Menjawab : Jangan Campurkan Agama Dengan Politik

Bookmark and Share
Adalah suatu pendapat yang keliru. "Jangan Campurkan Agama Dengan Politik" atau pendapat orang-orang ateisme, liberalisme, sekularisme, pluralisme dan humanisme). Ada lagi yang mengatakan kalau para ustad, kyai, pastur, pendeta, tokoh-tokoh agama jangan coba-coba ikut dunia politik. Kalau pembaca setuju dengan hal tersebut mungkin sedang ada kesalahan cara perfikir kepada anda semua.

Politik ibarat sebuah senjata yang sangat mematikan dan menyelamatkan. Kalau pihak yang diberikan kesempatan dan ijin untuk masuk didunia politik bukan orang yang adil dan amanah maka akan sangat berbahaya. Apalagi pengharaman kepada orang-orang yang saya sebutkan saya di atas tadi. Politik dan agama adalah satu-satunya kebenaran dalam sebuah negara yang berpaham demokrasi.

Menjadikan "Agama Sebagai Kedok" juga salah, kecuali jika dapat menjadikan politik sebagai kendaraan untuk menegakkan kebeneran agama. Saya rasa ini akan bisa merubah cara-cara kotor dalam berpolitik menjadi politik yang bersih. Semoga saja Tuhan akan membuka pintu hati hambah-Nya termasuk orang yang Menjadikan Agama Sebagai Kedok demi kepentingan pribadi dan golongan bukan untuk masyarakat pada umumnya.

Benarkah "Politik itu politik, Agama ya agama", ini juga sikap yang salah karena Agama dan Politik itu ibarat saudara kembar, atau dua sisi coin dari satu mata uang yang sama. Keduanya saling melengkapi, tidak bisa yang satu meninggalkan yang lain. Politik tanpa Agama ya ateisme namanya, kita pernah dengar peristiwa G 30 S PKI bukan bagimana paham ateis membuat kehancuran di Negeri ini.

Politik tidak harus dimaknai sebagai politik praktis yang akhir-akhir ini cenderung kotor dan citranya sedang terpuruk karena banyak politikus yang terlibat masalah korupsi. Oleh karena diperlukan langkah :

1. Pertama, adalah politik kebangsaan yang bisa memadukan konsep kreatif mengenai hubungan agama dan negara di negeri yang majemuk ini lewat pikiran-pikiran cerdas.

2. Langkah kedua,adalah melakukan politik praktis yakni melakukan perjuangan lewat partai politik. Agar partai politik ke depan menjadi sehat, maka orang-orang yang baik, profesional dan jujur harus masuk partai politik. Kalau tidak, demokrasi akan menjadi oligarki dan dikuasai sekelompok elite yang tak jujur, atheis, liberalisme, sekularisme dan pluralisme.

Mari kita telaah lebih dalam politik dan agama dari dua sudut agama samawi yang tentunya yang ada di negeri kita yaitu pandangan dari segi agama teologi agama Islam  dan Kristen. 



POLITIK DALAM ISLAM

Politik Di Zaman Rasulullah

Dalil Politik Islam

Politik Islam adalah Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Berarti secara ringkas maksud Politik Islam adalah pengurusan atas segala urusan seluruh umat Islam.

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :

"Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)    

Jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda :

"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani)

Pemikiran politik Islam

Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Pemikiran politik Islam bermula dari masalah etika politik, falsafah politik, agama, hukum, hingga tata cara kenegaraan. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu boleh dikatakan bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.

Bolehlah kita katakan pemikiran para pemikir Islam yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ini karena, ketika sejak Revolusi Perancis agama Kristien relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara yaitu bahwa gereja harus terpisah dari negara. Namun begitu, Islam masih lagi tetap pada persoalan yang satu yaitu penyatuan Islam dan politik sejak zaman Nabi hingga zaman kini.


Gerakan Politik Islam

Islam sebagai gerakan politik mempunyai sebuah ciri beraneka yang pada berlainan waktu menginkorporasikan elemen-elemen banyak gerakan politik lain, sementara pada waktu yang sama menggunakan pandangan-pandangan keagamaan fundamentalisme Islam, terutamanya pandangan Islam sebagai agama politik.

Suatu tema yang umum pada abad ke-20 adalah pertentangan terhadap perselisihan kaum, kolonialisme dan imperialisme, dalam pembentukan Empayar Turki Uthmaniyyah dan Empayar British (walaupun Empayar Uthmaniyyah itu sendiri adalah gerakan politik Islam). Akhirnya sosialisme sebagai suatu viable alternative dengan akhirnya Kesatuan Soviet dan Perang Dingin telah menambahkan appeal gerakan revolusi Islam, terutamanya dalam konteks rejim tidak-demokrasi dan korupsi sepanjang dunia Islam. Islamisme membesar sebagai reaksi pada trend-trend ini, dan sebagai suatu desire untuk membentukkan sebuah kerajaan berasaskan rukun-rukun Islam.

Pada jelasnya, skop politik Islam adalah sangat lebar ia mengencompass apa-apa jenis gerakan revolusi atau parti di mana-mana negara Islam. Invariably, ia bermakna bahawa ia menyampurkan sekali such a variety of gerakan nasionalis, Marxisme dan perkauman yang ia tidak ada lagi kandungan ideologi yang benar. Ciri-ciri satunya beristilah yang ia ada adalah nasionalisme dalam sebuah konteks Islam; tetapi ini dijelaskan secara sedikit. Walaubagaimanapun, dalam kitab al-Quran, tiada apa yang menyatakan bahawa Politik perlu digunakan untuk menubuhkan Islam. Jadi, ia mungkin adalah suatu benda yang bahaya dari pemandangan Islam bahawa seorang mengaplaikan Islam untuk mendapatkan kelebihan politik.


Pandangan Orientalis Barat tentang Politik Islam

1. Dr. V. Fitzgerald berkata : "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekad-dekad terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mendakwa diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahawa kedua sisi itu saling bergandingan dengan selaras, yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain".[Muhammedan Law", Bab I, m/s 1.]

2. Prof. C. A. Nallino berkata : "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan : agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas wilayah negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".[he Caliphate, m/s 198 oleh Sir. T. Arnold]

3. Dr. Schacht berkata : " Islam lebih dari sekadar agama, ia juga mencerminkan teori-teori perundangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".[Encyclopedia of Social Sciences, Bab VIII, m/s 333]

4. Prof. R. Strothmann berkata : "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Kerana pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politik yang bijaksana, atau "negarawan".[The Encyclopedia of Islam, Bab IV, m/s 350]

5. Prof D.B. Macdonald berkata : "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama dalam undang-undang Islam".[ Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, m/s 67]

6. Sir. T. Arnold berkata : " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang ketua agama dan ketua negara".[The Caliphate, Oxford, 1924, m/s 30.]

7. Prof. Gibb berkata : "Dengan demikian, jelaslah bahawa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang bebas. Ia mempunyai cara tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundangan dan institusi".[Muhammedanism, 1949, m/s 3]

Akhir-akhir ini di tengah-tengah berbagai persoalan bangsa yang tidak kunjung berakhir, sementara orang  melihat kembali pemerintahan di zaman Rasulullah. Keinginan itu  muncul dari kenyataan bahwa kehidupan masyarakat Madinah pada zaman kehdiupan Rasulullah dianggap ideal. Sekalipun pada zaman itu masyarakat terdiri atas  kelompok-kelompok yang berbeda, selain kaum muslimin, juga terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi mereka bisa hidup rukun dan damai.  Begitu pula, masyarakat muslim sendiri terdiri atas kaum Muhajirin dan kaum Asnshar,  semua itu berhasil dipersatukan secara kokoh.

Idealitas masyarakat  tersebut  masih diakui hingga sekarang,  sehingga seringkali mengundang pertanyaan,  mengapa tatanan sosial yang sedemikian indah  itu tidak bisa berlanjut dan apalagi bisa diimplementasikan di berbagai tempat dan waktu yang berbeda.  Umat Islam sendiri di mana-mana gagal mengimplementasikannya. Konflik-konflik  dan bakan perang antar umat Islam sendiri masih sering  terjadi. Bahkan konflik itu  terjadi tidak saja antar negara, melainkan juga antar madzhab, aliran, dan juga pandangan yang berbeda-beda.  Hal demikian itu tentu tidak bisa disimpulkan bahwa tauladan dalam bermasyarakat dan apalagi bernegara yang dicontohkan oleh Rasulullah tidak bisa diimplmentasikan.  Asalkan mau,  apa saja yang dilakukan oleh utusan  Allah itu masih tetap bisa dijalankan di mana saja.

Tatkala Islam  belum berhasil sepenuhnya diimplementasikan,  maka ada saja alasan yang digunakan  untuk melegitimasi  kegagalan itu. Misalnya, pada zaman setelah nabi  sudah tidak turun lagi wahyu. Selain itu, juga disebut bahwa  tauladan setingkat Nabi sudah tidak ada lagi. Kedua alasan itu sebenarnya dengan mudah bisa dibantah. Alasan pertama,  bahwa wahyu sudah tidak turun lagi, adalah merupakan pandangan  yang mengada-ada. Sebab, sebenarnya wahyu itu sudah ada, yaitu sudah tertulis dalam kitab suci al Qur’an,  dan bahkan wahyu itu sudah  ditulis  secara sempurna. Demikian pula, manakala alasan itu masih ditambah lagi bahwa tauladan sudah  tidak ada lagi, maka sebenarnya tauladan itu juga telah ditulis lewat kitab-kitab hadits nabi.

Maka persoalannya sekarang ini adalah tidak ada kemauan  yang sunguh-sungguh untuk menjalankannya. Banyak orang berbicara tentang keindahan Islam. Ajaran Islam yang indah itu diperdengarkan, dibahas dan dijadikan bahan disekusi  di mana-mana,  di berbagai tempat. Lebih dari itu,  Islam juga diajarkan  di sekolah-sekolah, madrasah, pesantren,  hingga di perguruan tinggi. Hanya sayangnya, ajaran itu baru sampai pada tingkat  dijadikan bahan bahasan, materi  diskusi, atau diajarkan,  tetapi masih  kurang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keadaan seperti itu menjadikan Islam  hanya indah pada tataran konsep, tetapi  belum pada tingkat amal. Umat Islam kaya pengetahuan tentang Islam, tetapi masih miskin implementasi. Sebagai akibatnya  pula,  maka seringkali terdengar ucapan, yang mengatakan bahwa Islam  sedemikian indah, tetapi tidak bisa sepenuhnya dijalankan. Banyak orang  mengakui keindahan ajaran Islam, tetapi tidak terlalu mudah melihat secara nyata keindahan itu. Apalagi,  tatkala  melihat  institusi yang menyandang nama Islam, masih banyak yang  keadaannya masih jauh dari gambaran keindahan itu. Misalnya, banyak lembaga pendidikan Islam, rumah sakit, lembaga sosial dan bahkan tempat ibadah,  yang keberadaannya  kurang menggambarkan  sebagai  telah diwarnai oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Gambaran  itu semua  terjadi oleh karena kurang adanya  kesungguhan, kesabaran dan bahkan juga keikhlasan dalam menjalankan ajaran Islam. Masih banyak kaum muslimin mengaku membela Islam, berjuang demi Islam dan bahkan berkorban untuk Islam, akan tetapi apa yang diniatkan itu masih belum sepenuhnya dijalankan.  Semestinya, Islam bukan sekedar berada pada tataran pikiran, ucapan, dan wacana, melainkan harus segera diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Islam  tidak saja mengajarkan akan keharusan membangun masjid misalnya, tetapi juga hendaknya menggunakan sarana itu  sebagai tempat ibadah dan shalat lima waktu bersama-sama. Akan tetapi dalam hal penggunakaan tempat ibadah saja,  ternyata masih  secara terbatas. Tempat ibadah itu kebanyakan masih sepi dari jama’ah. Mereka membanggakan masjid sama dengan membanggakan Islam, tetapi belum sepenuhnya digunakan atau diimplementasikan.

Pada zaman rasulullah, ajaran itu dijalankan  sepenuhnya. Nabi menjalankan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Antara al Qur’an dan tindakan Nabi sejalan. Bahkan hingga disebutkan bahwa akhlak nabi adalah al Qur’an itu sendiri.  Sayangnya  setelah ajaran itu sampai pada umatnya, disamping ajaran itu banyak yang kurang dipahami, juga kurang dijalankan. Itulah akibatmnya, umat Islam tidak berhasil mendapatkan kelezatan dari keber-Islamannya itu.  Ajaran Islam seolah-olah jauh dari umatnya, tidak terkecuali  dalam berpolitik. Orang lebih suka berdebat tentang politik Islam daripada menjalankan politik sesuai ajaran yang mulia itu. Islam mengajarkan harus saling bersatu, bermusyawarah, saling memperkokoh, menghargai dan menghormati pendapat orang lain, memperhatikan semua, dan seterusnya. Namun  pada kenyataannya, sekarang ini di antara umat sendiri  masih berbecah belah, konflik, berebut dan bahkan saling menjatuhkan. Dalam berpolitik, di zaman Rasulullah, dilakukan saling memperkokoh dan mempersatukan atas dasar akhlak  mulia, dan bukan sebaliknya.

----------
Sumber :
- http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
- http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3724:politik-di-zaman-rasulullah&catid=25:artikel-imam-suprayogo



POLITIK DALAM KRISTEN

Gerakan agama Kristen adalah penafsiran-penafsiran teologi, politik, atau filsafat terhadap agama Kristen yang biasanya tidak diwakili oleh suatu gereja, sekte, atau denominasi tertentu.

Dalam Gerakan Politik Kristen bernegara secara umum sejarah membagi dalam beberapa gerakan politik, yaitu :

- Anarkisme Kristen: menolak semua otoritas dan kekuasaan selain Allah, termasuk gereja yang terorganisir. Kaum anarkis Kristen percaya bahwa Yesus dari Nazaret adalah jelas seorang anarkhis dan bahwa gerakannya diubah oleh pengaruh-pengaruh Yudais dan negara negara yang kuat.
   
- Demokrasi Kristen: adalah sebuah ideologi politik, yang dilahirkan pada akhir abad ke-19, pada umumnya sebagai akibat dari ensiklik kepausan, Rerum Novarum dari Paus Leo XIII, yang isinya menyatakan bahwa Vatikan mengakui penderitaan kaum buruh dan sepakat bahwa harus diambil langkah-langkah mengenai hal ini, sebagai akibat dari bangkitnya gerakan-gerakan sosialis dan serikat buruh.
   
- Evangelikal kiri: bagian dari gerakan evangelical Kristen, namun pada umumnya bergerak sebagai sayap kiri dari gerakan tersebut, baik secara politik ataupun teologis, atau kedua-duanya.
   
- Gerakan Injil Sosial: sebauh gerakan intelektual Kristen Protestan yang menonjol pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan ini menerapkan prinsip-prinsip Kristen ke dalam masalah-masalah sosial, khususnya kemiskinan, minuman keras, obat bius, kejahatan, ketegangan rasial, pemukiman kumuh, kesehatan yang buruk, sekolah yang buruk, dan bahaya perang. Secara teologis, para pemimpin Injil Sosial umumnya adalah pasca-Millenarian.
   
- Komunisme Kristen: adalah suatu bentuk komunisme keagamaan yang didasarkan pada ajaran-ajaran Yesus dan cara hidup para murid dan orang-orang Kristen perdana.
   
- Kristen kanan: mencakup sebuah spectrum Kristen konservatif dari segi politik dan sosial. Gerakan dan organisasi-organisasi dalam kelompok ini dicirikan oleh dukungan mereka yang kuat terhadap nilai-nilai sosial yang mereka anggap tradisional di Amerika Serikat dan di negara-negara barat lainnya.
   
- Kristen kiri: mereka yang berpegang pada keyakinan Kristen yang kuat dan berpaham sayap kiri atau liberal.
   
- Kristen Progresif: memusatkan perhatian pada perintah-perintah Alkitab bahwa umat Allah harus hidup dengan benar, menegakkan keadilan sosial dan bertindak melawan kemiskinan, rasialisme, dan segala bentuk ketidakadilan lainnya.
   
- Sosialisme Kristen: mereka yang berada pada kelompok Kristen kiri yang politik nya Kristen dan sosialis, secara luas termasuk Teologi Pembebasan dan doktrin Injil Sosial.
   
- Teologi Pembebasan: sebuah aliran dan gerakan yang penting dan controversial di dalam teologi dan praxis dari Gereja Katolik Roma setelah Konsili Vatikan II, gerakan ini secara resmi dikutuk. Gerakan ini mempunyai pengaruh yang luas di Amerika Latin dan menjajaki hubungan antara teologi Kristen dan aktivisme politik, khususnya dalam bidang keadilan sosial, kemiskinan, dan hak-hak asasi manusia. Teologi ini mengutamakan masyarakat yang miskin secara ekonomi dan tertindas. Lihat pula Teologi Hitam, Teologi Dalit, Teologi feminis, Teologi Minjung dan Teologi Queer.


KEADAAN POLITIK DI INDONESIA MENJELANG AKHIR ABAD KE-20

Istilah politik sangat sulit didefinisikan secara tepat dan akurat meskipun sering dipergunakan secara umum. Para pakar politik mencoba mendefinisikannya dengan penekanan yang berbeda, yang dihubungkan dengan situasi dan konteks tertentu. Yang jelas, politik bermuatan interaksi timbal-balik dari para pemimpin masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan bersama, demi kebaikan dan kesejahteraan semua golongan. Kegiatan politik bukan hanya untuk golongan masyarakat tertentu, tetapi untuk semua golongan masyarakat. Maka politik mempunyai arti yang positif bagi setiap warga negara. Kegiatan politik akan memberi inspirasi dan dorongan kepada warga masyarakat untuk ikut berperan serta secara aktif menciptakan masyarakat yang cerdas demi terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera, pemerataan pendapatan, terjaminnya kebebasan berbicara, bersuara, berkumpul, beribadah, menulis, bekerja, dan perlindungan hukum. Dalam konteks negara modern, menurut John Bennett, negara adalah sebuah lembaga politik yang mempunyai otoritas untuk membuat undang-undang untuk mengatur dan memelihara ketertiban, agar masyarakat memperoleh hak hidup berdasarkan hukum keadilan, sehingga tercipta hukum keadilan dan keadilan hukum.

Namun harus diakui bahwa dalam kenyataannya, definisi dan fungsi politik memang sangat berbeda dari yang diharapkan. Perjuangan politik sering di manipulasi dan disalahgunakan oleh suatu golongan atau pribadi untuk kepentingan kelompok. Perjuangan politik dijadikan alat untuk menindas yang lemah. Akibat fatal yang ditirnbulkan oleh penyalahgunaan hak politis tersebut, banyak orang kehilangan hak dan martabatnya untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, sehingga tidak dapat menggunakan hak pilih sesuai dengan hati nurani. Tentunya hal ini hanya akan menguntungkan penguasa dan mengekalkan kekuasaannya. Perjuangan politik hanya dinikmati oleh penguasa dan yang dekat dengan kekuasaan.

Bicara tentang sumber kekuasaan, rakyat adalah sumber dominan dari sebuah kekuasaan. Kekuatan politis yang dimiliki oleh sekelompok orang yang memegang kekuasaan bersumber dari rakyat. Namun selain rakyat, sumber kekuasaan lain adalah personality (kepribadian), property (kekayaan) dan organisation (organisasi). Dari sejarah politik, sumber yang terbaik untuk suatu kekuasaan adalah dari rakyat, yang tercermin dalam sistem demokrasi. Sedangkan cara untuk memperoleh kekuasaan bisa melalui condign power (kekerasan), compensatory power (dengan memberikan imbalan jasa), atau conditioned power (karena pendidikan dan latihan).

Ironisnya di Indonesia, setelah berkuasa, para penguasa mengharuskan masyarakat sipil mematuhi kehendak mereka tanpa mempedulikan aspirasi rakyat. Masyarakat dipaksa untuk taat. Penguasa lebih berkuasa dari rakyat yang memberikan kekuasaan. Apabila rakyat tidak setuju atau melawan keputusan pemerintah, mereka akan menghadapi proses peradilan dan umumnya akan selalu mengalami kekalahan. Ini disebabkan oleh pengaruh kekuasaan terhadap lembaga peradilan. Lembaga peradilan kurang mandiri dan tidak dapat menjalankan fungsi seperti yang diatur oleh hukum. Hanya para penguasalah yang selalu memenangkan persidangan, bahkan seringkali sebelum persidangan dimulai.

Sebenarnya, negara tidak identik dengan pemerintah. Negara adalah institusi politik yang menjalankan fungsi kekuasaan melalui pemerintah. Negara adalah suatu masyarakat yang tertib dan teratur karena keadilan hukum dan hukum keadilan. pemerintah adalah sebuah lembaga politik yang memiliki kekuasaan terbatas yang berfungsi membuat dan memelihara hukum dan perundang-undangan, peraturan dan tata tertib untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Negara mencakup pengertian penguasa dan yang dikuasai. Pemerintah berarti kekuasaan, penguasa, sistem kekuasaan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan undang-undang yang berlaku. dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus menjadi abdi rakyat dan pelayan masyarakat, karena kekuasaan yang dimiliki berasal dari rakyat, pemerintah, dalam kurun waktu yang ditetapkan oleh wakil-wakil rakyat, harus memberikan pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilaksanakan.

Namun di Indonesia batas antara negara dan pemerintah sangat tipis. Presiden berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Keberadaan lembaga pemerintah (eksekutif) dibantu oleh Lembaga Tinggi lain di luar eksekutif (DPR, BPK, DPA, dan MA). Namun rakyat merasa bahwa lembaga kepresidenan yang mencakup Negara dan Pemerintah, mempunyai pengaruh yang terlalu besar. Lembaga-lembaga tinggi negara belum berfungsi secara maksimal seperti yang diharapkan oleh rakyat. Dari hasil pengamatan dan analisis pakar sosial politik, kondisi ini telah menyebabkan tersumbatnya saluran politik. Rakyat selalu mengalami jalan buntu dalam menyalurkan aspirasinya. Keadilan hukum menjadi sungsang dan lahirlah sistem kolusi, manipulasi, dan korupsi. Kesenjangan sosial yang semakin tajam telah mengakibatkan kerusuhan dan penjarahan massal hampir di semua wilayah Indonesia.

Pemerintah melalui kontrol DPR seharusnya mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada MPR. MPR dan DPR sebagai wakil rakyat adalah pengemban suara penderitaan rakyat dan penyambung lidah rakyat. Baik MPR maupun DPR, yang anggota-anggotanya adalah wakil rakyat, seharusnya tidak menjadi juru bicara lembaga eksekutif. Lembaga yudikatif, sebagai penegak hukum bekerja secara mandiri dalam menjalankan tugasnya. Dalam mengemban tugasnya, lembaga yudikatif seharusnya tidak boleh dipengaruhi oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Ia harus berusaha menciptakan aparat negara yang bersih dan bertanggung jawab untuk mempercepat proses tercapainya masyarakat adil dan makmur. Hanya keadilan hukum dalam semua bidang akan menjamin terjadinya masyarakat yang adil dan sejahtera.

Berakhirnya era Orde Baru belum berarti akhir dari segala tirani kekuasaan. Budaya rekayasa hukum keadilan dan keadilan hukum secara perlahan digantikan dengan kebijaksanaan yang masih bersifat semu. Budaya yang bergantung pada kekuasaan masih dipertahankan. Hal seperti ini menimbulkan ketidakpuasan dalam masyarakat, dan mengundang terjadinya kekerasan hampir di semua wilayah Indonesia. Krisis moneter, ekonomi dan kepercayaan sekarang ini berakar pada krisis moral yang disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu, mereka yang menyalahgunakan kekuasaan selama memimpin harus diperhadapkan dengan hukum.

POLITIK DALAM KACA MATA PERJANJIAN BARU

Dalam Yohanes 17, Yesus berdoa agar Bapa tidak mengambil para pengikut-Nya dari dunia. Ia meminta kepada Bapa untuk menguduskan mereka dengan kebenaran yakni dalam kebenaran dan keadilan. Yesus menghendaki mereka menjadi terang dan garam dunia (Mat 5:13-16). Dengan menyimak kata dunia yang dapat berupa kosmos (tempat manusia hidup) dan aion (sistem atau struktur), kehadiran pengikut Kristus harus menjadi berkat bagi manusia dan lingkungannya, serta bagi sistem (sosial, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan budaya) dalam hal ini, masyarakat Kristen harus berperan serta secara aktif dalam pembangunan politik bangsa untuk menciptakan masyarakat baru yang berdasarkan hukum keadilan. Kehadiran umat Kristen dalam dunia ini mempunyai tugas khusus sebagai penegak kebenaran dan keadilan melalui suara kenabian. Dengan demikian masyarakat Kristen harus berada di dalam dunia untuk menyaksikan Injil keselamatan dan memperbarui sistem pemerintahan melalui perjuangan politik yang bersifat dialogis. Sebagai terang dan garam, para pengikut Yesus tidak bersifat eksklusif dan harus mampu hidup bersama dengan golongan masyarakat lainnya.

Agar pemerintah dapat menjalankan tugasnya dengan bertanggung jawab, orang Kristen sebagai warga gereja dan juga sebagai warga negara yang bertanggung jawab harus ikut berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan bangsa. Dalam Markus 12:17, Yesus berkata, "Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah yang wajib kamu berikan kepada Allah". Yesus menuntut keseimbangan dalam bertindak. Ia menekankan keseimbangan hukum moral dan hukum. Yesus mengajar murid-muridNya untuk bertindak adil, artinya memberikan kepada pemerintah dan Allah sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya.

Salah satu bentuk partisipasi Kristen adalah mendoakan pemerintah. Rasul Paulus berkata, "Naikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan" (1Tim 2:1-2). Yesus pun meminta agar para murid-Nya mendoakan para penguasa supaya mereka tidak memerintah dengan tangan besi, tetapi dengan kebenaran, keadilan, kejujuran dan ketulusan (Mrk 10:41-45).

Dalam Roma 13:4, Rasul Paulus berkata bahwa pemerintah adalah hamba Allah, dan orang Kristen harus takluk kepadanya. Pemerintah, sebagai hamba Allah, berjuang untuk keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang golongan. Pemerintah dipanggil sebagai pelayan Tuhan yang melayani dan bertanggung jawab. Pemerintah harus menjalankan kuasa berdasarkan kebenaran dan keadilan. Sebagai hamba Allah, para penguasa tidak boleh memerintah dengan kekerasan dan tangan besi (Mrk 10:41-45).

Sebagai seorang hamba kebenaran dan keadilan, Yesus menganjurkan kepada para pengikutnya tidak memerintah dengan kekerasan dan tangan besi. Ia berharap agar murid-muridNya tidak berkolusi dengan siapapun, dan juga tidak melibatkan diri dalam tindakan manipulasi dan korupsi. Dari semua tindakan-Nya, Yesus menunjukkan keberpihakanNya kepada golongan miskin dan tertindas. Yesus tidak mau berkolusi dengan golongan Farisi, Saduki dan ahli Taurat untuk menindas kaum lemah. Ia menuntut agar mereka menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etis dalam semua bidang kehidupan sehingga semua tindakan mereka dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Tanggung jawab moral kepada Allah dan tanggung jawab etis kepada sesama ini bersifat integral.

Tunduk kepada pemerintah juga bukan berarti melakukan semua perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kebenaran dan keadilan. Yesus meminta para pengikut-Nya untuk berdiri tegak di atas kebenaran dan keadilan serta tetap berusaha menyuarakan suara kenabian dalam situasi apapun, seperti yang telah dilakukan para nabi dan juga oleh Yohanes Pembaptis. Kehadiran murid Yesus di tengah masyarakat akan menjadi garam dan terang, dan berusaha menghadirkan misi Kerajaan Allah (Luk 4:18-19) secara utuh, serta berpijak pada Matius 22:37-39, "mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri".

Mengasihi sesama manusia telah diterjemahkan oleh Petrus dengan "kasih akan saudara-saudara dan kasih akan semua orang" (2Ptr 1:7). Oleh karenanya, pengikut Yesus tidak hanya berjuang untuk golongannya sendiri, melainkan untuk semua golongan manusia. Hal ini telah dibuktikan oleh Yesus sendiri ketika Ia memberi makan lima ribu dan juga empat ribu orang, menyembuhkan orang sakit, dan melayani manusia tanpa membedakan warna kulit. Dengan demikian, pemuridan tidak hanya dimengerti dari satu sisi saja - yaitu dari sudut keselamatan jiwa - tetapi juga dari sisi-sisi lain seperti menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, memulihkan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan. Maka misi kristiani mencakup pelayanan Injil keselamatan, penegakan keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, pengangkatan harkat dan martabat manusia melalui perjuangan HAM, percepatan pembangunan bangsa, dan pelestarian lingkungan hidup.

Gereja dan orang Kristen harus mampu mengupayakan penafsiran yang komprehensif holistik terhadap Mat 28:19-20, Mrk 10:41-45 dan 16:15-16, Luk 4:18-19, Yoh 17, agar mampu melaksanakan misi Allah yang dijalankan oleh Yesus Kristus, dan dimandatkan kepada setiap orang Kristen. Gereja Tuhan, sebagai persekutuan orang percaya, umat Allah, dan masyarakat gereja, yang dikepalai oleh Yesus Kristus sendiri, mempunyai tugas khusus sebagai saksi Kristus dalam memprakarsai lahirnya masyarakat baru yang berasaskan kebenaran dan keadilan. Masyarakat Kristen berfungsi sebagai terang dan garam dunia. Menjadi orang Kristen berarti siap mengemban misi Kristus, menjadi terang di tengah-tengah kegelapan dan menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia yang bengkok. Istilah "dunia" dapat dihubungkan dengan kejahatan struktural seperti rekayasa politik, kekuasaan, peradilan dan semua bentuk rekayasa yang merugikan masyarakat. Dalam konteks itulah masyarakat Kristen harus menjadi terang dan garam.

Dengan demikian tugas panggilan Gereja dalam bidang politik menjadi jelas yaitu menegakkan keadilan di bumi Indonesia. Hal-hal yang perlu dipikirkan dan diperjuangkan adalah sebagai berikut:

1. Melindungi dan menghargai manusia sebagai ciptaan Allah.
2. Mempromosikan dan menghargai harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah.
3. Mempromosikan dan memperjuangkan persamaan hak manusia.
4. Memperjuangkan hak dan kemerdekaan seseorang untuk memilih dan dipilih.
5. Memperjuangkan hak asasi beribadah dan bersekutu.
6. Berdampingan dengan suku-suku bangsa melaksanakan pembangunan bangsa.
7. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia.
8. Memperjuangkan iklim demokrasi yang sehat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
9. Berjuang untuk mengentaskan kemiskinan melalui perjuangan menegakkan keadilan hukum.

Dalam melaksanakan tugas yang berat seperti ini, Gereja sebagai tubuh Kristus masih mempunyai beban yang berat untuk menata diri sendiri. Keberadaan gereja masih terlalu primordial, egois, eksklusif dan terpecah belah. Masyarakat Kristen belum mampu berpolitik dan berdialog, masih berkompetisi antar denomisasi karena didorong oleh rasa superioritasnya.

Oleh karena itu, Gereja Tuhan juga harus berani dan mampu menilai diri sendiri serta mawas diri dan bertobat sehingga mampu menjadi pelaku Firman Allah secara bertanggung jawab. Gereja sebagai agen Kerajaan Allah harus berjuang keras mewujudkan kebenaran dan keadilan. Sebagai agen pembaru, gereja turut bertanggung jawab menerangi dan memperbarui sistem dan struktur sosial yang sudah terpolusi oleh dosa. Di satu pihak, gereja perlu membenahi diri agar terjadi persekutuan doa persatuan, tetapi di lain pihak, gereja harus turut berjuang membela keadilan, pemerataan ekonomi dan menciptakan kestabilan politik. Dengan prinsip ini, Gereja Tuhan dan masyarakat Kristen tidak akan melakukan tindakan-tindakan korupsi, kolusi, manipulasi, kronisme dan nepotisme.

Banyak tugas dan tanggung jawab orang Kristen untuk membangun bangsa Indonesia. Tinggal dipilih mana yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Dari semua pilihan itu, Salah satu yang utama adalah menegakkan kebenaran dan keadilan, karena bangsa Indonesia sedang dilanda oleh banjir kolusi, manipulasi, dan korupsi. Untuk hal ini diperlukan pisau bedah masalah yang tepat. Pisau bedah masalah yang paling cocok untuk membedah semua persoalan yang sudah kronis dan akut tersebut adalah Firman Tuhan Yesus sendiri yaitu "berikan kepada kaisar yang wajib kamu berikan kepada kaisar, dan berikanlah kepada Allah yang wajib kamu berikan kepada Allah."

Yesus juga tidak mengizinkan para pengikut-Nya melakukan tindakan manipulasi, berkolusi dengan kejahatan, yang hanya akan berakhir pada tindakan korupsi yang akan merugikan masyarakat dan pemerintah. Para penguasa terdorong untuk menyalahgunakan kekuasaan dan wibawa yang menimbulkan kejahatan struktural. Hal ini menjadi kanker ganas yang harus di bedah dan diangkat dari kehidupan bangsa Indonesia, diganti dengan keyakinan yang berlandaskan kebenaran, keadilan, kejujuran dan ketulusan.

Setelah diadakan analisis dan observasi secara matang dan serius tentang semua permasalahan yang sedang terjadi, masalah utama yang menyebabkan bangsa ini tenggelam dalam kebiasaan buruk yang sangat menyedihkan ini adalah ketidakadilan dan ketidakbenaran. Dilihat dari sudut sejarah dan semua peristiwa secara kronologis, dari tahun 1945 sampai tahun 1998, perjuangan mengisi kemerdekaan Indonesia sungguh tidak mudah, bahkan kelihatannya semakin rumit dan kompleks. Namun panggilan Gereja semakin jelas yaitu melaksanakan pelayanan kristiani yang bersifat profetis. Panggilan ini sangat diperlukan bagi pembangunan bangsa yang utuh seperti yang dicita-citakan oleh para leluhur yang telah memberikan jerih dan juangnya untuk kemerdekaan Indonesia.

-----------
Sumber :
- http://ms.wikipedia.org
- http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=889&res=jpz





Banyak orang yang berpandangan minor terutama di era Orba, terhadap okupasi politikus. Pandangan ini wajar- wajar saja, apalagi pada masyarakat grass root. Masyarakat yang pada umumnya sangat awam terhadap masalah ranah politik. Pada masa itu, masyarakat yang berpendidikanpun banyak yang mencibirnya, terutama yang tidak berlatar belakang ilmu politik dan atau yang berpengetahuan ilmu politik. Politik yang dimaksud adalah terutama pada ranah politik praktis atau politik kekuasaan, baik itu ranah kekuasaan eksekutif maupun legislatif, dipandangnya sebagai sesuatu yang kotor, keji, dan penuh tipu muslihat.

Sehingga pada sa’at itu hampir semua kalangan menganggap “haram” bersinggungan dengan apalagi menceburkan diri dalam kubangan politik praktis. Semua menjauhinya. Pemahaman semacam itu ternyata mampu menghipnotis masyarakat. Betapa sangat sulitnya mencari kader partai politik untuk dijadikan pemimpin partai di level desa. Terutama menjelang pemilu, hanya untuk dijadikan saksi di TPS [tempat pemungutan suara], bagai mencari jarum ditumpukan jerami. Banyak orang yang menolaknya.
Sa’at itu pemerintah orba sengaja mendesain kehidupan partai politik terkebiri. Artinya keberadaannya tetap diperlukan, karena sebagai persyaratan negara demokrasi, tapi tidak diinginkannya partai politik itu tumbuh besar secara alami. Almarhum Gusdur mengistilahkan sebagai negara demokrasi seakan-akan. Banyak lembaga demokrasi ; seperti pemilu, DPR, partai politik, tapi budaya demokrasi yang belum ada secara beneran, seperti kebebasan mendirikan partai politik, berbicara, berserikat dan sebagainya. Semuanya terbingkai dalam sketsa desain pemerintah, yang pada substansinya jangan sampai partai politik menjadi “tambun”.

Juga para tokoh agama cukup memberikan andil yang tidak kecil terbonsainya partai politik pada era orba. Kita masih segar dalam memori ingatan, Almarhum Nurcholis Majid seorang cendekiawan muslim yang cukup ke sohor dalam jagat pemikiran islam di Indonesia, pernah memunculkan jargon yang cukup mampu membius terutama masyarakat muslim untuk menjauhi area politik, “Islam yes, partai Islam no”. Beliau menyuruh kita untuk menjauhi area politik terutama partai politik yang berlabel Islam [PPP]. Tapi di sisi lain, beliau menyuruh mendekati Islam hanya dalam ranah non politik.

Kurang tahu persis pemikiran tersebut apakah merupakan “pesanan” dari pemerintah orba?. Atau merupakan hasil ijtihad politik beliau. Penulis menduga bahwa statmentnya yang ia lontarkan ke masyarakat merupakan “pesanan” pemerintah orba. Hal itu bisa ditengarai banyaknya pemikiran beliau yang senada dengan denyut kebijakan pemerintah. Semenjak beliau duduk sebagai Mahasisswa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau hanya bergelut dalam dunia pemikiran, setelah lulus langsung ditarik sebagai pengajar di Almamaterrnya. Tidak pernah beliau menjadi pengurus partai politik, di level manapun, apalagi di DPP partai politik.

Tidak seperti pemikir yang lain, semisal Almarhum Gusdur. Pemikir yang satu ini dalam tulisan-tulisannya baik yang ada di majalah Tempo maupun koran Kompas selalu mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat [keterlibatan beliau di Forum Demokrasi], walau terbingkai dalam sentilan yang penuh humor. Apalagi semenjak jadi PBNU, daya kritisnya semakin menikam.

Jargon Snouk Hugronge
Prof. Snouk Hugronge adalah seorang orientalis berkebangsaan Belanda. Sebelum beliau ditempatkan sebagai penasehat pemerintahan di Hindia Belanda, yang bersangkutan sempat menuntut ilmu keislaman di Arab Saudi dengan mengkamuflase identitas diri dengan nama Abdul Ghafar. Sehingga beliau cukup lancar dalam mencari ilmu, tanpa adanya kendala yang berarti, terutama kendala identitas.

Perang Aceh yang cukup sulit dipadamkan oleh pemerintah Hindia Belanda inilah yang membuat Snouk Hugronge ditempatkan sebagai penasehat pemerintah. Berkobarnya masyarakat Aceh dalam melawan pemerintahan belanda tidak lain karena masyarakat memilki kokohnya nasionalisme syariat Islam di dada mereka. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. “Right or wrong is my country”. Jargon-jargon tersebut sebagai gambaran masyarakat Aceh betapa sengitnya masyarakat Aceh dalam melawan pemerintah Hindia Belanda.


Dalam situasi yang sangat sulit inilah bukan seorang Snouk kalau beliau tidak mampu mengubah paradigma entitas masyarakat Aceh. Beliau mengeluarkan jargon "Politik itu kotor, Islam itu suci”. Para kiyai, ulama, kalian itu orang- orang suci, tugas kalian cukup pembinaan umat di surau-surau, mesjid dan majlis taklim saja. Politik itu kotor, penuh intrik, tipu muslihat, maka janganlan kalian terjun ke dunia politik. Jangan campurkan yang suci dengan yang kotor, maka yang suci tersebut akan menjadi kotor pula. Pergulatan pemikiran yang digelindingkan oleh Snouk Hugronge itu ternyata mampu mengubah paradigma sebagian para elit kita. Sejarah telah mencatatnya bahwa akhirnya perlawanan masyarakat Aceh yang semula sangat sulit untuk dipadamkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang secara tehnik persenjataan jauh lebih hebat dari pada masyarakat Aceh itu sendiri, tapi akhirnya peperangan tersebut mampu dipadamkannya.


Perubahan paradigma tersebut tidak hanya pada masyarakat Aceh, tapi hampir ke seluruh penjuru masyarakat Indonesia. Bahkan semua elit terutama pada masa pemerintahan orba mendukung kebijakan pemerintah, baik mereka yang duduk di lembaga MPR / DPR maupun yang ada di Perguruan Tinggi. Mereka nyaris tak bersuara untuk mengkritisi pemerintah. Bahkan lembaga MPR / DPR hanya berperan tak lebih sebagai setempel kemauan pemerintah. Para elit partai non pemerintahpun [PPP dan PDI] banyak yang sudah terkoptasi oleh maindset pemerintah itu sendiri.

Politikus Sekaligus Negarawan
Profil nabi Muhammad tidak hanya sebagai pemimpin agama saja. Beliau selain sebagai pemimpin agama Islam juga sebagai Panglima Perang, ahli srategi, politikus dan sekaligus sebagai negarawan. Sebagaimana yang dikatakan Sayidatina Aisah beliau adalah istri Nabi, putri sahabat Abu Bakar Assidiq, bahwa ahlak dan pribadi Nabi adalah al-Qur’an. Al-Qur’an tidak hanya berisi petuah-petuah agama yang hanya berbicara berkaitan dengan segala hal yang bersifat sakral transendental saja, tetapi banyak aspek yang dibicarakannya ; seni, ilmu pengetahuan, ketatanegaraan, diplomasi, geografi, matematika dan lain sebagainya. Jadi nabi Muhammad adalah sosok yang multi talenta.

Sebagai sosok yang multi talenta tersebut, beliau sangat piawai dalam membawa masyarakat Madinah tercipta sebagai masyarakat madani (civil society). Masyarakat yang multikultural, multi etnis dan multi keyakinan, tapi mampu terwujud sangat demokratis. Saling toleran antara berbagai keyakinan dan dapat hidup berdampingan dengan berkeadaban yang sangat tinggi.


Dalam masa pemerintahan nabi, pernah lahir produk hukum ketatanegaraan yang sangat elegan dan tanpa adanya pihak yang merasa dipecundangi oleh pihak lain. Golongan mayoritas (muslim) tidak mengkedepankan hak sebagai mayoritas, tapi yang diperlihatkannya adalah kewajiban sebagai warga mayoritas untuk melindungi yang minoritas (yahudi dan nasrani). Begitu pula golongan minoritas tidak memperlihatkannya sebagai minoritas, tapi dalam halkewajiban terhadap negara mereka memperlihatkannya tidak menampakkan sebagai minoritas. Sehingga terwujud dalam suasana saling melindungi diantara sesama. Produk hukum tersebut adalah Piagam Madinah (Madinah Charter).


Beberapa diktum dalam piagam tersebut sangat sarat kepentingan bersama. Semua kelompok komunitas merasa semua terlindungi, terayomi bersama, semua untuk semua. Tidak ada kelompok mayoritas menganggap superioritas yang minoritaspun tidak merasa inverioritas. Itulah jiwa kenegarawan sang pemimpin, yaitu nabi Muhammad. Diktum itu berbunyi “Jika kaum Yahudi maupun Nasrani Madinah diserang atau dijahili oleh pihak lain, maka kaum Muslimin Madinah berkewajiban untuk membantu atau melindungi kaum Yahudi maupun Nasrani Madinah. Begitu pula jika kaum Muslimin Madinah diserang atau dijahili oleh pihak lain, maka kaum Yahudi maupun Nasrani Madinah harus berkewajiban untuk menolong atau melindungi kaum Muslimin Madinah”.


Itulah salah satu bunyi pasal dalam Piagam Madinah, tak sedikitpun nampak warna diskriminasi. Semua kelompok setara dalam hal hak dan kewajiban terhadap negara. Apalagi nuansa “penindasan” diantara kelompok. Sehingga suasana kehidupan dalam bernegara tidak ada saling curiga satu sama lain. Dan akhirnya akan lahir suasana keharmonisan walau dalam keperbedaan. Bak pelangi, keindahannya karena keanekawarna yang terpagut dalam satu untaian kebersamaan.


Jika kita mau komit, sebagaimana yang sering kita dengar dalam berbagai kotbah, bahwa nabi Muhammad itu uswatun khasanah dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek agama, sosial budaya, ekonomi maupun politik, tentu aspek kehidupan yang kita arungi tidak akan seperti sekarang ini. Munculnya kehidupan kita yang carut marut, karena berbagai macam ego. Apakah ego sektoral, kelompok maupun agama.


Pernah Mohamad Abduh mengatakan, “saya tidak melihat islam di Mesir, tapi saya melihat Islam di Perancis”. Secara realita banyak pemerintahan yang berlabel agama Islam, tapi pelaksanaan pemerintahannya jauh dari nilai-nilai Islam. Dikebirinya nilai demokrasi, penindasan terhadap HAM, keadilan sosial, menelantarkan hak politik rakyat. Kita bisa menyaksikan akhir-akhir ini banyak rakyat di negara-negara yang nota bene negara Islam melakukan pemberontakan terhadap pemerintahannya sendiri, seperti Mesir, Libia, Yaman, Syria dan lain sebagainya.

Pemerintahan di negara-negara tersebut dirasa betul apa yang dikemukakan oleh Mohamad Abduh. Islam hanya sebagai kedok untuk meraih simpati rakyat, sedangkan dalam ranah aplikasinya jauh panggang dari api. Artinya pemerintahan tersebut masih menggunakan cara yang tidak transparan, sehingga menyuburkan rasa curiga rakyat terhadap pemerintahannya.


Jika kecurigaan itu muncul dalam kehidupan bernegara, maka itu merupakan benih yang dikemudian hari akan menjelma badai yang mampu memorakporandakan bangunan ketentraman. Ketidakpercayaan diantara kelompok  tidak hanya memunculkan saling berhubungannya permasalahan, tapi semakin membenangkusutkan problema bangsa. Dimana semakin hari malah semakin jauh dari mimpi indah. Apalagi memasuki pintu gerbang Baldatun toyyibatun warobbun ghofur (negara yang adil dan makmur, yang diberkati serta diampuni Allah).

Masih jauhkah?.


SEMOGA KUTIPAN INI BERMANFAAT BAGI YANG MEMBACANYA.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar