Huh!
Puihh!
Kotor, bau sekali! Gelap!
Hidungku seakan gatal!
Aku mengamati sekelilingku, kulirik kekanan, debu, kekiri, debu, depan, samping, debu. Kupandangi seluruh badanku, dari kaki, perut, dada, tangan, leher, kepala, aghh, debu, debu dan debu. Oh, seluruh badanku pun kotor. Aku tak tahan mencium aroma ini. Sungguh.
“Tempat apa ini?”, pikirku. Gelap dan kotor. Najis, aku tak rela berada di tempat ini. Siapa yang telah tega mencampakkanku disini. Aku tak berdaya mengingatnya. Sungguh. Aku tak ingin terisolasi di tempat kumuh ini. Bagaimana mungkin, sosok seperti aku bisa berada disini? Aku ini adalah makhluk dari sebuah kota yang selalu membuat manusia terpesona memandangnya. Sesekali terasa dihidungku aroma tak sedap. Oi, betapa.
“Hacuih”! Jijik. Tolong aku. Tolong. Selamatkan aku dari tempat ini. Apa aku narapidana? Memangnya apa yang telah aku lakukan? Apa aku telah membunuh? Apa aku mencuri, merampok? Apa aku telah menculik? Apa aku telah berzina? Apa aku korupsi? Apakah aku menipu? Bagaimana mungkin? Oh, tidak mungkin. Sungguh tidak. Hahahaha, lalu mengapa aku disini?
Tolol. Mengapa aku bertanya pada diriku sendiri, padahal aku sadar diri aku tidak mampu menemukan jawabannya. Dimanapun kucari takkan dapat. Di bawah meja, di bawah kursi, di lemari, di laci, di rak-rak buku, di balik pintu, di balik baju, di balik rok, di balik celana, di rumah pak RT, di rumah pak RW, di rumah sakit, di terminal, di hotel, di mall, di gedung sekolah, di gedung DPR, di gedung MPR, di gedung aparat, atau di Istana Presiden sekalipun, takkan kudapatkan. Atau mungkin di kolong jembatan akan kutemukan? Atau disepanjang aliran sungai Deli dan Babura? Ahgggh, konyol. Bagaimana mungkin?
***
Kulihat sepasang mata melirikku dengan lirikan mengejek. Sekelompok makhluk mondar-mandir di hadapanku memamerkan kebahagiaan mereka, memantatiku. Hina. Seakan ku mendengar bisik-bisik tetangga mengataiku,. Tak begitu jelas. Hanya selalu angin saja. Tetapi, aku yakin mereka sedang membicarakan penderitaan diriku. Sepasang sosok berjubah hitam mencibirku. Alamak, hatiku pedih. Aku tak sanggup menerima keadaan ini. Apakah mereka membenciku? Ataukah hanya perasaanku saja? Tidak, aku yakin, ada benci yang bersemayam dihati mereka. Aku bisa membacanya dari sikap mereka terhadapku, raut wajah mereka ketika menatapku.
“Agghhh, apa yang terjadi? Mengapa aku tidak ingat apapun?”, teriakku.
Tetapi ada satu hal yang aku ingat. Tempatku bukan disini. Aku ingat sebuah ruangan yang mewah, kasur yang empuk, dan wanita cantik. Ya, aku ingat itu. Dimana? Dimana itu semua? Aku tak ingat.
Aku juga ingat, wanita itu. Dia yang membawaku ke surga itu. Aku ingat tatapan matanya ketika memandangku. Tatapan pertama yang penuh nafsu. Akupun terus menggodanya dengan pesona karismaku, berharap dia akan menaruh hati padaku, lalu dia akan membawaku menikmati surga.
Aku ingat, aku dan teman-temanku selalu memasang wajah manis setiap pengunjung datang. Kami selalu bertaruh, siapa yang laku hari ini? Siapa yang akan dibeli hari ini? Siapa yang akan mengecup surga hari ini? Siapa yang akan menjadi teman tidur, atau sekedar sosok untuk dipandang, dipajang, dinikmati. Oi, oi,oi.
Pada hari itu, wanita itu memilihku. Aku sudah yakin. Pasti. Aku paling menarik diantara teman-temanku. Sungguh aku berbangga hati. Kulambaikan tanganku sebagai salam perpisahan pada teman-temanku. Aku mencibir mengejek mereka. Hahahahaha. Akulah pemenangnya. Aku akan segera menikmati surge kemewahan.
Sungguh dugaanku tak meleset. Aku memasuki ruangan mewah, sejuk, dan nyaman. Malam ini jadi malam pertamaku di ruangan ini, dan aku bertyambah bahagia ketika wanita cantik itu tak hanya menjadikanku sebagai bahan pajangan untuk dinikmati. Aku menjadi teman tidurnya malam ini, semoga seterusnya. Betapa tidak. Bagaimana mungkin aku menolaknya. Kasur empuk itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Tubuhku bertambah hangat ketika wanita itu memelukku. Ada sebuah kedamaian kurasa mengalir di sanubariku.
Esoknya, wanita itu masih memperlakukan aku dengan sangat istimewa. Aku menjadi makhluk paling dimanjakan sedunia. Mungkin. Dia selalu membelaiku, mengelus kepalaku, menciumku, dan memelukku. Ada kehangatan cinta yang kurasa darinya.
Esoknya lagi, diapun masih memperlakukan hal yang sama. Esoknya, esoknya, esoknya, dan ntahlah. Aku tak menghitung setiap detik, menit, jam, dan hari yang telah kami habiskan bersama. Bagaimana mungkin? Tidak mungkin. Aku kan tolol.
Hmm, tidak. Lalu, dimana wanita cantik itu sekarang? Dimana dia? Aku tak menemukannya di tempat kumuh ini. Tidak. Memang tidak mungkin. Tapi, mengapa aku bias disini. Apa dia telah mencampakkanku? Apa dia yang telah mengisolasikanku di tempat kumuh ini? Ya, dia mencampakkanku ketika masih terlelap menikmati kasur empuknya. Mungkin malam itu dia telah menghipnotisku agar tidak bangun sampai dia selesai melakukan misinya. Ah, bagaimana mungkin aku menghakiminya tanpa melihat bukti yang jelas, itu fitnah namanya. Ahghhh.
Ya Tuhan, aku tak mau disini, tak mau. Hatiku sedih, tapi tak setetespun air mata bergulir dipipiku. Oh, betapa.
Sosok-sosok di tempat kumuh ini semakin menjadi-jadi menghinaku. Rasaku. Memekik telingaku. Menorehkan luka yang semakin menganga. Harga diriku seakan luruh. Aku bukan narapidana. Aku bukan pencuri. Aku bukan perampok. Aku bukan pembunuh. Aku bukan penzina. Aku bukan koruptor. Aku bukan penipu. Bukan. Bagaimana mungkin bisa?
Kumohon, jangan pandangi aku seperti itu. Aku ini hanya korban. Korban? Ya, korban nafsu wanita itu. Setelah itu aku dicampakkan begitu saja. Aku yakin. Ah, bagaimana bisa aku menuduhnya lagi, aku tak mau memfitnah.
“Tolong! Tolong! Tolong!, tolong keluarkan aku dari sini, kembalikan aku kepada teman-temanku, kumohon.”
Ada sesal yang tertoreh di hatiku. Aku tak menyangka nasibku begini. Kalau begini aku akan memasang wajah masam saja waktu itu agar si wanita brengsek itu tak memilihku.
Tiba-tiba tempat kumuh yang gelap menjadi terang.
“Kreakkk.”
Terlihat dua sosok berdiri, yang satu memegang handel pintu, dan yang berdiri tepat dihadapanku itu sangat kuingat. Wanita cantik itu. Apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka akan mengeluarkanku dari tempat terkutuk ini? Apa mereka akan menyelamatkanku dari isolasi ini?
Oh, syukurlah. Mereka menghampiriku. Kusunggingkan senyumku, senyum yang membuat wanita cantik itu terpesona akan karismaku, tatapan pertama. Kuharap dia akan membawaku menikmati surga lagi.
Ahggh, meleset. Dia membawaku dengan paksa, seakan jijik. Ya, dia jijik dengan keadaanku sekarang. Aku sadar, aku bukan yang dulu. Aku pasrah, terserah dia akan membawaku kemana.
“Hacuih!”
Tempat apa pula ini? Jorok, bukan kotor. Aromanya jauh lebih menusuk. Busuk. Ah, apa riwayatku akan tamat di tempat busuk ini? Dia membantingku. Badanku sakit sekali. Tak sampai patah tulang. Tak mungkin. Tiba-tiba semua gelap, hitam.
***
Aku melihat sosok yang tersenyum padaku. Senyum yang berbeda. Tatapannya pun. Jauh dari tatapan nafsu wanita itu. Aroma segar terasa menggelitik hidungku. Surga, inikah? Aku menatap sekelilingku, sederhana tapi asri. Kupandangi tubuhku. Wow, betapa, betapa. Betapa aku senang aku seakan kembali seperti dulu. Karismaku seakan kembali. Kutatap dadaku, “Teddy Bear”, masih jelas terlihat. Oi, oi, oi.
Oleh: Fitrah Nuraidillah Nst
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar