Mawlana Syekh Hisyam Kabbani
3 Maret 2012 Zawiyah Fenton, Michigan
Shuhbah setelah Salaat adz-Dzuhr
(Lanjutan dari hari Sabtu, 25 Februari 2012)
A`uudzu billahi min asy-Syaythaani ‘r-rajiim. Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Rahiim. Dastuur yaa Sayyidii, madad!
Dikatakan bahwa, ath-thariqatu kullaha aadaab, “Thariqah sepenuhnya berisi adab.” Mengapa orang-orang ingin mengikuti thariqah? Mengapa kalian ingin melakukan pekerjaan ekstra di samping kewajiban kalian? Allah (swt) memberi kalian lima salat harian, puasa di bulan Ramadan, Kalimat at-Tawhiid (Pernyataan Keimananan), zakaat dan Haji. Mengapa orang-orang ingin lebih dari itu? Mereka datang untuk menyempurnakan apa yang dibawa oleh Syari`ah, yaitu untuk mengangkat diri kalian; untuk belajar disiplin, sebagaimana dikatakan bahwa, “Orang-orang yang menginginkan perjalanan menuju Hadirat Ilahi harus mengikuti suatu jalan (thariqah).”
Jika kalian bepergian, kalian memerlukan petunjuk arah dan pastikan jika kalian berada di jalan yang benar, tetapi jika kalian tidak mempunyai petunjuk arah, kalian akan tersesat. Sama halnya, jika kalian tidak mempunyai seorang pemandu yang dapat memberi arahan kepada kalian di dalam perjalanan kalian, kalian akan tersesat, dan banyak sekali orang-orang yang telah tersesat! Namun demikian, ketika kita mempelajari secara mendetail bagaimana cara mendekati sesuatu dan disertai disiplin, maka kita tidak akan kehilangan atau keluar dari jalan kita, yang telah diberikan kepada kita untuk digunakan agar kita dapat mencapai tujuan kita. Jadi di sana ada jalan raya, dan kembali ke rute semula tidak dianjurkan, apa yang kita sebut di dalam Syari`ah “rukhsah,” yaitu, untuk mengikuti jalan yang ringan tetapi diperbolehkan.
Tetapi di sana ada al-aziimah, tingkat tinggi, yang mengajarkan kalian agar mempunyai disiplin, bukan hanya terhadap kewajiban kalian, salat dan seterusnya, tetapi di dalam setiap bagian dari kehidupan kalian. Bahkan di rumah, di antara anggota keluarga, kalian harus mempunyai disiplin, bukannya berpikir bahwa kalian adalah kaisar di rumah itu dan yang lainnya adalah budak-budak kalian, itu bukan disiplin. Disiplin adalah untuk mengetahui batas-batas kalian. Itulah sebabnya mengapa para awliyaullah berkata, ath-thariqatu kullahaa adaab, “thariqah sepenuhnya berisi adab”, jadi jika kalian memilih jalannya para awliya, semuanya berisi disiplin, yang artinya kalian harus selalu menjaga batas-batas kalian dan mengetahui dari mana kalian memperoleh agama kalian.
Setelah Nabi (s) membangun struktur Islam, kelima rukun, beliau membawa para Sahaabah (r) ke dalam perjalanan menuju kesempurnaan, ihsaan. Ketika mereka bertanya kepada Nabi (s), “Apakah ihsaan, yaa Rasuulullah?” Beliau menjawab, “Itu merupakan kesempurnaan moral tertinggi." Ketika kalian mencapai level itu, kalian akan mengerti bahwa kalian tidak dapat melakukan sesuatu tanpa mengetahui bahwa Allah (swt) sedang melihat kalian.
Di antara para Sahaabah (r), Nabi (s) memilih orang-orang yang tepat dan memberi mereka apa yang mereka perlukan untuk mengajarkan para Sahaabah (r) lainnya, yang kemudian mengajarkannya kepada generasi berikutnya, yaitu: al-A'immat, at-Tabi`iin, dan kemudian at-Tabi`at-Tabi`iin. Para pengikut mempelajari dari orang-orang sebelum mereka, jadi kalian harus tahu dari siapa kalian mempelajari agama kalian.
Dikatakan oleh Imam Malik (r) dan Imam Ibn Siriin (r) dan banyak lagi dari para pendahulu, hadza `ilmu diinu, “Ilmu ini adalah agama,” artinya, ketika kalian datang ke lingkaran semacam itu (majelis ilmu), ini adalah agama; itu bukanlah tempat untuk bermain-main! Kalian datang ke sini untuk mengisi kalbu kalian dengan spiritualitas. Fanzhuru mimman ta’khuudzuuna diinukum, “Jadi lihatlah darimana kalian mengambil agama kalian.” Itu artinya kalian harus tahu siapa guru yang tepat, orang yang telah menyempurnakan karakternya dan yang dapat dengan mudah kalian kenali dengan melihat penampilan luarnya; karakternya menunjukkan orang macam apa dia.
Serupa dengan hal itu, karakter kita menunjukkan orang macam apa diri kita. Dari hubungan kalian dengan satu sama lain, kalian dapat mengerti orang macam apa kalian. Sedangkan untuk guru, kalian dapat memahaminya dengan melihatnya dalam hal kesempurnaan pengetahuannya tentang Syari`ah dan pemahaman Qur’an dan hadits. Kalian tidak boleh mengambil orang secara sembarangan, lalu mengatakan, “Aku mengikuti orang ini," karena seberapa jauh ia dapat membawa kalian? Wa `alayhi tahaqqaq, “Dan kalian harus bersikap realistis dan yakin tentang ilmunya.” Ilmunya harus lebih tinggi daripada yang lain. Kalian juga harus selalu ingat bahwa di dalam pertemuan itu, barangkali ia adalah orang dengan ilmu tertinggi, jadi kalian ikuti instruksinya.
Di dalam pertemuan para syekh, perhatikanlah orang yang lebih tinggi daripada kalian dan yang lainnya, hal ini mudah untuk dilakukan. Kalian harus melihat pada ilmunya: apakah ia berbicara pada level yang sama dengan syekh-syekh lainnya, atau dalam tingkat yang lebih tinggi? Jika ia mempunyai tingkat yang lebih tinggi, maka kalian harus belajar lebih banyak darinya. Jika syekh itu tidak mengajari kalian tentang disiplin, tetapi hanya mengajari cara salat, puasa, dan seterusnya, ketahuilah bahwa kalian dapat mempelajarinya dari seseorang yang bahkan bukan seorang syekh! Syekh harus mengajari kalian tentang disiplin, yang penting di dalam Syari`ah. Ath-thariqatu kullaha aadaab, “Tarekat sepenuhnya berisi adab atau disiplin.”
Sebuah contoh, misalnya jika kalian berlatih untuk menjadi seorang duta besar atau perdana menteri, kalian akan pergi ke sekolah protokol di mana mereka akan mengajari kalian bagaimana cara berpakaian, berbicara, berjalan; kalau tidak, orang akan melihat kalian tidak mempunyai disiplin, dan berkata, “Orang itu tidak mengerti protokol.” Oleh sebab itu, mereka mengajari kalian etika makan, sehingga ketika kalian duduk di hadapan orang-orang penting, mungkin perdana menteri, presiden atau raja, kalian tahu kapan untuk mulai makan dan berhati-hati dengan tangan kalian, tidak meletakkan semuanya di piring, untuk menunjukkan bahwa kalian mengerti protokolnya.
Bayangkan, jika itu untuk seorang raja atau perdana menteri di dunia, bagaimana dengan Raja yang sesungguhnya, yaitu Sayyidina Muhammad (s)? Lihatlah berapa banyak kesalahan yang telah kita perbuat! Kita tidak mempunyai adab yang baik, kita ingin melompat ke atas meja, pertama untuk mengambil makanan dan kita ingin dihormati dan duduk di meja itu. Sebagian orang akan pergi bila mereka tidak ditempatkan di meja dan harus duduk di lantai! Namun Islam adalah adab, dan apakah kalian duduk di meja atau tidak, di kursi atau di sofa, atau di lantai, itu tidak penting. Nabi (s) biasa tidur di kasur yang terbuat dari jerami. Sekarang, kita bahkan tidak membeli kasur yang normal seperti dulu, tetapi kita harus membeli kasur yang tebalnya 18 inci. Mengapa, saya tidak tahu. Ketika kalian mati, kalian bahkan tidak akan tidur di kasur dari jerami, tetapi kalian akan tidur di kotoran!
Di sini, apa yang dimaksud dengan ‘mati’? Ketika cinta dunia telah lenyap dari kalbu kalian, maka kalian menjadi mati, dan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ghazali (r), “Ketika engkau mati, matamu terbuka!” Awliyaullah membuat ego mereka mati; mereka mencapai kepasrahan sempurna dan Allah (swt) membuka mata mereka untuk melihat yang gaib. Jika kalian menginginkan hal itu, pergilah dan belajarlah di “sekolah protokol spiritual” awliya untuk mempelajari adab yang benar di hadapan guru kalian: kapan waktunya bicara, kapan harus duduk atau berdiri, atau kapan untuk tidak bicara, di mana yang tidak boleh duduk. Sekarang kalian bahkan tidak menghormati guru kalian! Di mana kalian dapat menemukan seorang guru sekarang? Orang-orang hanya mencari guru yang hanya dapat mengajari mereka tentang alif ba ta (abjad Arab), bukannya disiplin.
Segala sesuatu dibangun atas disiplin. Itulah sebabnya kalian harus melihat pada guru kalian dengan pandangan hormat. Jika kalian berada di depan seorang perdana menteri atau presiden, kalian duduk dengan posisi sedemikian rupa agar tidak melanggar hormat. Sekarang kalian melihat murid melanggar kehormatan di hadapan guru mereka, berbicara dengannya seolah-olah mereka adalah orang biasa. Jadi, apa artinya, “Kau harus memandang gurumu dengan pandangan hormat”? Itu artinya jangan membuka mulut kalian! Kalbu kalian, tubuh, pikiran dan telinga harus fokus khususnya pada satu hal, yaitu guru kalian, yang harus kalian yakini mempunyai tingkat ilmu yang sempurna.
Beliau berkata bahwa salah satu dari wa kaana b`ad al-mutaqadimiin, ada banyak para pendahulu atau syekh, dari kitab Imam Nawawi, 600-700 tahun yang lalu. Beliau mengatakan bahwa orang-orang yang ada sebelum Imam Nawawi, bayangkan antara 600-700 tahun. Beliau bicara mengenai waktu itu.
- Beliau berkata, wa kaana b`ad al-mutaqadimiin, ketika sebagian dari para pendahulu pergi menemui syekh, bagaimana mereka mempersiapkan diri, apa yang mereka lakukan? idza dzahaba ila mu`alimihi yu`tii shadaq, sebelum melangkahkan kaki meninggalkan rumah, ia mengeluarkan sedekah. Itulah ajarannya, jangan datang dengan tangan kosong! Jika kalian ingin datang menuju Allah (swt), kalian tidak bisa pergi dengan tangan kosong, kalian harus melakukan yang sunnah sebelum fardu. Salat sunnah adalah untuk mempersiapkan kita sebelum melakukan kewajiban salat. Sunnah diperkenalkan kepada kita oleh Nabi (s), itu bukanlah wajib. Sunnah adalah jalan hidup Nabi (s), tetapi kelima salat fardu adalah kewajiban. Jadi untuk mempersiapkan diri kita untuk salat wajib, menuju maqam yang lebih tinggi, Nabi (s) melakukan salat dua atau empat raka`at sebelum dan dua atau empat setelahnya, untuk mengkonfirmasi. Jadi kalian salat dua raka`at sunnah sebelum Subuh, `Asr dan Maghrib, untuk mempersiapkan diri seolah-olah kalian memberikan hadiah sebelum menunaikan kewajiban. Jadi, sebelum kalian pergi menemui guru kalian, jangan datang dengan tangan kosong, tetapi dengan mempersembahkan hadiah.
- Kalian harus mengucapkan niat kalian. Guru kalian adalah seorang guru, ia adalah manusia, bukannya nabi. Ia adalah seorang ulama atau seorang salik (pencari) dalam tarekat, atau seorang syekh agung dalam tarekat, atau seorang wali. Jadi kalian harus datang kepadanya dengan adab, dan juga mengucapkan, allahuma astur ayba mu`allimii min `aynii, “Ya Allah! Tutuplah kesalahan guruku dari mataku,” agar takzim kalian terhadap guru kalian tidak berkurang dalam pandangan kalian, karena sebagaimana yang kami katakan, kita tidaklah ma`suum, bersih dari dosa; hanya para nabi yang ma`suum. Awliyaullah adalah mahfuuzh, terlindungi, meskipun mereka mungkin melakukan dosa, dan jika kalian melihat seseorang yang membuat keputusan yang salah, kalian mungkin akan mengkritik mereka.
- Imam Nawawi (r) berkata, kalian tidak boleh mengkritik, karena hadits Nabi (s) menyatakan jika seorang hakim membuat keputusan yang benar mengenai suatu hal, Allah mengaruniainya dengan dua pahala, tetapi bila ia melakukan kesalahan dengan membuat keputusan yang salah, ia tetap mendapat satu pahala karena ia melakukannya dengan tanpa niat yang buruk dan karena tidak ada seorang pun yang sempurna. Jadi Imam Nawawi (r) berkata, “Ya Allah! tutuplah, ustur, hijablah atau tutupi `ayb, kesalahan dari guruku, yang artinya “Jangan sampai aku melihat suatu kesalahan pun dari guruku, perkenankanlah agar aku hanya melihat hal-hal yang baik sehingga aku senantiasa memujinya.” Ini adalah adab antara murid dan guru, tetapi siapa yang melakukan hal itu? Sekarang beberapa orang hanya melihat bahwa syekh melakukan kesalahan sehingga mereka segera mengoreksinya! Kalian banyak melihatnya di YouTube, di mana murid mengajari gurunya.
- Kalian harus berdoa, “Yaa Rabbii! Jangan biarkan aku kehilangan berkah dari ilmunya,” karena ada berkah di dalam ilmunya, jadi bahkan bila ia melakukan kesalahan, jangan lihat hal itu; itu bukanlah urusan kalian! Urusan kalian adalah diri kalian sendiri. Kalian mengambilnya sebagai guru kalian dan kalian mengulurkan tangan terhadapnya (bay’at), jadi janganlah lihat pada hal-hal yang ia lakukan yang tidak menyangkut diri kalian!
Grandsyekh, semoga Allah memberkati jiwanya, biasa berkata, “Jangan melihat pada hubunganku dengan keluargaku atau bagaimana aku berinteraksi dengan mereka, atau bagaimana aku berperilaku terhadap mereka, karena aku berpilaku terhadap mereka seperti orang tua kepada anaknya dan di dalam cara-cara duniawi, untuk membangun hubunganku dengan mereka. Aku tidak berhubungan dengan mereka seperti orang asing yang datang untuk belajar.”
Inilah yang secara khusus mengapa tidak seorang pun dapat memasuki rumah Syekh (tanpa izin) karena seorang murid dapat masuk dan melihat hubungan pribadi itu.
Kita adalah manusia dan Nabi (s) berperilaku terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam perilaku manusia, manusia kepada manusia, tetapi urusan langit adalah berbeda, seperti halnya Mi`raaj adalah berbeda. Beliau tertawa dan bercanda dengan mereka. Beliau biasa menggendong Sayyidina al-Hasan (r) dan Sayyidina al-Husayn (r) di punggungnya bahkan ketika sedang salat, dan dari adab beliau, beliau tidak pernah mendorong mereka untuk menyuruhnya pergi dan beliau tidak pernah mengangkat kepalanya dari posisi sujud sampai mereka turun; beliau tetap menunggu. Itulah hubungan antar keluarga. Jadi Grandsyekh (q) berkata, “Jangan melihat bagaimana aku berhubungan dengan keluargaku atau kalian akan berada di dalam masalah karena kalian bukan keluarga, jadi kalian harus menjaga batas-batas dan jarak antara kalian denganku. Keluargaku dapat melakukan ini itu denganku, tetapi kalian tidak.”
Serupa dengan guru kita, Mawlana Syekh Nazim, beliau telah banyak menanggung (beban) karena tindakan beberapa penyusup--kalau kita menyebut mereka begitu, atau beberapa orang yang berpikir bahwa mereka begitu dekat. Bahkan jika kalian begitu dekat dengan Syekh di dalam tarekat, bukan sebagai keluarga, tetapi sebagai sahabat, tetap saja kalian tidak mempunyai hak untuk masuk ke dalam rumah di mana istri dan anak-anaknya berada, karena itu diperuntukkan khusus untuk mahram (sanak saudara yang tidak dapat dinikahi). Kalian tidak dapat masuk ke dalam rumah dan berkata, "Aku adalah murid yang dekat denganmu." Allah (swt) berfirman di dalam Kitab Suci al-Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)1229, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah! (Surat al-Ahzab, 33:53)
“Jangan masuk ke dalam rumah Nabi (s) sampai kalian diundang untuk makan, dan jangan masuk lebih awal untuk menunggu persiapannya.” Hal itu akan menyakitkan Nabi (s). Jadi bahkan untuk kalian sebagai orang biasa, jangan biarkan seseorang masuk ke dalam rumah kalian untuk bicara dengan istri dan putri kalian. Ini adalah hal besar! Di dalam Islam, Muslim percaya bahwa pernikahan adalah dari agama mereka dan Islam mengajarkan kita bahwa pernikahan mempunyai adab yang seksama jadi kita bisa berusaha untuk menjaga jarak (dan menghindari masalah). Namun demikian, kini orang-orang melanggar batas-batas ini, sekalipun dengan niat yang baik, karena pekerjaan duniawi mendukung percampuran gender, sementara sebelumnya tidak ada percampuran itu. Sekarang kalian lihat di tempat kerja di suatu perusahaan, semua orang bercampur bersama. Di masa Nabi (s) dan sebelumnya, banyak sekali percampuran itu dan orang-orang biasa tidur bersama, siapa saja. Lalu Islam datang untuk memberi kalian disiplin yang ketat, dengan mengatakan, “Jangan lakukan hal itu, atau kalian akan menyakiti diri kalian sendiri.” Kemudian orang mulai berkurang (dalam berbuat dosa).
Imam Nawawi (r) berkata, “Jika seorang pria berada di dalam ruangan dengan seorang wanita dan berbicara selama 5 menit dan mereka tidak berhubungan, maka orang itu adalah ta`arad, telah mematahkan aturan Islam, dan ia akan mendapat pinalti, artinya istrinya akan diceraikan darinya dan ia akan diceraikan dari istrinya, karena itu (pergaulan dengan percampuran gender) adalah khalwat atau pengasingan diri yang tidak bisa diterima tanpa seorang mahram.”
Berbicara (secara pribadi) dengan seorang wanita yang bukan mahram kalian tidak diterima di dalam Islam! Sekarang mereka menyusup ke dalam rumah Syekh tanpa alasan! Di sana ada putri-putri beliau yang mungkin sedang tidak memakai hijab. Hal ini tidak hanya berlaku bagi rumah Syekh dan keluarganya, tetapi juga berlaku bagi kalian sebagai orang biasa. Kalian tidak boleh masuk, tetapi sekarang mereka tidak keberatan. Sebagai seorang pencari yang disiplin, kita harus meletakkan batas-batas bagi diri kita sendiri. Islam mengajarkan kita batas-batas dan itulah sebabnya mengapa kita harus menjaga batas-batas itu dan tidak masuk ke rumah seseorang tanpa seizinnya!
Allah (swt) menurunkan ayat itu untuk mengajarkan para Sahabat dan kita.
Ar-Rabi`(r), yang menemani Imam Syafi`ii (r), berkata, “Aku tidak berani untuk meminum secangkir air di depan guruku, karena aku merasa takut,” karena itu bukan adab! Adab adalah untuk berdiam diri, belajar dan mencatat ketika Syekh memberi pelajaran. Ini adalah penting bagi saya, bagi kalian, dan bagi setiap orang, jadi, jangan dibuang ke belakang (mengabaikannya)! Silakan cek hadis Nabi (s) mengenai Ihsan dan lihat penjelasannya di internet, kalian akan kagum! Kita akan melanjutkan topik ini kemudian.
Wa min Allahi 't-tawfiiq, bi hurmati 'l-Fatihah.
Sumber: Sufilive
© Copyright 2012 Sufilive. This transcript is protected by international copyright law.
Please attribute Sufilive when sharing it. JazakAllahu khayr.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar