Rahasia dan Keutamaan Bulan Ramadhan dari Sisi Geografi dan Astronomi

Bookmark and Share


Pernahkah teman-teman semua berpikir, kenapa, ya, puasa kok jatuhnya pada bulan Ramadhan? Kenapa harus memakai kalender hijriah? Kenapa tidak pakai kalender Masehi, misalnya di bulan Januari saja? Bukannya kalau pakai kalender Masehi akan lebih mudah? Kalender Masehi kan sudah ada sebelum kalender Hijriah?

Santai-santai... Slow, guys. Satu-satu, dong pertanyaannya. Keroyokan seperti itu ya jadi bingung menjawabnya, dong... hihihi.

Ternyata, penetapan puasa di bulan Ramadhan punya maksud tersendiri, lho. Kali ini kita tidak akan membahas  dari sudut pandang keagamaan, karena semuanya pasti sudah tahu, bahwa Ramadhan merupakan bulan yang penuh keutamaan. Sekarang, kita akan mencoba membahas dari sudut pandang ilmu geografi dan astronomi. Kenapa, ya, puasa jatuh pada bulan Ramadhan dan memakai kalender hijriah?


Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106)

Fase bulan dari waktu ke waktu

Jika diamati, Ramadhan setiap tahunnya tidak pernah jatuh pada tanggal yang sama, pada kalender yang kita gunakan sehari-hari. Dibalik penetapan waktu puasa pada bulan Ramadhan yang mengikuti sistem kalender umat islam (hijriyah), dan bukan sistem kalender masehi yang digunakan di Negara Indonesia, ternyata ada hikmah yang luar biasa bagi kepentingan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Hal ini tentunya sudah menjadi kehendak Allah SWT. Subhanallah…

Berkenalan dengan sistem Kalender Masehi dan Hijriyah
Dalam Alquran sendiri, telah memberi gambaran tentang perbedaan antara penanggalan dengan hitungan matahari yang biasa kita kenal dengan tanggalan Syamsiyah atau tahun masehi. Maupun penanggalan dengan hitungan bulan yang dikenal dengan tahun Qomariyah atau tahun Hijriyah.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(QS At Taubah (9): 36)

Sistem penanggalan pada kalender Hijriyah didasarkan pada perubahan fase bulan dari bulan penampakan hilal atau bulan sabit tipis ke hilal berikutnya. Satu periode hilal sama dengan satu periode sinodis bulan, lamanya 29,5306 hari.

Berbeda dari kalender Masehi yang digunakan di seluruh dunia untuk kepentingan administrasi, kalender bulan umumnya digunakan untuk keperluan ritual agama dan tradisi. Kedua kalender, satu tahun sama-sama terdiri dari 12 bulan. Satu tahun Hijriyah memiliki 12 periode sinodis bulan atau 354,366 hari. Dibulatkan pada 354 hari atau 355 hari untuk tahun kabisat.

Kalender Masehi didasarkan atas peredaran bumi mengelilingi matahari dari satu titik tertentu yang disebut solstis atau equinox kembali ke titik itu. Lama perjalanan bumi mengelilingi matahari 365,2422 hari -disebut satu tahun tropis, dibulatkan menjadi 365 hari atau 366 hari untuk tahun kabisat.

Perbedaan jumlah hari dalam satu tahun Hijriyah dan Masehi menyebabkan pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, selalu maju 10-12 hari dari tahun sebelumnya. Alhasil hasil kita dapat berpuasa Ramadhan di bulan-bulan berbeda di tahun masehi. Lalu apa hikmah dari semua ini?

Umat Muslim Tersebar di Hampir Seluruh Penjuru Dunia

Ilustrasi

Saat ini persebaran pemeluk agama islam telah meluas ke hampir seluruh penjuru bumi. Kita sebagai umat muslim yang berdomisili di Indonesia, patut bersyukur. Berada di wilayah sekitar khatulistiwa dengan iklim tropis yang memiliki 2 musim (kemarau dan penghujan), juga tidak mengalami perubahan panjang siang-malam yang ekstrem. Kondisi seperti ini tentunya tidak akan terlalu mengganggu ibadah puasa kita selama sebulan penuh.

Lain halnya dengan saudara-saudara muslim kita yang hidup dan beraktivitas di daerah-daerah beriklim subtropis yang memiliki 4 musim di setiap tahunnya, seperti musim dingin, panas, gugur dan semi. Di mana musim-musim ini mengikuti pola perubahan bulan di tahun masehi. Sebagai contoh, musim dingin selalu terjadi pada akhir tahun masehi (biasanya bulan Desember) dan ditandai dengan turunnya salju. Durasi atau panjang antara siang dan malam pun berbeda untuk setiap musimnya. Untuk musim panas, matahari bersinar lebih panjang dibanding hari-hari di musim lainnya. Sebaliknya, malam akan terasa lebih panjang saat musim dingin.

Bisa dibayangkan, jika umat Islam diwajibkan berpuasa sebulan penuh di salah satu bulan di tahun masehi. Sudah dapat dipastikan, akan mengalami stagnasi, sebagaimana dialami oleh orang-orang yang ibadahnya menggunakan kalender tersebut. Sebagai contoh, jika di bulan Desember maka umat Islam di Indonesia akan mengalami puasa selalu dalam musim hujan. Sementara saudara kita di belahan bumi lain yang mengalami musim salju di bulan Desember, mereka akan senantiasa berpuasa di bulan yang bersalju, dan hal itu akan terulang terus dari tahun ke tahun hingga akhir zaman.

Kemudian untuk, negara-negara dengan perubahan panjang siang-malam ekstrem (daerah-daerah sekitar kutub). Saat ibadah puasa dilakukan rutin pada musim panas, maka waktu puasa & juga sholat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu subuh meski baru jam 02.00 dini hari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam.

Sebagai gambaran lain, seorang muslim yang menjalankan puasa Ramadhan di negara-negara Eropa, tatkala Ramadhan hadir di puncak musim panas, waktu berpuasa jauh lebih panjang dibandingkan waktu berpuasa di Indonesia. Pada bulan Juli hingga September, matahari baru terbenam sekitar pukul 21.00, sementara waktu imsak jatuh pada pukul 04.00. Ini berarti umat Islam di negara-negara Eropa berpuasa selama sekitar 17 jam.

Sebagai Umat, dalam Soal Ibadah Kita Selalu Dipermudah!

Jamaah sholat

Bulan Qomariyah beredar di antara berbagai musim selama setahun. Terkadang jatuh di musim dingin, lain kali di musim panas, saat lain lagi di musim semi dan musim gugur. Juga terkadang datang pada hari-hari yang dingin, di lain kali pada hari-hari yang panas, saat lain lagi di hari-hari yang sejuk. Hari-hari pun terkadang panjang, terkadang pendek, di saat lain sedang.
Dengan menggunakan kalender Qomariyah, kaum muslimin menunaikan ibadah puasa di semua musim, terkadang di musim panas, di saat lain di musim dingin. Demikian juga terkadang berpuasa di hari yang panjang, di saat lain di hari yang pendek. Dengan demikian terdapat keadilan Islam di satu sisi, dan menetapkan tugas ketaatan dan peribadatan kepada Allah SWT di semua kondisi dan musim di sisi lain.

Mari sama-sama berucap, SUBHANALLAH...

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar