Beberapa keturunan Si Raja Batak mendirikan kerajaan-kerajaan huta, salah satunya Kerajaan Hatorusan. Kerajaan Hatorusan, didirikan oleh Raja Uti putra Tatea Bulan, mulai membangun tatanan hidup masyarakat dengan sistem negara teokrasi. Raja Uti alias Raja Biak-biak merupakan seorang intelektual.
Guru Tatea Bulan atau disebut juga Toga Datu pernah pergi menemui pamannya (Saudara dari Ibunya) di Siam. Dia bermaksud meminang paribannya, putri sang Paman/Tulang. Tapi rencananya tidak berhasil, tidak disebutkan alasannya. Ketika dia kembali ke kampung halaman, Sianjur Mulamula, dia terkejut dan sangat sedih menemukan kampung halaman yang ditinggalkannya telah kosong. Ayahnya, Si Raja Batak telah meninggal dunia.
Sementara itu, adiknya, Raja Isumbaon telah pindah ke Dolok Pusuk Buhit dekat dengan Pangururan sekarang ini. Adik bungsunya Toga Laut mengembara dan membuka wilayah yang sekarang masuk ke Aceh dan bernama Gayo/Alas.
Dia berinisiatif untuk menemui adiknya; Raja Isumbaon. Di sana dia menetap sementara dan kemudian kembali ke Sianjur Mula-mula, tempat lahirnya. Dia berusaha bangkit dari kepedihan hidupnya tersebut dengan menghabiskan waktunya dengan berkontemplasi dan bekerja; bercocok tanam di sawah. Pada saat-saat itulah dia bertemu dengan seorang wanita pendatang, yang kesasar, dan mengaku bernama Boru Sibasoburning Guru. Sibasoburning mempunyai bahasa yang berbeda dengan bahasa Batak.
Hati tertarik, mungkin sudah jodoh, keduanya menikah. Hasilnya adalah anak pertama raja Miok-miok yang disebut sebagai Raja Gumelleng-gelleng, disebut juga raja Miok-miok atau Biak-biak dengan gelar Raja Uti.
Lahir dengan kondisi cacat, dengan tangan dan kaki yang lebih pendek dari ukuran normal bukan menjadi halangan untuk melakoni hidupnya sebagai mana layaknya. Teknologi metalurgi diduga sudah berkembang dan lazim digunakan di masanya. Raja Uti mempunyai daya pikir dan kreatifitas yang luar biasa dibandingkan anak normal. Beberapa alat diciptakannya untuk mengatasi keterbatasan cacat tubuhnya. Dia berhasil merangkai kain dengan kayu ringan seperti layang-layang besar yang membuatnya dapat bergelantungan saat layang-layang tersebut terbang. Legenda sekarang ini mengatakan bahwa Raja Uti mempunyai sayap dan dapat terbang karena kesaktiannya.
Masyarakat Toga Tatea Bulan saat itu merupakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini diyakini karena Guru Tatea Bulan yang juga seorang raja dengan gelar Raja Ilontungan merupakan seorang filosofis. Pemikiran dan ajaran-ajaran Guru termaktub dalam Kitab Pustaha Agong.
Kitab ini membahas cakupan antara lain; Ilmu Hadatuan (Medical dan Metaphysical Science), Parmonsahon (Art of Self Defence & Strategy-cum-Tactical Science) dan Pangaliluon (Science of Deceit).
Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu telah membuat kerajaan sangat disegani oleh rakyatnya. Sementara itu Kubu Toga Sumba dengan Rajanya Isumbaon juga ikut serta berusaha membangun peradaban.
Bila kubu Tatae Bulan lebih fokus pada hal-hal spiritual dan sosial. Maka kebijakan dan ajaran Raja Isumbaon termaktub dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing mencakup; Harajaon (Political Science or the science about the kingdom), Parumaon (Legislation), Partiga-tigaon (Econimics Science or The Arts of Trading) dan Paningaon (Life Skills or Technology).
Populasi kerajaan Hatorusan saat itu membentang dari timur Sumatera sampai barat Sumatera dengan kota pelabuhannya; Barus dan Singkil di utara mencakup Gayo dan Rao di bagian selatan.
Teknologi dan Peradaban Barus
Saat Raja Uti, dan keturunannya yang dikenal sebagai Pre-Islamic Barus Kings oleh kalangan barat, memindahkan ibukota kerajaannya ke pesisir, di sinilah ia memperkuat kerajaan Hatorusan dengan membangun berbagai bandar, seperti Barus. Kota Fansur dan Lobu Tua merupakan kota-kota penting di Barus. Kota Fansur merupakan kota tertua karena wilayah ini dulunya merupakan persinggahan bagi penduduk nomaden, karena adanya pansur-pansur yang berfungsi sebagai pancoran air dari mata air pegunungan. Sering disebut Pansur dalam bahasa Batak dan Fansur dalam sebutan orang-orang Arab. Teknologi pembuatan parfum, medis dan pengawetan berkembang oleh tangan-tangan ahli Batak menjadikan Barus, daerah yang sangat terkenal di saatnya.
Ajaran paningaon atau kemampuan untuk kreatif dalam penguasaan teknologi yang diajarkan Guru Tatea Bulan, memberi dorongan kepada Kerajaan Hatorusan untuk membentuk golongan profesional di kalangan masyarakat yang menangani segala tuntutan peralatan. Para tenaga profesional ini telah berpengalaman dan mengkonstruksi bangunan-bangunan raksasa yang terbuat dari kayu; rumah Batak.
Ilmu-ilmu mengenai pengolahan logam dan pembuatan berbagai pernik perhiasan yang menjadi primadona para saudagar yang datang dikembangkan dalam ‘partungkoan’ dan ‘toguan’. Institusi ini merupakan ruangan besar yang berfungsi sebagai tempat pembelajaran generasi muda yang ingin menguasasi berbagai pengetahuan.
Raja patik, adalah profesi pengajar di partungkaon tersebut. Setiap kali para mahasiswa berkumpul dalam ‘hall’ tersebut, raja patik akan datang dan memulai pengajaran yang diperlukan. Kurikulum berlaku tidak kaku, jadi setiap saat dan setiap waktu isi pembelajaran akan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang raja patik, juga menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan formal dan informal di masyarakat. Untuk forum yang formal dia menjadi anggota dewan bius. Wilayah pemukiman baru disebut huta dan jumpulan huta disebut bius. Wewenang raja patik adalah menguasai regulasi dan hal-hal detail dari kehidupan adat sebuah masyarakat dalam level bius.
Posisinya dalam sebuah pemerintahan huta dan bius lebih bersifat konsultatif. Dia menjadi pegarah moral dalam kehidupan sosial masyarakat dan menjadi “walking encyclopedia” di tengah-tengah komunitasnya.
Para mahasiswanya tersebut sebelumnya menimba ilmu di partungkoan di komunitas masing-masing. Baik itu yang ada di huta, luat maupun bius. Pembelajaran pada seorang anak akan dimulai dari keluarganya. Setiap orang akan dibekali orang tuanya filsafat dasar pendidikan yang disebut Sisia-sia Na Lima atau ‘a five folding teaching’, yaitu Mardebata (belief in God), Martutur (treasuring kinship realation), Marpatik (carrying out regulation), Maruhum (respect for law) dan Maradat (haighly valuing the culture).
Setelah dirasa cukup dan sudah memahami, si anak akan diarahkan orang tuanya untuk menghadiri berbagai pertemuan di partungkoan setempat untuk mendengarkan berbagai ajaran dan pelajaran dari raja patik. Berbagai ajaran dasar yang ada di Pustaha Agong maupun Pustaha Tumbaga Holing.
Sampai batas waktu tertentu si anak akan merasa perlu untuk mengembangkan ilmunya, maka dia akan berinisiatif untuk menghadiri partungkoan yang lebih mendalam dan lebih bermutu, biasanya ada di huta yang lebih besar.
Tidak semua siswa mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Semuanya tergantung hasrat dan kemampaun ekonominya. Beberapa di antaranya langsung melibatkan diri dalam masyarakat. Beberapa melanjutkan ilmunya.
Mereka yang menyukai ilmu kesehatan atau kedokteran sekarang ini akan berusaha menguasai ilmu hadatuan kepada datu profesional. Tidak mudah mendaftar untuk menjadi datu, dibutuhkan persyaratan yang ketat, dukungan ekonomi dan berbagai ritual. Tentunya seorang yang ingin menjadi datu harus menguasai aksara Batak sebagai medium pembelajaran.
Pada tahap yang tinggi, dalam bidang hadatuan, ilmu yang dipelajari tidak saja mengenai medis dan pengobatan semata tapi juga ilmu astronomi, habeguan, parmonsahon, dan pangaliluon serta ilmu kimia dalam meracik bahan-bahan yang digunakan sebagai racun.
Mereka yang ingin bergelut dan berprofesi di Onan akan menguasai ilmu partiga-tigaon dari raja patik yang menguasainya. Onan adalah pasar ekonomi yang fungsinya tidak hanya pada kegiatan ekonomi tapi juga arbitrase, penetapan undang-undang, pengumpulan opini dan penyebaran informasi.
Mereka yang lebih ingin menjadi tenaga-tenaga ahli di galangan kapal, konstruksi bangunan atau rumah, pandai besi dan pengolahan logam emas dan perak serta penenunan kain-kain akan berusaha menguasai ilmu paningaon.
Dalam pembangunan rumah Batak misalnya, seorang arsitek atau insinyur akan mengatur dan mendesain bentuk rumah. Profesi insinyur ini disebut ‘panumpan ruma’. Dia harus memiliki keahlian pembangunan rumah kayu ditambah kemampuan geometri. Karena rumah tinggal tersebut harus disesuaikan dengan arah dan posisinya.
Selain ini kemampuan dalam penghitungan dan pengukuran serta ilmu aritmatika dibutuhkan untuk menyempurnakan bangunan. Seorang arsitek biasanya akan dibantu oleh beberapa ahli lainnya, seperti desainer pengukir ornamen-ornamen hiasan bangunan yang disebut panggorga dan juga tentunya bagian pengecatan. Mereka ini diharuskan untuk menguasai sisi aestetik ornamen dan kompilasi warna-warna yang dibutuhkan. Warna-warna tersebut harus disesuaikan dengan pemahaman filosofis yang berkembang saat itu. Dengan demikian para arsitek dan desainer warna tersebut tidak bekerja sembarangan karena setiap warna mempunyai makna tersendiri.
Selain itu teknologi pembukaan huta merupakan ilmu pengetahuan yang penting saat itu. Mobilitas warga dalam membuka hunian-hunian baru memerlukan keahlian dalam merancang tata letak kota baru agar layak huni dan aman. Beberapa perlengkapan kampung seperti ‘parik’ yang berfungsi sebagai barikade untuk mempertahankan diri dari musuh harus diletakkan semestinya.
Salah satu elemen parik tersebut adalah batu-batu besar yang sulit diangkut bahkan oleh lima orang sekalipun. Teknik-teknik pegangkutan batu tersebut membutuhkan keahlian yang tidak mudah. Peletakan ‘harbangan’ sebagai pintu utama ke huta tersebut juga harus sesuai.
Gedung-gedung pendukung seperti horja (tempat ritual), tempat pengeringan padi, gudang penyimpanan besar, tempat bermain anak-anak dan taman membutuhkan desain tata kota yang sangat rumit. Tempat permainan anak misalnya, adalah lapangan terbuka yang tanahnya tahan hujan yang membutuhkan pengetahuan dalam komposisi adukan tanah di lapisan atasnya serta pengukuran ketinggian dari sistem pengairan dan irigasi penampungan aliran hujan, sehingga tetap nyaman dipakai, tidak menjadi kubangan lumpur.
Para sarjana-sarjana Batak pada waktu itu juga mengembangkan teknologi pembuatan kapal dari apa yang mereka dapatkan dari danau Toba, yaitu pabrik solu yang menyebar dipinggiran danau tersebut. Solu tersebut tidak saja dipakai sebagai pengangkutan di atas air, tapi juga mempunyai seni ukiran yang indah di sisi-sisinya yang memberi keindahan bagi penggunanya. Pengetahuan ini sangat dibutuhkan dalam perbaikan kapal-kapal asing di galangan kerajaan di Barus.
Teknologi irigasi persawahan juga menjadi keahlian masyarakat pada waktu itu. Sebuah pengetahuan yang sangat berguna khususnya saat iklim tidak menentu. Ahli yang menangani irigrasi tersebut disebut ‘raja bondar’.
Dalam bidang tekstil, mesin-mesin teksil tradisional saat itu dibuat untuk memanifestasikan filosofi masyarakat. Kain bukan saja digunakan sebagai pakain tapi juga menunjukkan keagungan pemahaman atas filsafat kehidupan. Dalam ulos misalnya, kolaborasi warna-warna tertentu memberikan arti sesuai dengan filsafat Daihan Na Tolu dan Naga Padoha.
Konsekuensi kehidupan huta yang semakin ramai dan komplikasi membutuh peralatan-peralatan domestik untuk mempermudah. Untuk itu beberapa peralatan mulai diciptakan.
Aksesoris yang berkembang saat itu adalah aneka macam perhiasan, seperti cincin, anting-anting, tempat penyimpanan sirih yang terbuat dari emas dan sirih tergantung level sosial pemakainya.
Dalam bidang musik, dikenal alat ‘tulila’, ‘hasapi’, ‘saga-saga’, ‘tanggetang’, ‘ogung’, ‘oloan’, ‘doal’, ‘panggora’, ‘gordang’, ‘hombung’, ‘sarune’ daln lain-lain. Peralatan pertanian seperti, ‘gair-gair’, ‘hudali’, ‘ansuan’, ‘ninggala’, ‘auga’, ‘rogo’, ‘sasabi’, ‘guris’ dan sebagainya.
Peralatan dapur, ‘dagu’, ‘sonduk’, ‘seak’, ‘hudon’, ‘poting’ , ‘anduri, ‘hombur-hombur’, ‘sapa’, ‘panutuan’, ‘parburian’, ‘ramboan’, ‘parsisiraan’, ‘tabu-tabu dan lain-lain. Penyimpanan misalnya, ‘panuhunan’ ‘hadangan’, ‘hajut’, ‘sanihe’, ‘ragian’, ‘harpe’, ‘singkup’ daln lain sebagainya.
Mereka juga menciptakan peralatan tenun seperti, ‘pipisan’, ‘sorha’, ‘anian’, ‘erdeng-erdeng’, ‘hulhulan’, ‘iran’, ‘pangunggasan’, ‘pamapan,’ ‘pagabe’, ‘pamunggung’, ‘hatulungan’, ‘baliga, ‘balabas’, ‘turak, ‘hasoli’, ‘parsosaan’, ‘songka’, ‘lili’, ‘paniratan’, ‘tipak’ dan sebagainya.
Peralatan lain yang penting adalah alat-alat tulis, buku-buku yang terbuat dari bambu, peralatan festival, ‘marusir’ (catur Batak) dan lain sebagainya.
Raja Uti sendiri merupakan penyayang binatang yang disegani pada zamannya. Sanking banyaknya koleksi binatang melata dan buas di istananya, membuat pamornya semakin bertambah di kalangan masyarakat. Kondisinya yang cacat membuatnya lebih banyak berkurung di istananya di Barus. Dia hanya berkomunikasi kepada menteri-menterinya untuk urusan kenegaraan. Akibatnya dia jarang tampil dipublik sehingga mitos dan legenda mengenai raja Utipun semakin sempurna; sebagai raja yang misterius.
Barus berkembang menjadi kota pelabuhan yang masyhur karena sudah tersedia tenaga ahli profesional dalam pembuatan dan perbaikan galangan kapal.
Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad ke-2 SM mengatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abad-abad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi. (Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri; Masalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Mizan 1995).
Begitu pula rombongan kapal Fir’aun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi. Mereka adalah orang-orang Arab pra-Islam Funisia, Kartago yang sekarang menjadi Libya dan Mesir, Afrika Utara.
Beberapa literatur mengenai Barus dan pelayaran orang-orang Yunani, Arab, Mesir, Yahudi, India, Persia, Cina dan lain-lain ke daerah tersebut di antaranya, O. W. Wolters, The Fall of Srivijaya in Malay History, Itacha: Lund Humpries Publishers Ltd., 1970.
Yang penting lagi adalah G. Ferrand, Relation de voyages et textes Geographiques Arabs. Persians et Turks relatif e l’Extreme-Orient du Ville aux siecles 2 jilid, Paris, 1913; dan N. J. Krom, Hindoe- Javanesche Geschiedenis (cetakan kedua), ‘s-Gravenhague, 1931.
Juga dapat dibaca karangan Jane Drakard “An India Ocean Port: Source from the Earlier History of Barus”, Archipel No. 37-38, 1989 dan L.F. Brakel, “The Birthplace of Hamza Pansuri”, JMBRAS 42, 2, 1969, h. 206-213.
Ptolomeus membicarakan Barus sebanyak lima kali di dalam laporannya dengan pandangan negatif terhadap penduduk pribumi Sumatera, khususnya orang Batak yang dikatakannya sebagai orang-orang kanibal (Wolters hal. 9; Krom h. 57-59)
Beberapa abad kemudian hal ini terbukti ketika seorang pedagang Yahudi dari Kairo telah meninggal di Barus pada paruh pertama abad-13 (Wolters 43). Diduga orang Yahudi ini berlaku sombong dan semena-mena dan dimakan oleh orang Batak.
Orang-orang India menyebut Barus sebagai “Warusaka” berarti kota pelabuhan dan Sumatera sebagai Suvarnadvipa- The Fabulous Island of Gold. Hal ini dikarenakan Kerajaan Hatorusan telah berkembang tidak hanya menjadi kota pelabuhan penting, tapi kota perkebunan kamper (disebut juga kapur, kanpur, kampur, kanfer dan kafur) dan industri logam emas. Barus menjadi pemasok logam emas ke seluruh dunia. Sisa-sisa emas tersebut masih terdapat di beberapa daerah Batak sekarang ini.
Sementara itu di pedalaman Batak, Sianjur Mula-mula beberapa kerajaan huta telah berdiri lama. Tahun 100 SM Kerajaan Batahan Pulo Morsa eksis. Kerajaan ini memakai sistem raja na opat atau raja berempat yang terdiri; Pulo Morsa Julu, dengan Raja Suma Hang Deha, Pulo Morsa Tonga, Raja Batahan Jonggi Nabolon, Pulo Morsa Jau dengan Raja Situan I Rugi-rugi dan Pulo Morsa Jae dengan Raja Umung Bane. Kerajaan ini bertahan selama 24 keturunan. (Tiurma. L Tobing, Raja Sisingamangaraja XII, Depdikbud 1981).
Di Kerajaan Hatorusan, hukum-hukum yang mengatur interaksi sosial masyarakat diatur dalam berbagai undang-undang secara demokratis (parsagoman). Kumpulan hukum tersebut tercakup dalam Dalihan Na Tolu dan perjambaran. Untuk menghindari kekacauan antar wilayah-wilayah kecil di bawah Kerajaan Hatorusan, diciptakan institusi raja huta dan Pande na Bolon sebagai penasehat keagamaan.
Pada 450 M, daerah pedalaman Batak, Toba, telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok marga Si Bagot Ni Pohan. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.
Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap di Toba dan Uluan hingga kini. Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung melawan orang-orang Hindu Minang. Mereka kalah. Perantauan berhenti dan mereka mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng pertahanan.
Mereka kemudian berhadapan dengan penghuni Lobu Tua, Bangsa Tamil berkulit hitam ras Dravidian, melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai Batang Toru. Orang-orang tersebut tersingkir dan kemudian menetap di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bangsa Tamil beberapa abad kemudian, bermigrasi dari India Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli, Medan.
Para pengikut parmalim menyakini bahwa tahun 497 M atau 1450 tahun Batak, merupakan tahun kebangkitan pemikiran keagamaan di kepemimpinan Raja-raja Uti. Raja Uti dinobatkan sebagai Tokoh Spiritual Batak dan Rasul Batak (Abdul Rachmi Pasaribu, Raja Uti: Tokoh Spiritual Batak, Yayasan Lopian Indonesia, 1996).(bersambung....ke Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak - Bagian 3)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar