Ritual-ritual Bid’ah Yang Masih Dikerjakan Oleh Kebanyakan Imam Mesjid

Bookmark and Share
Tahlilan : Pandangan Sunan Ampel Terhadap Tahlillan

Mengapa masjid ampel setiap malam jum’at imam masjidnya setelah dzikir-dzikir, kemudian dilanjutkan baca tahlillan, apakah mereka tidak membaca sejarah sang wali tersebut ? Hal ini juga sering kita jumpai dimasjid-masjid ahli bid’ah didalamnya mengadakan tahlilan setiap malam Jum`at dan setelah Isya`diselenggarakan dibaan.

Mari kita renungkan ucapan beliau kepada Sunan Kalijogo yang mengadakan tahlilan, katanya: ”Jangan diteruskan perbuatan semacam itu karena termasuk bid`ah.” Sunan Kalijogo menjawab, ”Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu.” Kisah ini disebutkan dalam sebuah buku tentang Islam di Indonesia yang tersimpan di sebuah museum di negeri Belanda.[1] Dalam pandangan Sunan Kalijogo masyarakat saat itu belum memahami tentang Islam dengan baik, masih kuat dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Karena itu kemudian diadakan kumpulan sebagaimana kebiasaan masyarakat sebelumnya yaitu kumpulan peringatan hari kematian, hanya saja isinya berupa dzikir tahlil dan doa-doa dari ajaran Islam. Walaupun demikian Sunan Ampel tetap tidak setuju, karena perbuatan semacam ini termasuk bid`ah[2].

Jadi tahlilan itu diadakan untuk mengikuti budaya kumpulan masyarakat Hindu setelah ada kematian, hanya saja diisi dengan tahlilan. Kemudian dikenal secara luas dengan sebutan tahlilan, asal acaranya menjadi tenggelam padahal inilah inti dari acara tersebut yakni melakukan peringatan atas kematian seseorang. Hal ini bisa dikatakan termasuk menyerupai dengan non-Muslim. Kita tidak diperkenankan melakukan hal semacam itu. Dalam suatu hadits dijelaskan,


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa  menyerupai suatu kaum, maka termasuk dalam golongan mereka.”[3]
”Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dholim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kalikamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah SWT, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”[4]
 
Sama saja seperti halnya dengan mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, hari ulang tahun kelahiran yang diisi dengan tahlilan, dibaan, shlawat, kasidah shalawat bermusik, haul mbah buyut sesepuh desa, kyai pengasuh pondok pesantren, habib, dan lain-lain. Seluruhnya sekadar menjiplak  kultur orang-orang kafir yang dilarang. Rosulullah bersabda :

“Sungguh kalian akan mengikuti  perilaku bangsa sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga mereka masuk ke lubang biawak pun kalian akan tetap mengikutinya. Kami berkata, ‘Wahai   Rosulullah!  Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?’  Rasul  menjawab, ‘Siapa lagi ‘.[5] 


Tuntunan Islam tentang keluarga yang mengalami kematian adalah menghibur dan membesarkan hati agar tabah, sabar, dan tawakal kepada Sang Pencipta kehidupan dan kematian (Allah). Orang yang sedang mengalami duka karena kematian kerabatnya memerlukan kalimat ta`ziyah dari kawan yang muslim, sebagaimana dikisahkan dalam hadits sebagai berikut. Ibnu Qurah berkata,

كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ يَجْلِسُ إِلَيْهِ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ وَفِيهِمْ رَجُلٌ لَهُ ابْنٌ صَغِيرٌ يَأْتِيهِ مِنْ خَلْفِ ظَهْرِهِ فَيُقْعِدُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَهَلَكَ فَامْتَنَعَ الرَّجُلُ أَنْ يَحْضُرَ الْحَلْقَةَ لِذِكْرِ ابْنِهِ فَحَزِنَ عَلَيْهِ فَفَقَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَالِي لاَ أَرَى فُلاَنًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ بُنَيُّهُ الَّذِي رَأَيْتَهُ هَلَكَ فَلَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّىالله عليه وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ بُنَيِّهِ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ هَلَكَ فَعَزَّاهُ عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ يَا فُلاَنُ أَيُّمَا كَانَ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَنْ تَمَتَّعَ بِهِ عُمُرَكَ أَوْ لاَ تَأْتِي غَدًا إِلَى بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ إِلاَّ وَجَدْتَهُ قَدْ سَبَقَكَ إِلَيْهِ يَفْتَحُهُ لَكَ قَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ بَلْ يَسْبِقُنِي إِلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَيَفْتَحُهَا لِي لَهُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ قَالَ فَذَاكَ لَكَ *

“Biasa bila Nabi sedang duduk maka sebagian sahabatnya turut mendampingi beliau. Di antara mereka ada seorang pria yang mempunyai seorang anak lelaki yang masih kecil yang sering ikut datang bersama bapaknya, biasanya kemudian didudukan di pangkuannya. Suatu saat anak itu kemudian meninggal dunia. Akibat kematian anaknya, pria tersebut kemudian merasa enggan untuk menghadiri majelis Rosulullah,  karena merasa sedih selalu terbayang-bayang mendiang anaknya. Nabi Muhammad SAW kemudian merasa tidak melihat pria tersebut, lalu  bertanya, ’Mengapa aku tidak melihat si fulan?’

Mereka menjawab, ‘Wahai Rosulullah! Anaknya yang pernah Anda lihat itu telah meninggal dunia’.

Lantas  Rosulullah  menemui pria tersebut untuk kemudian menanyakan tentang anak itu. Pria tersebut memberitahukan bahwa anaknya telah meninggal dunia. Rosulullah  pun kemudian menyampaikan kalimat yang menghiburnya. Beliau bersabda, ’Wahai fulan! Manakah yang kamu sukai, kamu bisa melihat anak semasa hidupmu atau kelak kamu mendatangi salah satu pintu surga sementara anakmu telah menunggu untuk membukakan pintu bagimu.’

Dia berkata, ’Wahai Nabi! Aku lebih suka jika dia mendahuluiku ke surga lalu membukakan pintunya untukku.’ Rosulullah bersabda, ’Itulah  hakmu’.”[6]

Sementara tahlilan, apalagi yang dilangsungkan selama tujuh hari berturut-turut, justru akan memberatkan dan merepotkan keluarga mayat. Bagaimana tidak karena mereka dituntut untuk menyediakan berbagai hidangan bagi orang yang melakukan tahlilan. Perkumpulan semacam ini pun merupakan niyahah (meratap) yang akan mengingatkan kepada kesedihan. Ini jelas tidak manusiawi, karena bukan menghibur namun menambah kesedihan dan kerepotan.[7]

Muktamar NU ke-1 di Surabaya  tanggal 13 Rabi`uts Tsani 1345 Hijriyah / 21 Oktober 1926 Masehi mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan setelah kematian adalah bid`ah yang hina namun tidak sampai diharamkan.

Mantan rektor al-Azhar Syaikh Mahmud Syaltut  menyatakannya haram.[8] Syaikh Ahmad al-Syirbashi menyatakan bahwa selamatan adalah bid`ah.[9]

Mungkin orang akan bertanya, Tahlil kok dilarang, berarti melarang perintah Rosulullah!!! Bukankah beliau mendorong umatnya untuk mengucapkan tahlil?!” Sekilas kalimat ini benar, tetapi bukankah tahlilan tidak sama dengan tahlil? Tahlil adalah mengucapkan kalimat tauhid, la ilaha illallah. Sementara tahlilan adalah melakukan tahlil khusus untuk acara tertentu, dengan cara tertentu secara berjama’ah kemudian pahalanya dihadiahkan untuk orang tertentu.

Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Muhammad al-Syaukani berikut ini :

”Kebiasaan di sebagian negara mengenai pertemuan di masjid, rumah atau di kubur untuk membaca al Quran yang pahalanya dihadiakan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara zhahir) dari syariat. Kegiataan melaksanakan majelis itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharam fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca al Quran atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca al Quran atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits sahih seperti: ”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu.” Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin itu dilakukan bersam-sama di dekat mayat atau di atas kuburnya, dan membaca al Quran secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.” (Ar Rasail al Salafiyah, 46).[10] 

Mari kita kaji bersama, tentang pernyataan dari al-Imam Muhammad al-Syaukani tersebut.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Suyuthi, salah satu ulama dari madzhab Syafi’i, menyatakan :

لمِاَ تَقَرَّرَ فِى مَذْهَبِنَا – الشَّافِعِيَّةِ – مِنْ أَنَّ ثَوَابَ اْلقِرَاءَةِ لِلْقَارِىءِ لاَ لِلْمَقْرُوْءِ لَهُ

“...Karena menurut ketetapan dalam madzhab kami, Syafi’iyah, bahwa pahala dari membaca [al-Quran] adalah untuk pembacanya bukan  untuk yang diberi bacaan.”[11]

Pendapat Imam Syafi’i, sebagaimana diwakili oleh Imam Nawawi, disebutkannya dalam kitabnya, Syarah Muslim :

“Menurut  pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i tentang bacaan al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat) ialah bahwa amalan tersebut tidak akan sampai kepada mayat.  Sebagai dalilnya, Imam Syafi’i dan para pengikutnya mengambil dari firman Allah  “Dan seseorang itu tidak akan memperoleh melainkan pahala dari daya usahanya sendiri.”

Dalam sebuah sabda Nabi, “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amal usahanya kecuali tiga daripada amalnya, sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak (lelaki atau perempuan) shaleh yang mendoakannya.”[12]

Imam Nawawi di dalam kitab  Majmu’, Syarah Muhadzdzab mengatakan :  “Membaca al-Quran dan mengirimkan pahalanya untuk orang  mati dan menggantikan sembahyang untuk seseorang yang mati atau sesamanya adalah tidak sampai kepada mayat yang dikirimkan menurut jumhur ulama dan Imam Syafi’i.  Keterangan ini telah diulang beberapa kali oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim.”[13]

Al-Haitami, salah satu tokoh fikih Madzhab Syafi`i, di dalam kitabnya, Al-Fatawa al-Kubrå al-Fiqhiyyah, berkata, “Tidak boleh membaca suatu bacaan untuk mayat berdasarkan keterangan yang umum dari ulama mutaqaddimin (terdahulu) yaitu pahala bacaan-bacaan yang dikirimkan kepada si mati adalah tidak akan sampai kepadanya karena pahala bacaan tersebut milik orang yang membaca tersebut. Pahala orang yang beramal tidak bisa dipindahkan kepada orang lain berdasarkan sebuah firman AllåhI yang berbunyi, “Dan manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri.”[14]

Imam Muzani, di dalam Hamisy al-Umm, juga berkata: “Rosulullah SAW telah memberitahukan sebagaimana yang telah diberitakan dari Allåh I bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya suatu amal yang telah dikerjakan adalah hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain, dan ini tidak dapat dikirimkan kepada orang lain.”[15]

Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan, “Dan yang masyhur di dalam madzhab Syafi’i adalah: bahwa bacaan al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat) adalah tidak dapat sampai kepada mayat.”[16]

Di dalam tafsir Jalalain disebutkan seperti berikut, “Maka seseorang tidak akan memperoleh pahala sedikit pun dari hasil usaha orang lain.”[17]

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya terhadap surah al-Najm ayat 39 mengatakan : ”Sebagaimana dosa seseorang tidak bisa menimpa orang lain, begitu juga seseorang  tidak mendapat pahala melainkan dari amalannya sendiri. Dari ayat ini pula Imam Syafi’i y dan para ulama yang mengikutinya telah mengambil kesimpulan bahwa pahala bacaan al-Quran yang dikirimkan kepada mayat adalah tidak akan sampai kepadanya karena amalan tersebut bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh sebab itu, Rosulullah tidak pernah menganjurkan umatnya transfer / pengiriman pahala baik secara nas hadits atau dengan isyarat.”[18]

Di dalam kitab fikih I’anatut Thalibin terdapat keterangan : ”Berkumpul di keluarga mayat dengan banyak hidangan  termasuk bid’ah munkarat (bid’ah yang diingkari agama).  Bagi orang yang memberantasnya akan diberi pahala.”[19]

Imam Syafi’i sendiri tidak menyukai  berkumpul di rumah  kematian sebagaimana yang telah dikemukakan di dalam kitab al-Umm,  “Aku tidak suka berkumpul (di rumah keluarga mayat) meskipun di situ tiada tangisan sebab akan  menimbulkan kesedihan.”[20]

Ada  hadits riwayat  Jarir  yang berkata, “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian yang menghidangkan makanan untuk jamuan  adalah sama dengan meratapi mayat, yaitu haram.”[21]

Pengarang kitab I’anatut Thalibin mengambil keterangan sahih di dalam kitab Bazzaziyah, : “Termasuk perkara yang dibenci: Menyelenggarakan jamuan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan  makanan ke tanah kubur pada waktu musiman.”[22]

Di dalam kitab fikih Mughnil Muhtaj terdapat keterangan, ”Keluarga kematian yang menyediakan makanan dan orang–orang sama berkumpul di rumahnya untuk menjamu, merupakan bid’ah yang tidak disunatkan, dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits yang shåhih daripada Jarir bin Abdullåh, berkata, “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat), yaitu haram.”[23]

Sementara itu dalam kitab fikih Hasyiyatul Qalyubi ada keterangan sebagai berikut : ”Syaikh al-Ramli berkata, ’Di antara bid’ah yang munkarat (yang tidak dibenarkan agama), yang dibenci apabila diamalkan sebagaimana  yang telah diterangkan di dalam kitab Al-Raudhah, yaitu  “kifarah” dan hidangan makanan yang disediakan oleh tuan rumah kematian untuk jamuan orang  yang berkumpul di rumahnya, sama saja dilangsungkan sebelum atau sesudah kematian,  serta penyembelihan di tanah kubur.”[24]

Pengarang kitab I’anatut Thålibin mengambil keterangan  di dalam kitab Al-Jamal Syarh al-Minhaj yang berbunyi seperti  berikut :  “Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat  jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua  itu adalah haram.”[25]

Selanjutnya, pengarang kitab tersebut juga mengambil lagi keterangan dari kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj yang  berbunyi,  “Sesuatu yang sangat dibiasakan oleh seseorang dengan menghidangkan makanan untuk mengundang orang ramai ke rumah keluarga kematian  merupakan bid’ah yang dibenci sebab ada hadits yang telah  diriwayatkan oleh Jarir  yang berkata, ’Kami (para sahabat nabi) menganggap bahwa berkumpul di rumah  keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk  majelis itu adalah sama dengan hukum niyahah, yaitu haram.”[26]

Pengarang kitab tersebut mengambil lagi fatwa dari mufti madzhab Syafi’i, Ahmad Zaini bin Dahlan, ”Dan tidak ada keraguan sedikit pun bahwa mencegah umat dari perkara bid’ah munkarat ini sama seperti halnya menghidupkan sunnah  nabi r.  Mematikan bid’ah seolah-olah  membuka pintu kebaikan seluas-luasnya dan menutup pintu keburukan serapat-rapatnya karena orang lebih suka memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada sesuatu yang haram.”[27]

Di dalam kitab Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah ada keterangan : ”Dan di antara bid’ah yang dibenci agama ialah sesuatu yang dibuat  oleh individu, yaitu menyembelih hewan-hewan di tanah kubur tempat  mayat ditanam dan menyediakan hidangan makanan  yang diperuntukkan  bagi mereka yang datang berta’ziah.”[28]

Riwayat lain menerangkan : Bahwa Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya. ”Adakah mayit kalian diratapi?’ Dia menjawab, ’Tidak!’ Lalu ditanya juga,

’Adakah orang-orang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan?’ Dia menjawab, ’Ya!’ Maka Umar  berkata, ’Yang demikian adalah ratapan.”[29]

Diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2 halaman 145-146 , bahwa fatwa-fatwa dari mufti-mufti Makkah dari empat madzhab menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah mungkar. Di antaranya:

Fatwa dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’i berkata :

”Ya, perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang yang berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian dan menyediakan makanan adalah perbuatan bid’ah munkarah dan penguasa yang mencegahnya akan mendapatkan pahala”.

Fatwa dari Mufti Madzhab Hanafi, ”Ya, penguasa akan diberi pahala karena melarang manusia dari perbuatan bid’ah.”

Setelah kita kajih ternyata pernyataan al-Imam Muhammad al-Syaukani (Ar Rasail al Salafiyah, 46).[30] sangat bertentangan sekali dengan pandangan Imam Syafi’i sendiri tentang masalah menghadiahkan bacaan kepada orang yang sudah meninggal. Karena di kalangan masyarakat kita banyak yang mengaku sebagai pengikut Imam Syafi’i dalam masalah fikih. Sementara salah satu tradisi mereka adalah menghadiahkan bacaan al-Quran kepada leluhur yang sudah meninggal.

Namun sekali lagi pandangan Imam Syafi’i tentang masalah menghadiahkan bacaan kepada orang yang sudah meninggal, sangat berbeda dengan al-Imam muhammd al-Syaukani dan kyai-kyai NU.

Kemudian dalam Ar Rasail al Salafiyahnya, al-Imam Muhammad al-Syaukani juga mengatakan ,”Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits sahih seperti: ”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu.” Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin itu dilakukan bersam-sama di dekat mayat atau di atas kuburnya, dan membaca al-Quran secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.” (Ar Rasail al Salafiyah, 46)[31] 

Mari kita kaji kembali hadits yang disampaikan oleh al-Imam Muhammad al-Syaukani tersebut.

Sebagian orang yang membaca surat Yasin untuk mayat ada yang mendasarkan pada sebuah hadits Sebagai berikut : 

اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ 

Bacakan Surat Yasin kepada orang–orang  matimu.[32]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Nasai yang disahihkan oleh Ibnu Hibban, tapi dilemahkan oleh Ibnul Qåtthån karena kacau redaksinya, keadaan perawi Abu Utsman yang tak dikenal, begitu juga ayahnya. Ibnul Madini mendukungnya. Daråquthni berkata, ”Hadits tersebut lemah, lafalnya tidak dikenal, tiada hadits sahih dalam masalah ini.”[33]

 
Pendapat yang terkenal dari Imam Syafi’i dan ulama` madzhab Maliki adalah bahwa pahala membaca  al-Quran  tidak akan sampai kepada mayat. Periksa tentang hal ini dalam Al-Syarhul Kabir.[34]

Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad sebagai berikut: 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَكِّيٍّ الْمَرْوَزِيُّ الْمَعْنَى قَالاَ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ الْعَلاَءِ

Abu Dawud berkata, “Bercerita kepada kami Muhammad bin al-Ala` bahwa Muhammad bin Makki al-Maruzi al-Ma`na berkata, ‘Bercerita kepada kami Ibnul Mubaråk dari Sulaiman al-Taimi dari Abu Utsman, bukan al-Nahdi, dari ayahnya dari Ma`qil bin Yasar berkata, ‘Råsulullåh r bersabda, ‘Bacalah surat Yasin untuk mayatmu.“

Inilah hadits dengan redaksi dari Ibnul Ala`.[35]

Komentar penulis: Nama ayah Abu Utsman tidak dikenal.

Menurut ensiklopedi perawi-perawi hadits, Abu Utsman dari ayahnya tidak pernah meriwayatkan hadits dari Ma`qil bin Yasar.[36]

Bahkan Ibnul Qatthan di muka menyatakan bahwa Abu Utsman tidak dikenal. Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits tersebut pada hadits nomor 1448, tapi nisbahnya juga perawi Abu Utsman dari ayahnya seperti riwayat Abu Dawud.

Imam al-Hakim berkata, :

أَوْقَفَهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ وَغَيْرُهُ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِي

“Hadits tersebut dinyatakan mauquf oleh Yahya bin Said dan lainnya dari Sulaiman Al-Taimi.”

Komentar penulis: Jadi menurut beliau bukan hadits dari Nabi  tapi perkataan Sulaiman Al-Taimi.[37]

Bacalah Yasin untuk mayat–mayatmu!”[38]
      
Hadits tersebut derajatnya sangat lemah karena terdapat perawi yang bernama Amir, ketika di akhir usia hafalannya menjadi kabur. Ada juga seorang lelaki dan ayahnya yang tidak disebutkan namanya sehingga sulit diketahui identitasnya. Lihat redaksinya dengan riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah sangat berbeda.  Dalam riwayat Imam Ahmad banyak tambahan, padahal sama-sama bersumber dari Ma`qil bin Yasar. Imam Muslim, Bukhåri, dan Tirmidzi sama sekali tidak meriwayatkannya. Jadi mereka tidak mengenal kebiasann membacakan surat Yasin untuk orang mati.

وَذَكَرَ الآجُرِي مِنْ حَدِيْثِ أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا مِنْ مَيِّتٍ يُقْرَأُ عَلَيْهِ سُوْرَةُ يَسٍ إِلّاَ هَوَّنَ الله عَلَيْهِ
 
Imam al-Ajuri menyebutkan hadits dari Ummud Darda` dari Nabi ,  bersabda,  “Setiap mayat yang dibacakan surat Yasin maka siksaannya akan diringankan.”[39]

Abu Syuja` Syairawih bin Syahardar bin Syairawih al-Dailami al-Hamdzani  meriwayatkan hadits tersebut bukan dari Ummud Darda` (ibu darda) tapi dari Abu Darda sebagai berikut:

أََبوُ الدَّرْدَاءِ  مَا مِنْ مَيّتٍ يَمُوْتُ فَتُقْرَأُ عِنْدَهُ سُوْرَةُ يسٍ إلاَ  هَوَّنَ الله  عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ 

“Setiap mayat yang meninggal dunia, lalu dibacakan surat Yasin maka Allåh ‘azza wajal meringankan siksaan kepadanya.”[40]

Komentar penulis : Al-Qurthubi dan Abu Syuja` menyampaikan hadits tersebut tanpa sanad juga tanpa ada komentar dari imam ahli hadits yang mentakhrijnya, apakah menganggapnya sebagai sahih atau melemahkannya. Ia juga dicantumkan di dalam Syarah Ibnu Majah tanpa sanad.[41]

Imam Ahmad berkata,”Pengarang kitab Al-Firdaus menyebutkan sanad hadits tersebut sebagai berikut:

Dari jalur Marwan bin Salim dari Shafwan bin Amar dari Syuraih dari Abud Darda` dan Abu Dzar berkata, Rosulullah bersabda :

Komentar penulis : Sanad tersebut lemah sekali karena terdapat perawi bernama Syuraih yang terpercaya tapi sering memursalkan hadits

سُئِلَ مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ: هَلْ سَمِعَ شُرَيْحٌ بْنُ عُبَيْدٍ مِنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ ؟ فَقَالَ:  لاَ . قِيْلَ لَهُ: فَسَمِعَ مِنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِى صلى الله عليه وسلم ؟ قاَلَ: ماَ أَظُنُّ  ذَلِكَ ، وَ ذَلِكَ أَنَّهُ لاَ يَقُوْلُ فِى شَىْءٍ مِنْ ذَلِكَ سَمِعْتُ ، وَ هُوَ ثِقَةٌ


Muhammad bin Auf ditanya, “Apakah Syuraih pernah mendengar hadits dari Abud Darda`?’

Beliau menjawab, ‘Tidak pernah.’

Dikatakan kepadanya, ’Dia mendengar hadits dari salah satu sahabat Nabi?’

Muhammad bin Auf menjawab, ’Kukira tidak, sebab beliau sendiri tidak pernah bilang aku mendengar .... Orang ini memang terpercaya.”[42]

Ditemukan juga perawi lemah yang lain yaitu Marwan bin Salim, identitasnya sebagai berikut :

مَرْتَبَتُهُ عِنْدَ ابْنِ حَجَرَ: مَتْرُوْكٌ وَ رَمَاهُ السَّاجِى وَ غَيْرُهُ بِالْوَضْعِ

Martabatnya menurut Ibnu Hajar, “Dia adalah perawi yang ditinggalkan, al-Saji dan lainnya menyatakan dia pemalsu hadits.”

مَرْتَبَتُهُ عِنْدَ الذَّهَبـِي: قَالَ الْبخَارِى وَ مُسْلِمٌ: مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ ، وَ قَالَ
النَّسَائِى: مَتْرُوْكٌ

Martabatnya menurut al-Dzahabi adalah bahwa Imam Bukhåri dan Muslim berkata, “Marwan bin Salim haditsnya mungkar.” Imam Nasai menyatakan, ”Dia ditinggalkan haditsnya.”[43]


Jadi hadits tersebut boleh dikatakan palsu. Karena itu seluruh penyusun kutubut tis`ah  tidak mencantumkannya dalam kitab mereka, bahkan kebanyakan pengarang kitab hadits tidak mencantumkannya. Dan yang menyampaikan sanadnya sepengetahuan kami hanya penyusun kitab Al-Firdaus.

Ada hadits lagi sebagai berikut :

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمْعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا يَسٍ غُفِرَ لَهُ
بِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ مِنْهَا

“Barangsiapa yang berziarah ke kuburan dua orang tuanya di setiap Jumat, lalu membaca Yasin di situ, maka dosanya akan diampuni sejumlah tiap hurufnya.”[44]

Komentar penulis : Pengarang Syarah Ibnu Majah menyampaikan hadits tersebut tanpa menuturkan sanadnya dan tanpa komentar sahih atau lemah, lalu bagaimanakah bila lemah lantas diajarkan kepada orang.

Dalam kitab Faidhul Qodir dijelaskan sebagai berikut :

وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ وَكُتِبَ بَرًّا بِوَالِدَيْهِ

“Ada tambahan dalam suatu riwayat : Dia ditulis sebagai orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya.”[45]
 
Abdurrauf al-Munawi berkata,:

قَالَ ابْنُ عَدِي هَذَا الْحَدِيْثُ بِهَذاَ الْإِسْنَادِ بَاطِلٌ وَعَمْرٌو مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ اه
وَمِنْ ثَمَّ اِتَّجَهَ حُكْمُ ابْنِ الْجَوْزِي عَلَيْهِ بِالْوَضْعِ بِالْإِجْمَاعِ

Ibnu Adi berkata, ”Hadits tersebut dengan sanad seperti itu adalah keliru dan terdapat perawi bernama Amar yang tertuduh pemalsu hadits. Karena itu, Ibnul Jauzi menyatakan hadits tersebut palsu dengan ijma` ulama.”[46]
 
Amar bin Ziyad juga pernah memalsu hadits sebagai berikut : Dari Umar dari Nabi bersabda,

أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنْ أَمْسِكَ عَنْ خَدِيْجَةَ وَكُنْتُ لَهَا عَاشِقًا فَأَتضى جِبْرِيْلُ
بِرُطَبٍ فَقَالَ كُلْهُ وَوَاقِعْ خَدِيْجَةَ لَيْلَةَ جُمْعَةَ لَيْلَهَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ مِنْ
رَمَضَانَ فَفَعَلْتُ فَحَمَلَتْ بَفَاطِمَةَ

“Dikatakan kepadaku agar tidak berkumpul dengan Khadijah, padahal aku sangat rindu kepadanya. Jibril datang dengan membawa kurma ruthab seraya berkata, “Makanlah dan bersetubuhlah dengan Khadijah pada malam Jumat tanggal 24 Råmadhån!’ Aku pun menjalankannya. Akhirnya Khadijah mengandung Fathimah.”[47]
Kisah tersebut tercantum dalam kitab Fawaid Abu Bakar al-Syafi’i dan Manakib Fathimah. Ibnu Katsir berkata,

قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مِنْ خَصَائِصِ هَذِهِ السُّوْرَةِ أَنَّهَا لاَ تُقْرَأُ عَلَى أَمْرٍ
عَسِيْرٍ إِلاَّ يَسَّرَهُ الله تَعَالَى وَكَأَنَّ قِرَاءَتَهَا عَلىَ الْمَيِّتِ لَتُنَزِّلُ الرَّحْمَةَ
وَالْبَرَكَةَ وَلِيَسْهُلَ عَلَيْهِ خُرُوْجُ الرُّوْحِ والله تعالى أعلم

“Sebagian ulama berkata, ‘Termasuk keistimewaan surat ini, bila dibacakan kepada urusan yang sulit akan dimudahkan oleh Allah, seolah bila dibacakan kepada mayat bisa menurunkan rahmat dan berkah lalu ruhnya menjadi mudah keluar.”[48]

Komentar penulis: Mengapa Ibnu Katsir menyampaikan pernyataan  seperti itu, di mana para Nabi, sahabat dan imam madzhab empat tidak mengatakannya. Dan saya sendiri tidak mengetahui dalilnya.  Setahu saya, bila ingin kesulitan dimudahkan oleh AllåhI berdoalah sebagaimana tersebut dalam ayat berikut ini:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ
اْلأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allåh ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).”[49]

Dalam ayat lain diterangkan :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allåh”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allåh, jika Allåh hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allåh hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allåh bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.”[50]

Kalau ingin ruh menjadi mudah keluar hendaklah dengan berdoa sebagai berikut :

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ

”Ya Allah berilah pertolongan kepadaku dalam sekarat maut.”[51]

Ada hadits sebagai berikut :


.مَنْ قَرَأَ يس غُفِرَ لَهُ وَمَنْ قَرَأَهاَ وَهُوَ جاَئِعٌ شَبِعَ وَمَنْ قَرَأَهاَ وَهُوَ ضاَلٌّ هُدِيَ وَمَنْ قَرَأَهاَ وَلَهُ ضاَلَّةٌ وَجَدَهاَ وَمَنْ قَرَأَهاَ عِنْدَ طَعاَمٍ خَاَفَ قِلَّتَهُ كَفَاَهُ وَمَنْ قَرَأَهاَ عِنْدَ مَيِّتٍ هُوِّنَ عَلَيْهِ وَمَنْ قَرَأَهاَ عِنْدَ امْرَأَةٍ عَسُرَ عَلَيْهاَ وَلَدُهاَ  يَسُرَ عَلَيْهاَ وَمَنْ قَرَأَهاَ فَكَأَنَّماَ قَرَأَ القُرْآنَ إِحْدَى عَشَرَ مَرَّةً وَ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبًا وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس


”Barangsiapa  membaca surat Yasin akan diampuni dosanya. Barangsiapa  membacanya dalam keadaan lapar akan  dikenyangkan. Barangsiapa  membacanya  dalam keadaan sesat akan diberi hidayah. Barangsiapa  membacanya untuk mencari barang yang hilang akan di temukan. Barangsiapa membacanya  di sisi makanan  yang dikhawatirkan kurang akan dicukupinya. Barangsiapa membacanya  di sisi mayat akan  diperingan siksaannya. Barangsiapa membacanya di muka perempuan yang sulit melahirkan akan  melahirkan dengan mudah. Barangsiapa  membacanya  seolah-olah telah  membaca al-Quran sebelas kali. Setiap sesuatu memiliki hati sedang hati al-Quran  adalah Yasin.”[52]

Abu Bakar - Ahmad bin al-Husain berkata,

هَذَا نُقِلَ إِلَيْنَا ِبهَذَا الْإِسْنَادِ مِنْ قَوْلِ أَبِي قِلاَبَةَ وَكَانَ مِنْ كِبَارِ التَّابِعِيْنَ

Kami menerima kutipan dengan sanad tersebut dari perkataan Abu Qilabah dan beliau termasuk tokoh tabi’in.[53] Kalau begitu berarti bukan hadits. Ada juga disebutkan terdapat hadits sebagai berikut :

مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ غُفِرَ لَهُ ماَ تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوهاَ عِنْدَ مَوْتاَكُمْ

“Barangsiapa membaca surat Yasin untuk mencari ridha Allåh, maka dosanya yang lalu diampun oleh Allåh. Bacakanlah kepada orang–orang  matimu!”

Hadits ini dicatat oleh Imam al-Baihaqi di dalam  kitab ”Syu’abul Iman“  dari Ma`qil bin Yasar. Imam Suyuthi memberikan tanda sahih. Periksa dalam Jami’us Shaghir 178/2. Di sini Imam  Suyuthi  kurang teliti tentang  sanad hadits yaitu nama ayah Utsman yang seluruh ulama ahli hadits menyatakan mubham atau tidak dikenal.  Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam  al-Darimi nomor 3417 dengan sanad lemah karena terdapat perawi al-Hasan yang sering memursalkan hadits. Secara kenyataan Råsulullåh dan sahabatnya tidak pernah membaca surat yasin apalagi di atas kuburan. Oleh karena itu, Imam  Syaukani  berkata bahwa Imam al-Daråquthni berkata, ’Hadits tersebut adalah hadits lemah, redaksinya juga  tidak dikenal dan  tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qåtthån  bahwa  redaksi  hadits tersebut kacau.” Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud nomor 3131, Ibnu Majah dalam Sunan Ibni Majah nomor 1448, Nasai dalam Sunan al-Nasai, dan Ahmad dalam Musnad Ahmad   nomor 19789 dan 19803.  Namun  seluruh jalur periwayatannya telah kami telusuri dan seluruhnya  dari ayah Utsman yang  masih belum diketahui  identitasnya. Daråquthni berkata, ”Dalam  masalah ini tidak terdapat hadits yang sahih.”[54]

Syaikh Ibrahim berkata, “Syaikh Abdulwahhab al-Warraq, Abu Hafsh berkata,

وَقَالَ الاَكْثَرُ لاَيَصِلُ إلَىالميِت ثوابُ القِراءةِوانّ ذَلكَ لِفَاعِله

‘Mayoritas ulama menyatakan bahwa pahala membaca al-Quran tidak akan sampai kepada mayat, tetapi hanya untuk orang yang membacanya.”[55]

Wallahu allam bishowab

__________
Catatan Kaki :

[1] Sumber tentang Walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Tersebut dokumen kuno yang kemudian disebut sebagai ”Het Book van Mbonang” (Sunan Mbonang adalah putera dari Sunan Ampel). Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Di antaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, Leiden, yang selanjutnya disebut sebagai ”Primbon I” dan thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Leiden, disebut sebagai ”Primbon II”. Yang kemudian menggunakan dua literatur ini adalah Dr. Da Rinkers tahun 1910 dalam thesisnya yang berjudul ”De Heidigen van Java”, Leiden, Dr. H Kraemer tahun 1921 berjudul ”Een Javansche Primbon uit de Zeistiende Eeuwe”, Leiden, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935, berjudul ”Pantheisme en Monisme in de Javansche Soeloek Literatuur”, Leiden. Dokumen lain yang ditemukan kemudian adalah lembaran daun lontar (rontal) sebanyak 23 lembar, tersimpan di Museum Umum Ariostea/Museum Marquis Cristino Bevilacqua di Ferrara, Italia. Secara umum isi dokumen kuno tersebut menceritakan suasana sarasehan para wali yang dilangsungkan di kediaman Sunan Giri di Girikedaton Gresik. Selanjutnya dokumen yang kemudian disebut dengan ”Kroprak Ferrara” ini pada tahun 1962 dibuat kopi (tiruannya) untuk dikirim ke Leiden Belanda agar bisa dikaji oleh ahli bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno dari negeri Belanda. Editor.


[2] Banyak orang yang melakukan bid’ah kemudian berdalih bahwa dirinya melakukan bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), padahal Råsulullåh e menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Demikian pula pesan para walisongon senior. Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen ”Het Book van Mbonang” adalah peringatan dari Sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:”Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah.” Artinya:”Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.” Editor.
[3] Sunan Abi Dawud no. 4031.
[4] Surat Hud:113.
[5] Muttafaqun ‘alaih
[6] Sunan al-Nasai no. 2088, Mu`jam Kabir 59/4, Syu’abul Iman 135/7, dan  Targhib wa al-Tarhib 57/3. Al-Bani menyatakan hadits tersebut sahih.
[7]lebih jelasnya baca di buku kami,”Mantan Kiani NU Menggugat Tahlil, Istigosah & Ziarah Wali.”
[8] Al-Fatawa 215.
[9] Yas-alunaka ‘anid dini wal hayah 160/5.
[10] Tradisi islam – Khalista, 2006
[11] Fatwa Syaikh Athiyah Shåqr, Mei 1997, Al-Azhar, Kairo.
[12] Al-Nawawi, Syarah Muslim:juz 1 hal:9.
[13] Al-Subki, Taklimatul Majmu' Syarh Muhadzdzab, juz 10, hal. 426).
[14] Al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubrå al-Fiqhiyah:juz 2, hal; 9.
[15] Hamisy al-Umm as-Syafi’i, juz 7, hal. 269.
[16] Al-Khåzin, Al-Jamal, juz 4, hal. 236.
[17] Tafsir Jalalain, juz 2, hal. 197.
[18] Tasir Ibnu Katsir, juz 4 hal. 259.
[19] I’anatut Thålibin, syarah Fathul Mu'in:juz 2, hal 145?
[20] Al-Syafi’i, Al-Umm, juz 1, hal. 248.
[21] I’anatut Thålibin, juz 2, hal. 146.
[22] I’anatut Thålibin, juz 2, hal. 146.
[23] Mughnil Muhtaj, juz 1, hal. 268.
[24] Hasyiyatul Qålyubi, juz 1, hal. 353.
[25] I’anatut Thålibin, juz 2, hal. 145-146.
[26] I’anatut Thålibin, juz 2, hal. 145-146.
[27] I’anatut Thålibin, juz 2, hal. 145-146.
[28] Abdurråhman al-Jaza'iri, Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah, juz 1, hal.539.
[29] Al-Mughni, Ibnu Qudamah, juz 2 hal. 43.
[30] Tradisi islam – Khalista, 2006
[31] Tradisi islam – Khalista, 2006
[32] Sunan Ibni Majah no 2448, Musnad Ahmad  no. 19789, dan Sunan Abi Dawud no.3131.
[33] Nailul Authår 25/4.
[34] Badzlul Majhud 85/14.
[35] Sunan Abi Dawud no.  3121.
[36] Mausu’ah Ruwatil Hadits  no. 6800.
[37] Al-Mustadrak ’alas Shåhihain 753/1.
[38] Musnad Ahmad  no.  19789.
[39] Tafsir Al-Qurthubi 1/15.
[40] Al-Firdaus 104/1.
[41] Syarah Sunan Ibnu Majah 104/1.
[42] Mausu’ah Ruwatil Hadits no. 2775.
[43] Mausu’ah Ruwatil Hadits  no. 6570.
[44] Hadits riwayat Ibnu Adi dan lainnya.
[45] Faidhul Qådir  141/6.
[46] Faidhul Qådir 141/6.
[47] Mizanul  I`tidal 316/5.
[48] Tafsir Ibnu Katsir 564/3.
[49] Surat al-Naml:62.
[50] Surat  al-Zumar:38.
[51] Sunan Ibni Majah no.1623, hadits dengan derajat lemah.
[52] Sanadnya sebagai berikut: bercerita kepada kami Abul Husain bin Busran, bercerita kepada kami Ismail bin Muhammad al-Shåffar, bercerita kepada kami  Sa`dan bin Nashår, bercerita kepada kami Ma`mar dari Al-Khålil bin Murråh dari Ayyub al-Sikhtiyani  dari Abu Qilabah. Periksa dalam Syu’abul Iman 2467.
[53] Syu’abul Iman 482/2
[54] Periksa dalam Nailul Authår 25/4.
[55] Al-Mubdi` karya Ibrahim bin Muhammad, terbitan Al-Maktabul Islami Beirut 281/2.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar