di kursi yang untung saja tepat berada dibelakangnya. Aku mulai merasakan semua ini pura – pura, bagaimana mungkin AQ yang percaya ilmu hitam yang tidak pernah kerasukan tiba – tiba kerasukan. Lalu, tiba - tiba . . .

“Happy birthday to you,” Semua menyanyikan itu, dan sekertaris kelas kami mengeluarkan bolu. Ya, benar, pura – pura, semua ini hanyalah sandiwara. Tapi, kapan kami melakukan ini. Seingatku memang ini pernah direncanakan, tapi tidak jadi kami lakukan. Yang aku ingat kami menggantinya dengan pertengkaran antara surya sang ketua kelas dengan Muslim.

Haaaahh, aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya lewat mulutku. Aku menyandarkan daguku, dan melipat tanganku di bawa dagu, tampak saat ketika aku bermalasan dan mengantuk. Aku mulai menghayati dua kejadian ini, ada didunia mana aku sekarang ini?

Kenapa mereka tidak melihat ku?
Kenapa aku ada dua?
Apakah aku pernah berfikiran bagaimana jikalau aku menjadi kembar?
Kenapa ada cahaya ajaib yang membawa aku dari bawah hingga keatas dalam sekejap tanpa menggunakan tangga?

Aku menuruni panggung yang beralaskan karpet tipis berwana biru, berjalan mendekati aku yang satunya lagi. Perlahan aku menggerakkan tanganku menuju wajahnya. Nihil, aku tak bisa menyentuhnya. Aku melihat kearahku sendiri.

Apakah aku hanya bayangan?
Apakah aku sudah mati?
Ada dimana aku?

Dadaku terasa sesak, pikiran – pikiran buruk mulai menghantui kepalaku. Aku berjalan mundur, seperti tak percaya ini. Nafasku mulai berat, aku rasakan hampir tak bisa bernafas. Aku seperti orang gila kehabisan nafas, tersudut dibalik pintu. Tapi, semuanya tak menghiraukanku. Aku rasakan mulai gelap, cahaya ajaib itu mulai menghampiriku kembali. Aku cepat – cepat membuka mataku, aku ingin segera tau kemana lagi kali ini cahaya ajaib itu membawaku.

 “Rumah, rumahkah ini?” Lirihku seketika aku membuka mataku.
Apa aku sedang didunia dongeng, kenapa suasananya tampak berbeda?
Ah. Tapi, aku tak suka dengan dongeng !
Aku mulai melangkahkan kakiku, lagi – lagi aku melihat diriku.
 “Aku sedang belajar mengaji, apa lagi ini?”
Dan gurunya, sejak kapan ia mengajariku mengaji lagi waktu SMA?

Ini gila !

Meskipun aku tak percaya ini, tapi ini semuanya tampak nyata. Aku melihat kearah kamarku, ketika itu seperti ada musik yang mengiringi. Ya, aku ingat lagu – lagu religi ini yang belakangan baru aku sukai. Aku membuka pintu kamarku, mataku melotot seakan tak percaya dengan ini. Semuanya berubah, ukuran kamarku terlihat lebih besar, tempat tidur simple dengan spray berwarna pink beserta selimut yang tebal, buku yang tersusun rapi bukan dirak tapi di sebuah lemari kaca yang menyatu dengan meja belajar, lemari kamar yang tinggi dan lebar. Aku membukanya, aku menyipitkan mataku terkena cahaya yang begitu menyilaukan mataku ketika aku membuka pintu lemariku, aku melihat isinya tak percaya, kulihat koleksi sepatu, tas, dan baju – baju mahal.

Sejak kapan kamarku sebesar ini?
Sejak kapan suasananya berubah sedemikian lembut begini?
Sejak kapan aku menyukai warna pink?
Sejak kapan aku seboros ini sampai – sampai memiliki koleksi sepatu, tas dan baju – baju mahal seperti itu?

Dulu melihat harganya mahal saja, niatku terbang seketika itu juga membelinya. Kenapa sekarang aku memiliki koleksinya, aku bukan seorang artis, aku juga bukan anak pejabat, dari mana aku dapatkan uang sebanyak ini untuk membelinya. Apakah ini gambaran aku dimasa akan datang?

Secepat kilat cahaya itu datang menjenggukku kembali, membawa aku hingga kepuncak ketinggian. Entah ditempat apa ini, tapi aku bisa dengan jelas melihat kearah dimana aku berada sedang melihat kearah langit. Aku, seperti ada yang membawaku terus, terus, dan terus menjauh dari bumi.

“Ya, Allah jika ini semua adalah lukisan masa depanku. Maka jangan jadikan aku manusia yang sedemikian boros ya Rabb, mengbuang – buang uang untuk mengkoleksi barang - barang mewah. Jangan, jangan ya Allah. Jangan jadikah aku menjadi manusia yang seperti itu.”

Kenapa, kenapa akhirnya seperti ini yang berawal dari cerita manis aku bisa melantunkan Al – a’raf dengan Qiro’at – Qodarasmadi lalu tiba seketika berubah menjadi suatu yang menyedihkan bagiku. Aku tak pernah membayangkan menjadi seorang kaya raya yang seperti itu. Menyedihkan. Lalu, hilang, lenyap.
~*~

Aku tersadar dari tidurku memperhatikan disekitarku, disaat bangun aku masih menaruh beberapa pertanyaan.

Dimana orang yang mirip denganku?
Siapa dia?
Kenapa aku tidur dimeja belajar?
“Ternyata, tadi itu tidur siang?” Gumamku sambil menatapi dunia luar dibalik jendelaku.

Oleh : Liza Umami

Mau lihat kritikan dan saran atas karya? Nantikan ya... ^_^

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar