Balaikota Medan yang terletak di depan Lapangan Merdeka Medan kini sering disebut sebagai titik nol Kota Medan. Letaknya yang tepat di jantung Kota Medan menjadikannya sebagai landmark kota ini.
Tapak tanah tempat berdirinya Balaikota Medan sekarang, merupakan lahan hutan dibuka pertama kalinya oleh Guru Patimpus, 1 Juli 1590 yang dikenal sebagai areal “Kampung Medan”. Kemudian mengapa lapangan yang berada di seberang bangunan balaikota dinamakan Lapangan Benteng, juga mengapa adanya keberadaan Wisma Benteng?
Karena memang di areal delta tempat bertemunya dua aliran sungai, yakni Sungai Deli dan Sungai Babura, dulunya oleh Belanda dibangun benteng (loji).Tapak tanah tempat berdirinya Balaikota Medan sekarang, merupakan lahan hutan dibuka pertama kalinya oleh Guru Patimpus, 1 Juli 1590 yang dikenal sebagai areal “Kampung Medan”. Kemudian mengapa lapangan yang berada di seberang bangunan balaikota dinamakan Lapangan Benteng, juga mengapa adanya keberadaan Wisma Benteng?
Bangunan benteng dengan bagian depan menghadap ke jembatan Jalan Raden Saleh – sekarang menjadi bagian dari pasar swalayan Grand Palladium.Terakhir ba-ngunan benteng ini dikelola bagian Peralatan Daerah Militer (Paldam) Bukit Barisan hingga tahun 1960-an. SZedangkan di tapak tanah Balaikota Medan sekarang, dulunya merupakan gedung Dinas Kesehatan Daerah Militer (Diskesdam) Bukit Barisan. Semen-tara di bagian belakangnya, hingga ke pinggiran delta dua aliran sungai kompleks perumahan perwira menengah (Pamen).
Pada bagian dalam bangunan benteng (loji) sekarang, menjadi bangunan Wisma Bednteng – sebagai pengganti Balai Prajurit yang sekarang Bank Central Asia (BCA) di Jalan Bukit Barisan depan Kantor Pos Besar Medan mengarah ke stasiun. Sedangkan di bagian dalam benteng dulunya menjadi komunitas hunian warga Maluku asal Ambon yang diduga sebelumnya mereka anggota KNIL Belanda.
Itu sebabnya, di sekitar Lapangan Benteng hingvga akhir tahun 1960-an meru-pakan komunitas militer. Di sudut Jalan Kejaksaan dan Jalan Maulana Lubis pernah menjadi markas Corps Polisi Militer (CPM) yang kemudian pindah ke Jalan Jenderal Soeprapto. Pada bagian belakangnya kantgor MKomando Distrikl Militer (Kodim) yang semula adalah Pusat Pendidikan Administrasi dari Korps Keuangan Dam Bukit Barisan.
Sebelumnya Kodim berada di bagian depan Perguruan Immanuel sekarang, Jalan Imam Bonjol – Jalan Jenderal Soeprapto–Jalan Cut Nyak Dhien.
Sedangkan Pusat Pendidikan Administrasi dari Korps Keuangan Dam Bukit Barisan sebelumnya menempati gedung yang kemudian menjadi Sekolah Hakim dan Jaksa (SHD), Jalan Imam Bonjol dan kini menjadi bagian lapangan parkir dari Hotel Danau Toba International (HDTI).
Pada areal bangunan benteng mau pun Lapangan Benteng, jelas merupakan kompleks militer peninggalan Belanda, tidak terkecuali di tapak tanah gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DRD) Sumatera Utara, dulunya merupakan asrama prajurit dan beberapa rumah gedung di sebelah kirinya, dihuni perwira komandannya.
Begitu juga dengan barisan rumah toko (Ruko) di Jalan Raden Saleh, sebelumnya merupakan bangunan rumah terbuat dari kayu/papan, di kiri/kanan dan depan bangunan dikelilingi halaman yang luas. Bangunan rumah tersebut, merupakan hunian perwira Kodam Bukit Barisan.
Terdapat ruas jalan dari Jalan Raden Saleh menuju ke ruas Jalan Ahmad Yani VII, sebelumnya Jalan Kebudayaan, yakni Jalan Mayor yang merupakan jenjang kepangkatan disandang Tjong A Fie warga turunan Tionghoa yang dipercaya Belanda menjadi pimpinan etnisnya. Jenjang kepangkatan Tjong A Fie bermula dengan Jalan Letnan (sekarang Jalan Bandung) di kawasan Pecinan (China Town) dan Jalan Kapten, berganti nama men-jadi Jalan Pandu dan terakhir Jalan Hj. Ani Idrus.
Dipercaya, pemerintahan Hindia Belanda dengan andalan kekuatan militer, terpusat di seputar Jalan Diponegoro, sebelumnya bernama Jalan Yogya dan sewaktu za-man Belanda dinamakan “Manggaland Straat” – karena di sepanjang jalan tersebut tumbuh subur dan berbuah mangga. Kemudian Jalan Imam Bonjol, dulunya Jalan Jakarta.
Di seberang jalan bangunan benteng arah ke Petisah, dihubungkan dengan jembatan lengkung yang unik dan khas, memasuki Jalan Gatot Subroto dan persimpangan Jalan S. Parman, dulunya terdapat pasar kecil yang dinamakan “Pajak Bundar”, karena bentuknya memang bundar dan kini menjadi taman bunga dan air mancur serta dihiasi patung Guru Patimpus sebagai pendiri “Kampung Medan” yang kelak menjadi cikal bakal ibukota Provinsi Sumatera Utara ini sebagai kota metropolitan.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar