Kontroversi seputar boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden seakan tak ada habisnya. Tapi sekarang fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah “merevisi” pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita dalam konteks negara.
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun mengatakan, “Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden wanita asal sesama muslim.” (Media Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan Megawati, telah bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden Indonesia sampai 2004 (Rakyat Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid dengan mengatakan bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita sebagai presiden/kepala negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang wanita menjadi presiden. Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001, menyatakan, hendaknya umat Islam Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati sebagai kepala negara. Sebab, penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan perempuan dalam entitas negara ini juga terlihat dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit di atas, benarkah Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh parpol-parpol Islam dan para intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan apakah wanita boleh atau tidak menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT :
“Katakanlah,’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS Al A’raaf : 158)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syari’ (seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash syara’, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara’. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.
“Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.” (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syara’ yang mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syara’, demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syara’. Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam ba’da at takhshish hujjatun fi al baqi
“Lafazh umum yang telah dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang tidak dikhususkan).” (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 255-257)
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun mengatakan, “Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden wanita asal sesama muslim.” (Media Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan Megawati, telah bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden Indonesia sampai 2004 (Rakyat Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid dengan mengatakan bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita sebagai presiden/kepala negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang wanita menjadi presiden. Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001, menyatakan, hendaknya umat Islam Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati sebagai kepala negara. Sebab, penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan perempuan dalam entitas negara ini juga terlihat dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit di atas, benarkah Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh parpol-parpol Islam dan para intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan apakah wanita boleh atau tidak menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT :
“Katakanlah,’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS Al A’raaf : 158)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syari’ (seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash syara’, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara’. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.
“Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.” (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syara’ yang mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syara’, demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syara’. Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam ba’da at takhshish hujjatun fi al baqi
“Lafazh umum yang telah dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang tidak dikhususkan).” (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 255-257)
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut. Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga. Memang ayat 34 dari surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu ‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)”
3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima. Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan
untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.
4. Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara. Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda antara qadhi dan kepala negara.
5. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima. Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena landasan syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.
Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syar’u Man Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS Al Maaidah : 48)
Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal. 209)
6. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)
Penutup
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan kepentingan politik dan hawa nafsu manusia. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan negara Khilafah Islamiyyah-lah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslimin dapat dipecahkan dengan sahih. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]
Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis” diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan Studi Mahasiswa) Universitas Janabadra, Yogyakarta, Ahad, 2 September 2001
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar