Murid Naqshbandiyya

Bookmark and Share
Maulana Syaikh Hisyam Kabbani
London, 18 Ramadhan 1422

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim Bismillaahir rahmaanir rahiim Allaahumma shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammadiw wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin  

Cerita berikut ini sering diulang oleh Grandsyaikh dan Maulana Syaikh Nazhim, dan Saya juga telah menceritakannya berulang kali. Cerita ini harus bisa merasuk ke dalam hati. Hanya jika kalian mendengarkan dan menyimpannya baik-baik di dalam hati, baru bisa berhasil. Jika tidak, kalian tidak akan berhasil.

Seseorang datang kepada Grandsyaikh dan berkata, “Wahai Syaikhku, aku ingin meminta thariqat Naqsybandi darimu.” Orang itu datang kepada Syaikh dengan membawa belati yang besar dan sebilah pedang. Dia berasal dari Daghestan dan kalian tahu bahwa orang-orang Daghestan berkumis tebal dan mengarah ke atas… mereka adalah para pegulat, seperti beberapa saudara kita di sini. Orang itu datang dengan seluruh egonya, meminta Syaikh agar menerimanya sebagai pengikut thariqat Naqsybandi.

Pada awalnya Grandsyaikh berkata, ”Aku tidak akan memberimu thariqat!” Orang itu kaget, ”Apa! Aku mempunyai pedang dan beberapa belati, dan aku bisa memukul siapa saja! Aku ingin thariqat! Jika engkau tidak memberinya, Aku akan memukulmu!” Walau begitu orang itu mempunyai niat yang baik. Grandsyaikh melihatnya, dan dengan segera Rasulullah berkata kepadanya bahwa orang ini mempunyai niat yang baik. Perintah pun datang, walaupun dia seorang pegulat dan membawa belati, dia harus diajari untuk menjadi pengikut thariqat Naqsybandi. Grandsyaikh berkata, “Aku tidak bisa memberimu thariqat kecuali engkau mau mendengar perintahku. Namun demikian, sebelum Aku memberimu perintah, Aku akan mengutusmu ke kota.”

Grandsyaikh menyuruh orang itu pergi ke pasar di tengah kota untuk mencari orang yang membawa usus biri-biri di punggungnya, “Pergilah di belakangnya lalu tepuk lehernya dengan tanganmu. Perhatikan apa yang dia katakan lalu laporkan kepadaku.” Si pegulat tadi—karena dia seorang pegulat—sangat bergembira mendengar perintah itu. Jika ini ajaran Naqsybandi, Alhamdulillah, baiklah Syaikhku ini memang pekerjaanku—memukuli orang! Dengan senang hati Aku akan pergi dan menamparnya, bukan cuma sekali tetapi ratusan kali.” “Tidak!” sahut Grandsyaikh, “Sekali saja!”

Pegulat itu pergi ke kota mencari orang yang dimaksud. Setelah ditemukan, dia berjalan di belakangnya, mengangkat tangannya dan menepuk lehernya dengan sekuat tenaga. Orang itu menengok kepadanya dengan kemarahan di matanya—tetapi dia tidak berkata apa-apa, kemudian dia melanjutkan perjalanannya. Si pegulat menjadi marah, sebab dia mengharapkan ada reaksi dari orang itu, sehingga dia dapat menghajarnya lagi dua-tiga atau empat kali atau bahkan meng-KO-nya dengan satu pukulan yang telak. Tetapi sekarang dia harus kembali kepada Syaikh dan melaporkannya. “Wahai Syaikhku, aku melihat hal yang sangat tidak biasa hari ini. Ketika Aku memukulnya, dia tidak bereaksi, tetapi dia melihatku dengan marah, dan Aku menunggu dia untuk menghampiriku sehingga Aku bisa menghajarnya, ternyata dia tidak melakukannya!” Grandsyaikh berkata,”lupakan saja!”

Hari berikutnya, Grandsyaikh berkata kepadanya, “Pergilah engkau ke tempat yang sama. Engkau akan menemukan orang lain, kali ini seorang pedagang lambung biri-biri (jeroan).” Pada saat itu, biasanya para pedagang menggantung semua bagian daging dan menjualnya. “Dengan yang satu ini, engkau boleh menggunakan tenaga yang lebih besar, kalau perlu dengan kekasaran untuk menghajarnya. Lalu perhatikan apa yang dikatakannya, kemudian engkau kembali dan ceritakan apa yang terjadi kepadaku.” ”Baiklah, Syaikh!” orang itu menjawab, “Perintahmu adalah keinginanku! Aku akan memukul siapa saja untukmu! Ini adalah perintah yang sangat mudah.”

Dia pergi ke kota, menemukan orang yang dimaksud, dan dengan segala kekuatannya dia meninju orang itu hingga KO. Ketika orang itu terjatuh, dia berbalik badan dan tersenyum kepada pegulat itu tanpa berkata apa-apa. Lalu dia mengumpulkan barang-barangnya dan pergi. Kali ini si pegulat lebih marah lagi dibandingkan yang pertama. Mengapa orang itu tidak bereaksi sehingga dia bisa mengambil belati dan menghabisinya? Dia kembali kepada Syaikh dan melaporkan apa yang terjadi.

Hari berikutnya, Grandsyaikh berkata, “Aku utus engkau ke sebuah pertanian, di sana engkau akan menemukan orang yang sangat tua sedang membajak ladangnya. Sekarang jangan gunakan tanganmu, sebab dia adalah orang tua. Dia harus mendapatkan yang lebih baik, engkau harus menggunakan tongkat untuk memukulnya!” Sekarang si pegulat mulai berpikir, mengapa Syaikh menyuruhnya memukul anak muda? Bukankah tidak lebih baik jika Aku gunakan tongkat pada mereka, daripada untuk orang tua ini? Tetapi Syaikh lalu beranjak sambil berkata, “Gunakan tongkat dengan seluruh tenagamu sampai tongkat itu patah di punggungnya! Kalau tidak jangan kembali kepadaku.”

Perhatikanlah rahasia thariqat Naqsybandi, ketika Nabi Musa datang, beliau berkata,”Al ‘aynu bil ‘ayni was sinnu bis sinn,“ mata untuk mata dan gigi untuk gigi: jika seseorang menghantam kalian, kalian harus menghantam balik. Terlalu banyak keinginan (untuk berkuasa) di sana—karena hal itu memang dibenarkan pada masa itu—kenyataannya sampai sekarang juga masih berlaku. Ketika Nabi ‘Isa datang, beliau berkata, jika seseorang menamparmu di pipi kanan, berikan juga yang kiri. Di sini juga masih terdapat keinginan, sama halnya bila kalian berkata, “Baiklah, pukullah aku di sisi yang ini juga.” Masih ada suatu keinginan dari dirimu. Dalam ajaran Naqsybandi, kalian bahkan tidak diizinkan untuk memiliki keinginan itu.

Sekarang, sesuatu telah merasuk ke dalam hati si pegulat dan mengubah dirinya. Tetapi dia tidak menolak perintah yang diberikan oleh Syaikh. Sekarang jika Syaikh menyuruhmu untuk memukul orang dengan sebuah tongkat, apa yang akan kalian katakan? Kalian akan menolak perintah itu. Seorang murid mengambil tongkat dan pergi, tetapi dia merasa bimbang sekarang. Mengapa dia harus memukul orang tua itu? Namun dia tetap pergi juga ke ladang dan menemukannya, seperti yang dikatakan Syaikh, orang itu sedang membajak ladangnya. Dia berjalan di belakangnya, dan mengingat pesan Syaikh bahwa dia harus mematahkan tongkatnya di punggung orang tua itu. Pada saat itu perasaannya bercampur, sedih dan gembira, lain halnya pada kedua orang sebelumnya, di mana dia benar-benar bisa menikmatinya!

Dia mengambil tongkat dan memukul punggung orang tua itu. Tetapi karena perasaannya galau, dia tidak melakukannya dengan tenaga yang cukup untuk mematahkan tongkat itu. Segera setelah dia memukulnya, petani itu menginjak alat bajaknya, lebih dalam agar bisa bekerja lebih cepat, tanpa melihat ke belakangnya. Si pegulat berpikir, “Aku harus mematahkan tongkat ini.” Dengan segala kekuatannya sekarang dia memukul kembali, namun masih belum bisa mematahkan tongkatnya. Petani itu menekan kembali alat bajaknya dengan penuh tenaga sehingga kerbaunya makin cepat bergerak, demikian cepat sampai petani itu jatuh berlutut. Tetapi si pegulat harus mematahkan tongkatnya, sekarang dia mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan dengan seluruh tenaga yang dimiliki, dia ayunkan tongkat itu ke atas punggung petani hingga tongkatnya patah.

Orang tua yang malang itu terjerembab ke tanah, tetapi dengan segera dia bangkit dan mendatangi pegulat tadi dengan merangkak. Tanpa sepatah kata pun, dia meraih tangan si pegulat dan berucap, Berikanlah tanganmu, biarkan aku menciumnya. Karena dosa-dosaku Syaikh mengutusmu kepadaku untuk memperbaiki aku. Aku tahu kalau aku melakukan kesalahan. Engkau adalah alat untuk mengoreksi kesalahanku.” Orang tua ini berkata demikian meskipun dia membutuhkan koreksi sebab dia telah menjadi orang yang “terkoreksi”, dia adalah seorang murid thariqat Naqsybandi, yang berarti dia telah mencapai derajat yang tinggi. Dia melanjutkan, “Aku menyebabkan tanganmu merasa sakit karena harus memukulku dengan keras. Maafkanlah aku, janganlah engkau menentangku di Hari Pembalasan nanti, dalam kehadiran Allah, Rasulullah dan Syaikhku! Aku merasa malu terhadap Syaikhku, yang mengirimkanmu kepadaku untuk mengoreksiku. Maafkanlah aku karena menyakiti tanganmu.” Dia bahkan tidak menyinggung-nyinggung soal punggungnya.

Bagaikan tersiram air dingin, pegulat itu meleleh. Dia kembali kepada Grandsyaikh dengan perasaan sangat malu. Di sana, Grandsyaikh menyuruhnya duduk dan menerangkan semuanya. “Wahai anakku, orang pertama yang engkau temui adalah orang pada tingkat pertama, seorang pemula yang belum memasuki thariqat Naqsybandi. Ketika engkau menepuknya, dia hanya melihatmu, tetapi dia melihat dengan kemarahan. Hal itu berarti dia tahu ini berasal dariku, bahwa aku mengutusmu untuk mengoreksinya, tetapi dia tetap memiliki rasa marah dalam hatinya, sehingga engkau bisa melihat pada raut mukanya. Orang kedua berada di tingkat kedua, musta’idd, “siap” untuk masuk dan menjalani thariqat Naqsybandi. Ketika kalian memukulnya, dia menoleh padamu, tetapi dia tertawa, ini menunjukkan adanya suatu keinginan, seolah-olah dia berkata, “Wahai Syaikhku, Aku tahu ini berasal darimu dan Aku tertawa. Engkau mengujiku, dan Aku akan bertahan.” Oleh sebab itu di sana masih terdapat suatu keinginan.

Perhatikan hal-hal kecil yang diperhatikan oleh Syaikh. Maulana mengatakan sesuatu, lalu orang-orang menentang, berkeberatan, atau menolaknya. Jika kalian menolak, mengapa kalian mengikuti Maulana? Kalian mengikutinya untuk belajar. Oleh sebab itu, belajarlah sebanyak-banyaknya. Jika kalian tidak menolak, jangan melawan, jangan berkeberatan, apapun yang ingin dilakukan Maulana kepadamu, apakah boots, atau sepatu atau tanpa sepatu. Jangan bertanya mengapa… terima saja. Apa yang akan terjadi? Apakah kalian menginginkan cinta Maulana atau cinta orang-orang? Apakah kalian menginginkan gelar dari Allah dan dari Surga, gelar dari Syaikh atau kalian ingin mendapat gelar dari orang-orang yang akan memanggilmu Syaikh?

Orang ketiga yang harus dipukul oleh si pegulat, ketika dia terjatuh dan tongkatnya patah di punggungnya, menoleh ke belakang dan mencium tangan penyerangnya. Dia berkata kepadanya, “Maafkan aku karena menyebabkan tanganmu terluka karena dosa-dosaku, jika aku bukan pendosa, Syaikhku tidak akan mengirimkan engkau kepadaku untuk mengoreksiku.” Orang itu tidak mempunyai dosa, dia termasuk pengikut thariqat Naqsybandi dan telah berusia 80 tahun. Tetapi dia masih menganggap dirinya pendosa dan menerima anggapan bahwa dirinya seperti itu. Dia tidak ingin memberitahu egonya bahwa dia adalah sesuatu. Kalian harus selalu menempatkan egomu serendah-rendahnya dan katakan kepada egomu, “Meskipun kalian adalah Wali terbesar, kalian tetap bukan apa-apa.” Sebagaimana yang dikatakan oleh Maulana Syaikh Nazhim, “Saya selalu berusaha untuk berkata kepada ego bahwa Saya adalah debu—tidak eksis.” Kalian tidak bisa memberikan sesuatu kepada egomu untuk dibanggakan. Kalau tidak, dia akan membunuhmu, padahal kalianlah yang harus membunuhnya.

Orang tua itu berkata, ”Maafkan aku karena menyakiti tanganmu. Di Hari Pembalasan jangan datang kepada Allah dan meminta pembalasan terhadapku. Oleh sebab itu, biarlah kucium tanganmu.“ Sangat penting bagi seseorang yang tidak bersalah, menganggap dirinya bersalah. Ini adalah pengorbanan terbesar. Ketika Sayyidina Abu Yazid Tayfur al-Bistami pergi dengan kapal laut pada saat badai, kapten kapal berpikir bahwa kapalnya akan terbalik, sehingga dia berteriak, “Pasti ada seorang pendosa di antara kita! Kita harus melemparkan orang itu ke laut agar menjadi tenang.” Sayyidina Abu Yazid mengamati mereka dan berkata, “Mereka ini adalah sekumpulan orang-orang bodoh, mereka akan melemparkan seseorang yang tidak bersalah ke laut.” Beliau mengorbankan dirinya dan berkata, “Akulah si pendosa.” Lalu mereka melemparkan dirinya ke laut, dan laut pun menjadi tenang.

Menganggap dirimu seorang pendosa meskipun sebenarnya bukan adalah pengorbanan terbesar. Grandsyaikh melanjutkan, “Orang yang berumur 80 tahun itu adalah murid thariqat Naqsybandi, sebab dia melihat segala sesuatu yang datang berasal dari Syaikh, bukan dari si-X, Y, atau Z.” Maulana Syaikh Nazhim membawa kita ke sini (Masjid Pekham di London) setiap tahun untuk menguji kita, sebab ini adalah tempat untuk percobaan. Di sini terdapat berbagai macam kesulitan. Seperti halnya naik haji, setiap orang bertengkar dengan yang lain, sebab terlalu banyak orang dan terlalu banyak urusan. Kalian harus belajar bersabar.

Sumber : http://ariefhamdani.blogspot.com/2004_08_01_archive.html

© Copyright 2012 Sufilive. This transcript is protected by International Copyright Law.‬ ‪ Please attribute Sufilive when sharing it. JazakAllahu Khayr.‬

 Setya Sastrodimedjo

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar