BAYANGANKU, NYATAKU
B |
aik. Satu kata yang mewakili pribadinya. Ia selalu mengerti aku. Ia juga yang membuat perasaanku jadi seperti ini, galau. Semenjak kenal dengannya, entah mengapa aku selalu teringat akan wajahnya yang mungil dan kulitnya yang kuning. Tingginya sekira telingaku, itu pun sudah termasuk rambutnya yang hitam tebal menghiasi kepalanya. Ialah Ayu, sahabatku. Ya, sahabat.
Pagi itu tak seperti biasanya. Ayu yang ceria hari ini terlihat padam. Seperti ada yang disembunyikan dariku. Entah apa itu, aku pun tak tahu.
“Yu, kau kenapa? Wajahmu terlihat murung. Ada masalah?” tanyaku padanya yang terduduk lesu di bangkunya.
“Nggak kok, Mas. Ayu cuma gak enak badan,” jawabnya singkat seraya pergi meninggalkanku yang baru saja berada di sampingnya.
Ayu memang memanggilku dengan sebutan “Mas”. Entah mengapa, padahal dengan cowok lain ia biasa saja, hanya memanggil nama. Namun itu tak menjadi masalah bagiku, aku pun nyaman.
Tanda tanya masih menyelimuti perasaanku mengenai pengakuan Ayu tadi. Aku tetap yakin dia ada masalah. Tapi apa? Ayu tak biasanya seperti ini, menembunyikan masalahnya padaku. Sebelumnya ia selalu bercerita padaku, apapun itu. Namun hari ini ia malah menghindar.
Setiap kami ngobrol, aku merasa nyaman di dekatnya.ingin sebenarnya aku meluruskan perasaan, tapi entah mengapa lidah ini kaku saat hendak mengucapkannya. Aku lebih memilih seperti ini, menjadi sahabatnya, menunggu masa datangnya keajaiban!
***
Hari ini pelajaran oleh raga. Memang agak siang, tapi itulah keadaan. Kelasku kebagia jam ketiga.
“Yu, kamu sudah enakan apa belum? Mau olah raga, gak?”
“Gak lah, Mas,” ucapnya pendek.
“Oh, ya sudah. Nanti Mas izinin ke Pak Umar, ya!”
“ Gak usah, Mas. Nanti Ayu saja yang bilang. Mas gak usah repot-repot.”
“Tapi apa gak sebaiknya Mas aja? Mas khawatir, kamu gak kuat,” sikap perhatianku melai nampak di hadapan Ayu. Ayu pun tersenyum malu.
“Gak usah, Mas. Ayu kuat, kok. Mas olah raga saja, Ayu gak apa-apa.”
Sepertinya masih ada yang disembunyikannya. Aku mencoba percaya saja. Hanya mencoba.
Aku pun pergi meninggalkan Ayu sendiri di dalam kelas dan bergegas menuju lapangan basket, bermain bersama teman, menunggu kehadiran Pak Umar.
“Itu Pak Umar. Yuk baris!” seru Venda, sang kepala suku. Kami pun langsung baris dengan cepat, takut dengan Pak Umar yang berwajah penuh ekspresi menyeramkan itu. Satu salah, yang lain kena semua. Katanya sih “Persahabatan Tak Berarti Tanpa Adanya Pengorbanan”.
***
Bel pulang pun berbunyi. Terik matahari menyengat kulit. Makin hari makin panas rasanya. Katanya sh, ada badai matahari di tahun ini. Tapi bagiku, bukan karena itu. Aku menganggap ini sudah biasa, akibat penimbunan gas CO2 di udara. Begitulah Jakarta. Tak pernah malu dengan Sang Khalik, pencipta alam semesta. Bisanya hanya merusak, merusak, dan merusak. Kesadaran lingkungan hanya kata-kata! Kalaupun saja Tuhan murka, habislah semua ini.
Aku masih ragu dengan wajah Ayu yang tiba-tiba seperti itu. Bagai bulan purnama yang tiba-tiba tertutup awan comulu nimbus. Padam. Hingga malam tiba, perasaan itu masih saja ada. Aku pun tak tahu mengapa. Hari ini aneh!
Ah, kubuang dulu penasaran dalam dada. Fokus ke buku di tangan. Aku memang biasa me-review pelajaran-pelajaran yang telah kudapat di sekolah sebelum tidur. Buku Fisika sekarang dalam peganganku. Apa itu? Selembar kertas tiba-tiba jatuh dari sela-sela buku penuh rumus itu. Kubuka, lalu kubaca. Tulisannya...
Untuk Mas Yogi
Mas, maaf kalau hari ini Ayu sudah bikin Mas khawatir akan keadaan Ayu. Sebenarnya Ayu gak sakit, Mas. Ayu cuma pura-pura, soalnya Ayu ingin menyelipkan kertas ini di buku Mas.
Melalui tulisan ini, Ayu pengin bilang sama Mas Yogi. Ayu pengin ngungkapin perasaan Ayu yang sebenarnya kalau sebenarnya Ayu itu... emm Ayu.... sayang banget sama Mas. AYU CINTA MAS.
Dari Ayu, sahabat yang ingin cintamu.
Deg. Benarkah ini? Ayu punya rasa yang sama denganku? Ayu sayang aku? Ayu cinta aku?
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar