Perbandingan Sifat Melayu dan Karo, 1823

Bookmark and Share

Ketika John Anderson datang ke Pantai Sumatera bagian Timur tahun 1823, dalam menjalankan missi kerajaan Inggris, ia melihat petani-petani karo yang terampil membudidayakan lada (“They keep the pepper gardens beatifully clean..”)


Anderson menuliskan perbandingan sifat-sifat orang Melayu dengan orang-orang Batak Karo penanam lada awal abad ke-19 sebagai berikut :


".....orang Batak Karo adalah orang rajin, kebiasaan tamak mereka dan kegemaran akan uang, mendoorng mereka untuk bekerja keras. Hari-hari terutama diisi dengan bekerja keras..... Sementara itu orang Melayu dianggap kaya di sini jika ia telah bisa mengumpulkan uang sebanyak dua ribu dollar, karena kemalasan mereka mempersulit mereka untuk bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Bangsa pelaut ini barangkali hanya bekerja beberapa bulan saja dalam setahun, berlayar sekali dua kali ke Penang dan menghabiskan sisa hari-harinya untuk bermalas-malasan..... Sebaliknya, orang Batak Karo luarbiasa kikir dan gemar menabung. Dengan begitu, ditambah dengan sifat rajin mereka, mereka mampu mengumpulkan uang dalam jumlah besar. Orang Batak Karo juga tidak memamerkan kekayaannya, berbeda dengan orang Melayu yang begitu mempunyai uang sedikit akan langsung mengadakan pesta-pesta dengan mengundang sebanyak mungkin pengunjung dan dipandang kaya atau terhormat berdasarkan banyak pengikut mereka....”


(John Anderson, Mission to the East of Sumatera in 1823 (cetak ulang, Kuala Lumpur, OUP, 1971), halaman 266-268)

Sepanjang waktu, sebenarnya orang-orang Melayu ini harus membayar untuk memperoleh posisinya yang rapuh sebagai perantara pedagang dan penguasa, dari pada posisi seorang produsen. Bagaimanapun, peran ini dibutuhkan baik oleh produsen Karo dan pembeli asing. Dengan datangnya kontrol kolonial Belanda, peran ini menjadi semakin penting.


Catatan :
Hipotesa MU Ginting tentang asal kata “Batak” :

John Anderson dalam bukunya disebutkan tentang kunjungannya ke The Batta Cannibal States. Istilah “Battaa” adalah dari kata “Batak” dalam lidah seorang Inggris (John Anderson) ketika itu. Anderson tidak menciptakan istilah baru (Batta) tetapi dari istilah yang sudah ada (Batak) jauh sebelum Anderson tiba di pantai timur Sumatra. Batak adalah nama julukan dari penduduk pantai yang beragama islam terhadap penduduk pedalaman yang tidak ber-Tuhan (Karo, Toba, Simalungun dan sebagian Pakpak), yang makan babi dan pasti jugalah secara diam-diam dianggap makan orang (kanibal). Dari situasi ini jugalah Anderson memastikan orang Batta ini kanibal, karena dalam bukunya tidak jelas kalau dia pernah melihat dengan mata kepala sendiri orang Batta itu makan orang.

Penduduk pantai timur Sumatra umumnya beragama islam artinya mereka ber-Tuhan (Allah), sedangkan penduduk pedalaman dianggap tidak beragama atau kafir tetapi diketahui bahwa mereka sudah punya kepercayaan atau ber Tuhan yang disebutkan Dibata (Karo, Pakpak), Debata (Toba dan Simalungun). Bahwa mereka ini ber-Dibata tidak diakui sebagai Tuhan oleh orang-orang islam, karena Dibata atau Debata bukan Tuhan. Dari kata Di-Bata atau De-Bata berubah jadi Batak, nama julukan atau ejekan yang lebih mantap. Dibata atau Debata (di Bali Dewata) berasal dari kata “Devata” dalam bahasa Sanskrit di India dan sudah ada sejak 1500 BC. Jadi keberadaan istilah Dibata atau Debata pastilah sudah ada jauh sebelum kedatangan islam atau orang Eropah ke Indonesia. Pertama dengan kedatangan dan pengaruh agama Hindu, dan kemudian dipertegas dengan kedatangan agama Buddha secara menyeluruh ke benua Asia.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar