Sejarah Kerajaan Batak 4

Bookmark and Share
SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela.

Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:

1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah

tahun 1540 s.d. 1550

2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550

s.d 1595

3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627

4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667

5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730


SM Raja XII
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751

7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771

8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788

9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819

10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841

11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871

12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907

Yang unik adalah, hegemoni Batak Tatae Bulan di kerajaan Batak kemudian berpindah ke kubu Toba Isumbaon di sentral Batak.

Sultan Ibrahimsyah Pasaribu Tewas 

Sementara itu, di Barus, terjadi perubahan yang menyedihkan. Pada permulaan abad ke-17, pamor kota ini merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang ingin memonopoli seluruh pesisir Sumatera, setelah sebelumnya telah menganeksasi sisa-sisa Kerajaan Hatorusan lama di Singkil.

Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh berhasil menaklukkan kerajaan Barus dan memasukkannya ke dalam wilayah kesultanan Aceh. Iskandar Muda memperkecil peranan Barus baik sebagai pusat perniagaan maupun kebudayaan. (Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar muda (1607-1636), terjemahan Hasan Muarif Ambary, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1986; Hal. 110-111).

Sejarah menceritakan bahwa pada tahun 1610 M, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu tewas terbunuh oleh ekspansi militer Aceh ke wilayah tersebut. Setelah pasukan Barus berhasil mengusir militer Aceh, kerajaan kemudian diwalikan kepada Sultan Marah Sifat; raja yang memerintah di Kerajaan Barus Hulu. Setelah berdamai, kedua kerajaan ini telah mengikat tali persaudaraan dimana Sultan Marah Sifat menjadi adik ipar Sultan Ibrahimsyah. Ibrahimsyah menikah dengan kakak perempuan Sultan Marah Sifat. Perwalian ini dimaksudkan sambil menunggu putra kerajaan Sultan Yusuf Pasaribu bin Ibrahimsyah tumbuh dewasa untuk menduduki tahta.

Akibat peperangan yang terus menerus dilancarkan Aceh, kemegahan Baruspun selama berabad-abad telah musnah dan yang tinggal hanya puing-puing. Valentijn, seorang sarjana Belanda yang mengunjungi Barus pada tahun 1706, menulis dalam sebuah bukunya:

“… seorang penyair Melayu, Hamzah Pansur… yakni seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan puisis-puisinya yang menakjubkan, membuat kita karib kembali dengan kota tempat lahir sang penyair bilamana di dalam pui-puisinya yang agung dia mengangkat naik dari timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan menciptakan kembali masa-masa gemilang dari kebesarannya…” (lihat A. Teeuw, “The Malay Sya’ir-Problem of Origin and Tradition”, BKI, 122, 1966, hal. 429-447 (h. 439)

Melalui cacatan Valentijn, dan tentunya syair-syari Hamzah Fansuri, diperoleh kesan bahwa pada zaman Hamzah Fansuri, dia masih mengalami dan menikmati zaman terakhir kegemilangan kota Barus dan menyaksikan pula maraknya perkembangan Aceh Darussalam.

Setelah dewasa, Sultan Yusuf diangkat menjadi raja Barus Hilir dengan Gelar Raja Uti, meniru gelar nenek moyangnya. Sultan Yusuf Pasaribu membangun kembali negaranya dengan kemampuan yang dia warisi dari kakeknya. Hubungan antara Raja Uti baru ini dengan kerajaan Batak Sisingamangaraja sangat intens. Kegembiraannya memuncak setelah lahirnya putranya yang diberi nama Sultan Hidayat Pasaribu.

Sebagai Raja diapun berusaha untuk membina kembali hubungan diplomasi dengan Raja Aceh. Simpati Raja Aceh pun bersambut dan menawarkan putrinya untuk dinikahi Sultan Yusuf.

Tawaran tersebut diterima oleh Yusuf, dan diapun berangkat untuk menikah dengan Putri Raja Aceh dan untuk beberapa saat menetap di Banda(r) Aceh. Namun, perasaan dendam dengan tebunuhnya ayahandanya dalam peperangan mempertahankan Barus tidak dapat dilupakan oleh Yusuf. Dia lalu membuat strategi untuk membunuh Raja Aceh tersebut. Gagal, Yusuf hanya mampu membunuh permaisuri raja. Dia ditangkap dan tewas dihukum oleh hulubalang Aceh.

Sepeninggalan Sultan Yusuf, kerajaan Barus sementara dipegang oleh Sultan Marah Sifat kembali. Setelah menerima kabar tewasnya Sultan, tahta kerajaan diserahterimakan kepada Sultan Hidayat. Sultan Hidayat memegang tampuk kekuasaan di Barus Hilir dengan gelar Sultan Adil. Sementara itu, di Barus Hulu telah terjadi suksesi kepada Maharaja Bongsu anak Sultan Marah Sifat.

Kerajaan Barus Hulu 

Antara abad 10-13 M, ketika Kerajaan Hatorusan diserang oleh balatentara Sriwijaya. Hatorusanpun kehilangan kontrol terhadap kerajaan-kerajaan kecilnya. Diperkirakan seluruh Barus (Hilir dan Hulu) takluk.

Barus Hulu sekarang ini, secara administratif pemerintahan, terletak persis diujung barat Kab. Humbang Hasundutan. Di bagian selatan berbatasan langsung dengan Tapanuli Tengah menyenggol perbatasan Aceh Selatan dan di timur laut dengan Kabupaten Dairi/Pakpak Barat.

Wilayah ini, dalam administrasi kolonial Belanda bernama Onderafdeling Boven Barus, Kecamatan Barus Hulu, dengan asisten Demang berkedudukan di Pakkat. (Drs Gens G Malau, Buku Lopian Boru Sinambela hal 206-217, Yayasan Taotoba Nusabudaya, Jakarta 1997)

Kerajaan Barus Hulu, dengan otoritas Sultan Marah Sifat meliputi tujuh provinsi; Negeri Rambe, Negeri Simanullang, Negeri Pusuk, Negeri Marbun, Negeri Tukka Dolok, Negeri Siambaton, Negeri Tukka Holbung Sijungkang dan Negeri Sionomhudon (Parlilitan & Tarabintang).

Setelah Sriwijaya berhasil diusir, kerajaan-kerajaan Barus Hulu dan Hilir kemudian membangun daerahnya. Kontrol Hatorusan melemah. Begitu juga di Singkil dan beberapa kerajaan di pesisir barat.

Abad 14, gelombang pasukan Majapahit pimpinan perdana menteri Gajah Mada melakukan ekspansi melalui timur Sumatera. Beberapa wilayah wilayah Batak pernah dikuasai sampai Sionomhudon. Pergerakan mereka ke barat terhenti karena mereka berhasil dihalau keluar tanah Batak. Namun begitu kerajaan Majapahit tetap melakukan hubungan dagang dengan Barus. Elemen Majapahit, yang tidak sempat kembali ke Jawa, mendirikan komunitas di Dairi.


Sumber-sumber sejarah dinasti Ming di Cina menyatakan bahwa pada tahun 1418 sebuah rombongan utusan Kerajaan Majapahit menemui raja Barus disertai orang-orang Cina yang telah tinggal lama di situ (Krom 144).

Kerajaan Pagarruyung pernah berkeinginan menaklukkan Barus pada abad 15. Namun pada abad 16, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang baru memerintah berhasil membangun kekuatan Barus yang lebih kuat dan disegani.

Pada zaman inilah, abad-16, diketahui bahwa di Barus Hulu telah berdiri lama kerajaan tersendiri dengan raja Sultan Marah Sifat. Diperkirakan kerajaan ini sudah lama berdiri dan pecahan dari Hatorusan. Sultan Pasaribu, penguasa Hatorusan versi baru, mengultimatum Barus Hulu. Kerajaan Barus Hulu kemudian tunduk ke kerajaan Barus Raya, Kerajaan Hatorusan, pimpinan Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi juga sampai ke Kerajaan Barus Hulu. Para pedagang dan sudagar dari Negeri Rambe, Sionomhudon dan lain sebagainya aktif terlibat dalam perputaran ekonomi di kawasan ini.

Akibatnya, pada abad ke-17, komunitas-komunitas kecil muslim terbentuk di pedalaman Batak di kerajaan Barus Hulu. Mereka ini adalah para pedagang dan saudagar antar huta yang tertarik untuk masuk Islam di Barus; pusat ekonomi saat itu.

Komunitas muslim pedagang dari marga Sihotang misalnya banyak dijumpai di huta Siranggason, Tolping, Siantar Dairi dan lain sebagainya. Begitu juga dengan Hasugian, Malau, Nahampun dan Naipospos di Napa Horsik dan Napa Singkam.

Marga Simbolon, banyak bermukim di Tarabintang, Laetoras dan beberapa di Hutambasang. Di Hutambasang sendiri kebanyakan muslimnya adalah dari marga Manalu.

Mungkur, Meha dan Sitohang merupakan marga-marga yang mendirikan mesjid pertama di Parlilitan. Sementara itu di Negeri Rambe, komunitas muslim berasal dari pedagang marga Simamora, Marbun, Pasaribu, Sigalingging, Purba dan lain sebagainya.

Dalam setiap persta dan festival, posisi komunitas Muslim tersebut sangat dihormati. Mereka akan disediakan tempat khusus dan koki dari komunitasnya sendiri dalam perjamuan pesta. Mereka akan disebut komunitas Parsulam atau Parsolam dalam pesta tersebut. Orang Batak menyebut Islam dengan kata Silom atau Sulam. Tapi secara umum, dalam kegiatan sehari-hari mereka tidak berbeda dengan mayoritas masyarakat di situ yang Parmalim.

Kerajaan Hatorusan baru ini, merupakan aliansi SM Raja XII dalam menghadapi kekuatan penjajah Belanda. Beberapakali surat-menyurat serta negosiasi dilakukan untuk mengatur strategi pertahanan.

Ketika SM Raja XII terpojok dari wilayah Toba, dia mengambil suaka politik di Negeri Sionomhudon, provinsi Barus Hulu, turut bersamanya sekitar 800 orang yang sebagian besar terdiri dari pasukan khusus pengawal raja bantuan dari kerajaan Aceh. Pearaja menjadi basis pemerintahan in exile Kerajaan Batak selama 17 tahun sebelum akhirnya takluk juga.

Setelah tewasnya SM Raja XII pada tahun 1907, rakyat Barus Hulu dan Hilir masih terus melakukan perlawanan kepada Belanda walau dalam jumlah kecil sampai tahun 1920-an.

Barus Hulu, sepeninggalan Sultan Marah Sifat digantikan oleh anaknya Sultan Maharaja Bongsu dan beberapa keturunannya, akhirnya takluk ke Belanda dan menjadi Onderafdeling Boven Barus berpusat di Pakkat. Hanya saja beberapa provinsinya belum seluruhnya takluk.

Negeri Sionomhudon di Barus Hulu sejak dahulu merupakan negeri yang kaya raya terkenal dengan tambang emasnya. Diperkirakan masih terdapat bahan galian lain yang belum diteliti. Hutannya menghasilkan kapur barus, damar, terpentin dan lain sebagainya. Perkebunan di sana juga menghasikan kulit manis, raru, komponen ramuan medis dan minyak nilam sebagai bahan utama pembuatan parfum.

Sionomhudon dikuasai oleh keturunan parna dengan enam kelompok marga; Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turuten dan Pinayung serta Nahampun. Namun secara umum orang-orang Dairi, Pakpak dan Simsim ini tidak ingin disebut orang Batak dan tidak mengaku sebagai Batak. Karena mereka mempunyai nenek moyang sendiri, bukan Raja Batak tetapi Mpu Bada orang Majapahit. (Mpu terkadang disebut Empu atau Ompu).


Perkampungan Karo di Namorambe (Deli Serdang Sekarang) Tahun 1880-1890

Sebagai bagian dari Kerajaan Hatorusan, negeri Sionomhudon masuk dalam wilayah Dairi; Tano Dairi. Penduduknya menyebut diri suku Pakpak. Mereka dan warga BarusHulu yang lain kebanyakan menjadi pedagang trans Tano Batak. menghubungkan Lobu Tua dan Fansur, pusat perdagangan komoditas laut, dengan wilayah pusat kerajaan Batak.

Demikianlah postingan mengenai Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak. Semoga bisa bermanfaat yah, kalau ada yang kurang silahkan berikan komentarnya yah, dan jangan lupa untuk membaca postingan-postingan menarik lainnya di blog ini.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar