Ketika Purnama Menjadi Mentari

Bookmark and Share

Purnama di langit kian berdarah, merah membara. Kota Syene hancur, remuk redam, luluh lantah tinggal puing. Kobaran api masih terlihat di mana-mana. Raungan sirine bersahut-sahutan. Jeritan, tangisan, dan ratapan berbaur dalam kegalauan malam itu. Pilu.

Sesosok wanita berjalan terseok-seok menyeret kaki kirinya yang hancur. Pahanya nyeri. Darah mengikutinya sepanjang jalan. Jeans birunya bercat darah dimana-mana. Entah darahnya sendiri atau bukan ia tak tahu. Kemeja biru mudanya tak kalah bercat. Dari celah kerahnya terlukis aliran merah sampai ke ujung kancing terakhirnya. Sesuatu yang tajam sepertinya telah manancap di lehernya. Tapi telah dicabutnya sehingga meninggalkan lubang menganga. Lengan kemeja kirinya hilang, meninggalkan bekas terkoyak di ujung jahitan bahunya. Mungkin tersangkut di suatu tempat.

Ia terus berjalan di tengah bangkai-bangkai kota mungil itu. Matanya awas, merah semerah saga. Penuh kesakitan, ketakutan dan kecemasan. Air matanya telah kering.

”Mayaaa!” Teriaknya sekuat tenaga.

Namun suaranya hilang ditelan amukan sirine, dan jeritan lainnya. Ia tak peduli. Ia terus maneriakkan nama itu dengan sisa tenaga yang ada.

”Mayaaa! Kau ada di mana?!”

Tiba-tiba kaki kanannya menabrak sesuatu. Jelas saja ia pun tersungkur. Rintihannya terdengar sangat menyayat. Ia berusaha bangkit. Bertopang pada apa yang bisa dipegangnya. Tertatih-tatih. Paha kirinya terasa nyeri sekali. Sebuah kayu runcing bersarang menembus dari ujung ke ujung. Ia putuskan untuk mencabutnya. Ia menjerit sekuatnya. Darahpun tak bisa dihindari. Perlahan ia ikat lukanya dengan sisa kain di kemeja kirinya yang menjuntai. Setidaknya kini pahanya tidak senyeri sebelumnya.

Dari tempatnya bersandar, matanya menangkap sebuah boneka beruang di dekat tempat ia terjatuh tadi. Boneka itu berwarna biru. Matanya hitam dan hidungnya berwarna cokelat.

Deg!

Darahnya berdesir. Jantungnya terkesiap. Matanya semakin merah. Di samping boneka itu, tergeletak sebuah tangan anak kecil. Tapi ia tak bisa melihat wajahnya karena sehelai koran menutupi tubuhnya.

Oh tuhan. Memang tadi aku berkata setidaknya jika ia tidak selamat pertemukannlah aku dengan mayatnya agar bisa kuberikan upacara pemakaman yang layak. Namun Kau tentu tahu kalau aku ingin dia selamat tak kurang satu apapun ya Tuhan.

Ia memang telah mempersiapkan batinnya dengan apapun yang akan ditemuinya dalam pencariannya itu, akan hasil yang terburuk sekalipun. Namun tetap saja nurani keibuannya tak kuasa jika nanti wajah yang terpampang di tubuh itu adalah wajah putri semata wayangnya. Bahwa tubuh yang tergeletak tak bernyawa di samping boneka beruang itu adalah bidadari kecilnya.

Ia mendekati sosok itu dengan hati-hati. Lama ia menatap tubuh tak bernyawa itu. perlahan, diberanikannya tangan kananya menggapai koran yang menyelimuti kepala gadis kecil itu. Begitu ujung jemarinya menyentuh koran itu, refleks ia tarik kembali tangannya. Ketakutan menghantammnya. Tubuhnya menggigil. Ia terisak tanpa air mata.

Diamatinya lamat-lamat boneka itu. Ia tertegun. Masih segar di ingatannya raut wajah gembira Maya saat ia memberikan boneka itu sebagai hadiah ulang tahunnya tadi malam. Sebuah hadiah yang ia belikan dari hasil kerja kerasnya seminggu di sebuah Italian Cafetaria di pusat kota. Ia dan Clara, rekan seperjuangannya, akhirnya membelikan boneka beruang biru yang tinggal sepasang sebagai hadiah ulang tahun buat putri mereka yang kebetulan memiliki tanggal lahir yang sama. Clara mengambil boneka yang berhidung cokelat, sedangkan ia yang berhidung hitam.

Masih mengalun indah dalam ingatannya tawa riang bidadari kecilnya itu saat makan malam di taman kota untuk merayakan ulang tahunnya. Gadisnya tak melepaskan sedetikpun hadiahnya dari pelukannya. Tadi malam itu sungguh malam yang bahagia sampai bencana itu datang.

”Mama, lihat! Bulannya terang sekali!” Maya menunjuk ke arah bulan dengan riang.

”Itu namanya bulan purnama, Sayang”

Maya tak melepaskan pandangannya dari bulan

”Lihat, Mama! Warna bulannya merah!”

”Hmm?”

Mereka berdua kini memandangi sang bulan. Wanita itu terkejut, ketika sang bulan semakin merah. Ia mendekap Maya erat. Semakin terang dan terang. Bahkan lebih terang dari matahari. Dalam hitungan menit malam itu berubah jadi seterang fajar, pagi lalu seterang siang. Terang benderang. Semua orang di taman kota itu satu-persatu dan akhirnya serentak berdiri takjub, kaget, dan takut. Dari arah bulan yang kini telah menjadi matahari itu semakin  membesar dan mendekat. Seperti bola api. Semakin lama semakin besar. Dan melesat ke tengah kota Syene.

Suara menggelegar membahana sampai ke bulan. Pusat hantaman seketika menjadi abu. Gedung-gedung runtuh, hancur tersapu gelombang ledakan. Api bertebaran di mana-mana. Kota mungil itu hancur lebur dan terbakar. Dalam hitungan menit kota itu hancur tak bersisa, dalam hitungan menit kebahagiaan wanita itu berubah jadi lara. Sungguh menit yang membalikkan dunia.

Perlahan memorinya mengingatkannya.

Lihat boneka itu! Hidungnya berwarna cokelat. Milik Maya berwarna hitamkan?

Keberaniannya kini kian tergugah untuk menyingkap koran yang menutupi tubuh kecil itu. perlahan tapi pasti ia sibakkan kertas itu. Betapa leganya ia, bahwa itu bukan Maya sang buah hati.

”Mamaaaa!”

Ia terkejut mendengar suara tangisan itu. suara itu tak jauh dari tempatnya berada. Ia kenal suara itu. Itu suara bidadari kecilnya. Bergegas ia berdiri. Tak dirasakannya lagi rasa sakit di kaki, paha dan lehernya. Ia tak peduli.

Terima kasih tuhan, kau dengarkan doaku.

Dibalik reruntuhan itu didapatinya seorang gadis kecil terduduk. Tangan kirinya memeluk boneka beruang biru. Hidung boneka itu berwarna hitam. Gadis itu masih menangis mamanggil nama ibunya.

”Maya! Kau baik-baik saja, Nak?”

Ia berlari menghampiri gadis itu,  seraya memeluknya. Namun ia tersungkur. Ia kaget. Ia bangkit dan kembali mendekap putrinya. Namun tak ada yang berhasil digapainya, ia kembali tersungkur. Ia kaget bukan kepalang.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tak bisa memeluknya?

Ia coba lagi, dan lagi-lagi ia tersungkur. Sehelai rambut Maya pun tak bisa di sentuhnya. Ia bingung.

”Mamaaaa!” Maya terisak pilu.

Di sebelahnya terbaring tubuh dengan kaki kiri hancur tertimpa runtuhan bangunan. Pahanya tertembus kayu runcing. Jeans dan kemeja birunya berhiaskan darah. Sesuatu manancap di dekat kerahnya. Tubuh itu tak bergerak. Tak bernyawa.

Oleh Pertiwi Soraya
Teks asli bisa di lihat di sini

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar