Ritual Sarilala, Bangkitnya Ritual Orang Gunung
Hanya beberapa hari setelah letusan gunung Sinabung pada Agustus 2010, para guru si baso disibukkan dengan berbagai upacara. Guru si baso didaulat menjadi medium untuk meminta kepada roh leluhur dan memimpin ritual pemberian sesaji berupa rokok, bunga, dan hasil bumi. Puluhan warga lalu berduyun-duyun menuju jambur, tempat mereka menari-nari diiringi gendang. Aparat desa pun turut serta dalam ritual tersebut.
Ritual Sarilala atau tolak bala hampir dilakukan sepanjang tahun. Warga biasanya segera mengadakan ritual jika merasa menemukan keganjilan. Seperti yang pernah terjadi di Desa Guru Kinayan, pertengahan Juli 2011. Beberapa warga mengaku melihat sarilala, semacam bola api, melintasi desa mereka.
Khawatir terjadi musibah, terutama karena gunung meletus, warga menaruh sesaji di tempat keramat, seperti sumber air, pohon besar, dan makam kuno. Ritual Sarilala ini juga diadakan di dekat danau Lau Kawar yang berada persis di kaki Sinabung dan di Desa Kuta Rakyat, Kecamatan Naman Teran. Seekor kambing putih dan lembu dilepaskan di kaki gunung sebagai persembahan.
Sebelum letusan Sinabung, ritual tradisional sulit ditemui. Rita Smith Kipp, antropolog dari Kenyon College, dalam bukunya, Dissociated Identities Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesian Society, 1993, menulis, ritual skala besar mulai jarangdijumpai di Karo sejak 1970-an. Redupnya ritual Sarilala ini, menurut Rita, tak lepas dari kian banyaknya orang Karo yang memeluk agama formal.
Memudar bukan berarti hilang. Antropolog dari Universitas Sumatera Utara, Sri Alem Sembiring, yang telah sejak lama mengamati peran guru si baso sebagai penjaga tradisi mengatakan bahwa, masyarakat memang jarang mengadakan upacara tetapi kelompok tabib dan guru tetap rutin melakukan ritual di tempat keramat.
Namun, Sri Alem menangkap perbedaan ritual yang dilakukan sebelum dan sesudah letusan. Sebelum letusan, ritual tidak khusus ditujukan atau terkait gunung. Alasannya, selama ratusan tahun Sinabung tidak pernah meletus sehingga masyarakat tidak lagi memiliki memori yang menakutkan terhadap gunung.
Ketika Sinabung meletus, berbagai ritual yang dasarnya pemberian sesaji alias ercibal untuk tolak bala itu difokuskan ke Sinabung. Ritual-ritual ini dipimpin guru si baso yang menjadi penghubung antara warga dan roh. Guru diyakini memiliki pengetahuan tentang alam semesta yang berasal dari Yang Kuasa. Mereka juga berfungsi sebagai biak penungkunen, tempat meminta penjelasan dan sehat atas peristiwa aneh yang dialami.
Di sisi lain, warga mengalami krisis kepercayaan terhadap ilmuwan dan pemerintah, yang dianggap gagal memperingatkan soal letusan Sinabung, yang tiba-tiba terjadi. Dalam rilisan kompas.com (14/10/2011), Sri Alem Sembiring mengatakan bahwa, masyarakat berpikir, geolog saja bisa keliru. Itu berarti ada rahasia yang tak terungkap. Warga kemudian memilih pasrah dan menyerahkan ”rahasia alam” itu kepada guru si baso. Kepasrahan dan ritual ini menjadi perlindungan dari segala kerumitan fenomena alam yang tak terjelaskan.
Foto: foto.soup.io
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar