Sepotong Kisah yang Lalu
Ia berjalan pulang dan melihat semut-semut kecil tengah berbaris pada sebuah dinding yang telah kusam catnya. Waktu itu langit begitu mendung dan ia tetap lamat menatap semut-semut kecil membariskan diri dengan berjongkok dan mata yang sendu. Siul-siul burung di pohon dan gemerisik dedaunan yang bermain bersama angin membuatnya semakin terjaga. Gerimis mulai turun satu-satu, beberapa meluncur dan rebah di kepalanya. Ia tak perduli, pandangannya tetap sama pada semut-semut kecil yang sekarang mulai sibuk berlari menuju sarang. Apakah setiap yang hidup harus pergi dan pulang? Begitu tanyanya dalam hati. Ketika ia menoleh ke ujung jalan tampak ibunya tengah berlari membawakan payung dengan warna pelangi.
2012
Yunus
Di Ninawa dulu, ribuan peluh telah lenyap menjejak bumiku. Mungkin semua hari sekedar jam yang mengulang pada putaran yang sama. Begitu gelap Tuhan memberikan tempat bagi aku yang selalu setia menunggu. Sekarang hanya tinggal doa, sedang di luar cuaca begitu mendung dan hujan teramat lebat. Setelah hampir 40 hari di perut yang berenang ini aku pun mengerti, ada amarah yang kadang membuatku buta bahkan untuk sekedar berjalan dan kembali.
2012
Lalu
Aku mereka-reka bait senyummu di pertemuan kita yang terakhir. Tiba-tiba malam gelap dan hilanglah semua. Tak ada apa kecuali retak-retak kecil yang mengelupas di tubuhku. Otakku pecah dan dari sana bait-bait senyummu berloncatan lalu pergi menuju arah yang hilang. Angin begitu dingin menjemput rindu. Langkah kakiku lalu mengilu-beku pada kecemasan yang terlanjur mengapung.
Pernah ingin aku melanggar seluruh pantang dan larang. Agar pertemuan-pertemuan kita tahu bahwa yang hidup selalu memanfaatkan yang mati. Meski tentu pada pengertian sejatinya yang matilah yang tengah memainkan setiap napas yang memburu. Tak apa, setidaknya masih ada secuil senyum batarimu yang sempat lengket di urat nadiku. Itu telah cukup untuk menutup cerita ini dengan moksa.
2012
Kaca
Kaca yang jadi tempatmu mematut-matut senyum adalah kaca yang kemarin pecah di malam sesaat sebelum lelakimu memutus rindu. Dari kaca kautahu bahwa ada nanah yang begitu menganga di sebalik senyum milik lelakimu. Ternyata kaca selama ini terus membohongimu. Sebab baru semalam juga kau paham ada kaca di dalam kaca tempat kaca telah disekap oleh kaca.
Ketika kaca pecah maka lelakimu tak lagi berkaca. Tubuhnya ikut retak dan memantulkan sesosok daging yang bukan milik lelakimu. Sekarang hanya tinggal matamu yang berkaca. Dari kedalamannya masih jelas bagaimana kaca berkaca di jantung milik lelakimu yang telah lupa berkaca.
2012
Nb: Seluruh Puisi ini dimuat pada harian Suara Merdeka, 27 Mei 2012
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar