Yang Membatalkan Wudhu Kita

Bookmark and Share
Wudhu adalah salah satu cara mensucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat. Berwudu bisa pula menggunakan debu yang disebut dengan tayammum.

Jenis air yang diperkenankan

- Air hujan,
- Air sumur,
- Air terjun, laut atau sungai
- Air dari lelehan salju atau es batu
- Air dari tangki besar atau kolam


Jenis air yang tidak diperkenankan

- Air yang tidak bersih atau ada najis
- Air sari buah atau pohon
- Air yang telah berubah warna, rasa dan bau dan menjadi pekat karena sesuatu telah direndam didalamnya
- Air dengan jumlah sedikit (kurang dari 1000 liter) yang terkena sesuatu yang tidak bersih seperti urin, darah atau minuman anggur atau ada seekor binatang mati didalamnya
- Air bekas Wudu

Air bekas wudu apabila sedikit, maka tidak boleh digunakan, dan termasuk sebagai air musta'mal, sebagaimana hadits: Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain: ”tidak najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)

Menurut pendapat 4 Mahzab:

Ulama Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudu` atau mandi. Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudu` untuk salat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudu sunnah atau mandi sunnah. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudu atau mandi.

Ulama Al-Malikiyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudu atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis). Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

Ulama Asy-Syafi`iyyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudu atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudu. Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudu, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh. Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudu atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.

Ulama Al-Hanabilah


Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya. Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudu. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudu`.

- Air yang tersisa setelah binatang haram meminumnya seperti anjing, babi atau binatang mangsa
- Air yang tersisa oleh seseorang yang telah mabuk karena khamr (minuman keras)


Hukum

Wudu wajib dilakukan ketika hendak melakukan ibadah salat dan thawaf. Sebagaimana firman Allah SWT dan hadits berikut:
- "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku dan sapulah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki." (Q.S. Al-Maidah : 6).
- "Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Salat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima apabila ia berhadas hingga ia berwudu." (H.R. Abu Hurairah ra).

Berwudu sebelum membaca Al-Qur'an, saat hendak tidur, dan perbuatan baik lainnya hukumnya adalah sunnat, dan makruh saat akan tidur atau hendak makan dalam keadaan junub.

Ada 5 (lima) syarat untuk berwudu;

1. Islam
2. Sudah Baliqh
3. Tidak berhadas besar
4. Memakai air yang mutlak (suci dan dapat dipakai mensucikan)
5. Tidak ada yang menghalangi sampainya kekulit, seperti tinta, cat, dan lain-lain

Rukun berwudu ada 6 (enam);


Berniat untuk wudu, dan melafadzkan

"Nawaitul wudluua liraf'il hadatsil ashghari fardlallillaahi ta'aalaa.", artinya : "Aku niat berwudlu' untuk menghilangkan hadats kecil fardu karena Allah"

1. Membasuh muka (dengan merata)
2. Membasuh tangan hingga sampai dengan kedua siku (dengan merata)
3. Mengusap sebagian kepala
4. Membasuh kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (dengan merata)
5. Tertib (berurutan)
6. istija sebelum wudlu
7. tamyiz

Sempurna

Dalam mencapai kesempurnaan wudu, Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang selayaknya kita ikuti, sebagaimana kutipan hadits berikut:

Selesai salat Subuh, Rasulullah SAW bertanya kepada Bilal: "Wahai Bilal! Ceritakan kepadaku tentang perbuatan yang paling bermanfaat yang telah kamu lakukan setelah memeluk Islam. Karena semalam aku mendengar suara langkah sandalmu di depanku dalam surga". Bilal berkata: "Aku tidak pernah melakukan suatu amalan yang paling bermanfaat setelah memeluk Islam selain aku selalu berwudu dengan sempurna pada setiap waktu malam dan siang kemudian melakukan salat sunat dengan wuduku itu sebanyak yang Allah kehendaki". (H.R. Abu Hurairah ra).

Berikut ini adalah cara menyempurnakan wudu, yang mana termasuk hal-hal yang disunnahkan:
  • Mendahulukan bagian tubuh yang sebelah kanan
  • Mengulagi masing-masing anggota wudu sebanyak 3 (tiga) kali
  • Tidak berbicara
  • Menghadap kiblat
  • Niat
  • Membaca basmalah (dalam hati atau melafadzkannya)
  • Membasuh telapak tangan sampai pergelangan
  • Menggosok gigi (bersiwak)
  • Berkumur
  • Membersihkan hidung (memasukkan air kehidung kemudian dibuang kembali)
  • Membasuh muka (dengan merata)
  • Membasuh tangan hingga sampai dengan kedua siku (dengan merata)
  • Mengusap sebagian kepala
  • Membasuh telinga kanan&kiri
  • Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam
  • Membasuh kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (dengan merata)
  • Membaca doa sesudah berwudu.
  • "Asyhadu an laa ilaaha illalaahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluh, Allahummaj'alnii minat tawwaa biinaa waj'alnii minal mutathahhiriin.", artinya: "Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya allah, masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan masukkanlah ke dalam golongan orang-orang yang suci."
  • Kemudian dilanjutkan dengan salat sunnat wudu sebanyak 2 (dua) raka'at.
  • Bahwa Ia (Usman ra.) minta air lalu berwudu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian membasuh wajahnya tiga kali, lantas membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, tangan kirinya juga begitu. Setelah itu mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, begitu juga kaki kirinya. Kemudian berkata: "Aku pernah melihat Rasulullah saw. berwudu seperti wuduku ini, lalu beliau bersabda: Barang siapa yang berwudu seperti cara wuduku ini, lalu salat dua rakaat, di mana dalam dua rakaat itu ia tidak berbicara dengan hatinya sendiri, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni." (H.R. Usman bin Affan ra).
  • Tertib (berurutan)


Pembatal wudu

Wudhu, seperti yang kita ketahui adalah suatu yang sunnah untuk dilakukan, namun menjadi wajib ketika kita akan shalat. Tiada sah shalat kita jika tidak mempunyai wudhu. Makanya, sudah pasti sebagai seorang Muslim, kita tentu akan mendapati diri kita berwudhu paling tidak lima kali dalam sehari. Nah, untuk itu, perlu kiranya kita mengetahui apa saja yang bisa membatalkan wudhu kita.

1. Apa saja yang keluar dari kemaluan dan dubur, berupa kencing, berak, atau kentut. Allah SWT berfirman yang artinya, “Atau kembali dari tempat buang air.” (Al-Maidah:6)

Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seorang di antara kamu yang berhadas sampai ia berwudhu` (sebelumnya).” Maka, seorang sahabat dari negeri Hadramaut bertanya. “Apa yang dimaksud hadas itu wahai Abu Hurairah?” Jawabnya, “Kentut lirih maupun kentut keras.” (Muttafaqun `alaih Fathul Bari I: 234, Baihaqi I:117, Fathur Robbani, Ahmad II:75 no:352) Dan hadits ini menurut sebagian mukharrij selain yang disebut di atas tidak ada tambahan (tentang pernyataan orang dari Hadramaut itu), Muslim I:204 no:225, `Aunul Ma`bud I:87 no:60, dan Tirmidzi I: 150 no:76.

“Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Mani, wadi dan madzi (termasuk hadas). Adapun mani, cara bersuci darinya harus dengan mandi besar. Adapun madi dan madzi,” maka dia berkata, “cucilah dzakarmu, kemaluanmu, kemudian berwudhu`lah sebagaimana kamu berwudhu` untuk shalat!” (Shahih: Shahih Abu Daud no:190, dan Baihaqi I:115).

2. Tidur pulas sampai tidak tersisa sedikitpun kesadarannya, baik dalam keadaan duduk yang mantap di atas ataupun tidak. Karena ada hadits Shafwan bin Assal, ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. pernah menyuruh kami, apabila kami melakukan safar agar tidak melepaskan khuf kami (selama) tiga hari tiga malam, kecuali karena janabat, akan tetapi (kalau) karena buang air besar atau kecil ataupun karena tidur (pulas maka cukup berwudhu`).” (Hasan: Shahih Nasa`i no:123 Nasa`i I:84 dan Tirmidzi I:65 no:69).

Pada hadits ini Nabi saw. menyamakan antara tidur nyenyak dengan kencing dan berak (sebagai pembatal wudhu`).

“Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mata adalah pengawas dubur-dubur; maka barangsiapa yang tidur (nyenyak), hendaklah berwudhu`.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:386. Ibnu Majah I:161 no:477 dan `Aunul Ma`bud I:347 no:200 dengan redaksi sedikit berlainan).

Yang dimaksud kata al-wika` ialah benang atau tali yang digunakan untuk menggantung peta.
Sedangkan kata “as-sah” artinya : “dubur” Maksudnya ialah “yaqzhah” (jaga, tidak tidur) adalah penjaga apa yang bisa keluar dari dubur, karena selama mata terbuka maka pasti yang bersangkutan merasakan apa yang keluar dari duburnya. (Periksa Nailul Authar I:242).

3. Hilangnya kesadaran akal karena mabuk atau sakit. Karena kacaunya pikiran disebabkan dua hal ini jauh lebih berat daripada hilangnya kesadaran karena tidur nyenyak.

4. Memegang kemaluan tanpa alas karena dorongan syahwat, berdasarkan sabda Nabi saw.,”Barangsiapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah berwudhu`.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:388, `Aunul Ma`bud I:507 no:179, Ibnu Majah I:163 no:483, `Aunul Ma`bud I:312 no:180 Nasa`i I:101, Tirmidzi I:56 no:56 no:85).

Betul, ia memang bagian dari anggota badanmu, bila sentuhan tidak diiringi dengan gejolak syahwat, karena sentuhan model seperti ini sangat memungkinkan disamakan dengan menyentuh anggota badan yang lain. Ini jelas berbeda jauh dengan menyentuh kemaluan karena termotivasi oleh gejolak syahwat. Sentuhan seperti ini sama sekali tidak bisa diserupakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain karena menyentuh anggota badan yang tidak didorong oleh syahwat dan ini adalah sesuatu yang amat sangat jelas, sebagaimana yang pembaca lihat sendiri (Tamamul Minnah hal:103).

5. Makan daging unta sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bara` bin `Azib ra ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhu`lah disebabkan (makan) daging unta, namun jangan berwudhu` disebabkan (makan) daging kambing!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:401, Ibnu Majah I:166 no:494, Tirmidzi I:54 no:81, `Aunul Ma`bud I:315 no:182).

Dari Jabir bin Samurah r.a. bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. apakah saya harus berwudhu` (lagi) disebabkan (makan) daging kambing? Jawab Beliau, “Jika dirimu mau, silakan berwudhu`; jika tidak jangan berwudhu` (lagi).” Dia bertanya (lagi) “Apakah saya harus berwudhu` (lagi) disebabkan (makan) daging unta?” Jawab Beliau, “Ya berwudhu`lah karena (selesai makan) daging unta!” (Shahih Mukhtashar Muslim no:146 dan Muslim I:275 no:360).

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar