Perkenalkan, namaku Chandra. Berdarah India. Tapi jangan kau kira aku seperti artis-aktor Bollywood. Aku justru lebih mirip orang Negro. Hidungku mancung. Rambutku ikal. Kulitku yang hitam semakin gelap tertimpa cahaya matahari saban hari. Aku bekerja sebagai penjual obat keliling. Orang-orang menyebutku sebagai tukang koyok. Obat apa saja ada padaku. Para dewasa selalu menanyakan satu jenis obat. Bahkan pernah seorang remaja tanggung menanyakan obat yang selalu ditanyakan oleh para orang tua itu.
Dalam menjual segala jenis obat, aku berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Bertandang dari satu rumah ke rumah lainnya. Biasanya para penderita sakit menahun adalah korban rayuanku. Dengan kemampuan bicara yang sedikit kudramatisir sedramatis mungkin. Aku bisa meyakinkan mereka dengan rayuan omong kosong yang kusemburkan. Seperti bisa ular yang menyebar dan melumpuhkan syaraf mangsanya.
“Dijamin, Pak, dalam dua puluh hari istri bapak akan sembuh!”
Begitulah jurus pamungkas yang selalu aku dengungkan. Tentu saja mereka percaya. Aku bisa melihat itu dari sorot mata mereka yang berbinar penuh harap. Kadang aku tak tega juga. Perasaan bersalah kerap kali bersarang di kepalaku. Tapi apa boleh buat? Inilah profesiku. Ladang usahaku, keahlianku untuk mencari makan buat anak-anak dan istriku tersayang. Biar saja orang-orang menggatakanku pembual kelas kakap, lagi pula zaman sekarang mencari kerja itu susahnya minta ampun. Pun aku hanya tamatan SD.
Keahlian apa yang kumiliki selain mengibul? Anak , istriku butuh makan, biaya sekolah, butuh kebutuhan lainnya. Kalau kata sebagian orang, mencari yang halal saja susah apalagi yang haram.
***
“Bang, apa kau tak mau mencari pekerjaan lain? Apa kau akan terus menerus menyumpal perut anak-anakmu dengan makanan yang haram?” istriku sibuk merepet tak karuan.
Diam. Hanya itu yang bisa aku lakukan.
“Aku takut dosa, Bang!” tegasnya.
Dosa? Kata itu sering melintas di pikiranku. Tapi aku tak takut. Biasa saja!
“Kalau kau tetap menafkahi kami dengan yang haram, lebih baik kita cerai saja. Aku mau cari suami baru yang lebih bertanggung jawab, aku nggak sanggup mendengar omongan tetangga tentang kau!” tukasnya lagi dengan nada serius.
Aku ingin tertawa, tapi kutahan. Sejak kapan aku peduli omongan orang tentangku? Sejak kapan pula aku mulai memikirkan kata-kata istri brengsek ini? Minta cerai pula ia, ada-ada saja! Mati-matian dulu aku mendapatkanmu. Kini, haruskah dilepas begitu saja? Jangan harap. Dasar matre!
“Lihat anak-anak kita, susah diatur, pembangkang dan suka berkelahi dengan kawan-kawannya!”
Pembangkang? Itukan salahmu. Berarti kau yang tak becus mengurus anak-anakmu. Tugasku hanya mencari nafkah.
“Inilah buah hasil dari jerih payahmu,menyumpal anak-anak kita dengan makanan haram!”
Alamak! Sekarang kau malah menyalahkan aku. Apa kau tidak tahu saban hari aku memikirkan bagaimana agar kalian bisa hidup nyaman dan makan enak?
“Bang, kenapa kau diam saja?”
Diam! Tidak? Aku berbicara dalam hatiku.
“Kita bercerai baik-baik atau aku minggat dari rumah ini?” ia memberiku pilihan yang sulit.
Jangan harap aku akan menceraikanmu.
Aku sering tertegun sendiri. Jujur , aku pun ingin menyudahi semua ini. Tapi, lagi-lagi aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Anak dan istriku makan apa bila aku berhenti menjual obat-obatan palsu ini? Lagi pula orang-orang yang kutipu tak pernah protes. Bahkan sampai detik ini, aku merasa aman dan baik-baik saja. Ah, yang penting aku bekerja.
***
“Selamat siang, Dek. Benar ini rumahnya Pak Bullah?” sapaku sesopan dan selembut mungkin pada seorang remaja tanggung. Aku nekad menyambangi rumah ini. Kulihat di beranda rumahnya ada kursi roda. Aku yakin sekali ada keluarganya yang sakit. Lalu, ide muslihatku keluar. Aku pura-pura bertanya pada tetangganya. Mencari tahu siapa yang sakit dalam rumah itu. Lantas, berlakon layaknya para sakti mandaraguna, seolah-olah tahu apa yang tengah terjadi.
“Ya, benar! Ada apa ya?”tanyanya balik.
“O, perkenalkan, saya Chandra, saudara jauh ayahmu” ujarku memperkenalkan diri.
“Saudara? Kok saya belum pernah ketemu?” tanyanya penuh tatapan curiga.
“Ya, aku anak dari temannya ayahmu. Lama ayahmu tak berkunjung ke rumah kami, lalu aku dapatkan kabar kalau ayahmu sedang sakit” aku berusaha meyakinkan.
“O, silahkan masuk!”
Aha, umpan pertamaku berhasil.
“Ayah terbaring di kamar. Tidak bisa bicara dan berjalan. Tubuh sebelah kanannya lumpuh. Stroke!” jelas anak itu.
“Kau sendirian?”
“Mamak saya kerja, sore nanti baru pulang. Kakak saya di Malaysia” jelasnya lagi.
“O, boleh aku melihat ayahmu?”
Remaja tanggung itu mengantarku ke kamar ayahnya. Disana kutemukan seonggok tubuh terbaring lemah. Tubuhnya kurus. Wajahnya tirus. Matanya cekung sekali! Ah, ada sedikit perasaan iba menyelinap dalam diriku. Tapi sudah dua hari ini tak sepeser uangpun kudapat.
“Ayah, ini ada anak teman ayah ingin menjenguk keadaan ayah”
Aku mengambil posisi. Duduk di sampingnya.
“Pak, ini saya, Chandra!” aku pura-pura mengenalnya.
“Saya kemari disuruh bapak, untuk mengantarkan obat, mudah-mudahan bapak cepat sembuh”
Lelaki paro baya tersebut hanya memandangiku. Matanya nyalang menatap penuh curiga.
“Oya, dek. Saya kemari bawa obat buat ayahmu. Ramuan yang dapat menyembuhkan dalam waktu yang sangat cepat, hanya dua puluh hari, saya berani jamin, ayahmu akan dapat berjalan dan berbicara kembali!” aku memulai aksi.
Aku menggeluarkan dua botol kecil berisi daun-daun kering dari tas hitamku yang selalu kubawa. Untuk lebih meyakinkanku, kuminta anak itu menyodorkan tanganya.
“Ini minyak dari India, hapuskan pada tubuh ayahmu yang kaku!”
Remaja tanggung ini percaya. Ia mengusapkan minyak tersebut pada kaki dan lengan ayahnya. Tinggal selangkah lagi, usahaku akan berhasil.
“Nanti, kau minumkan ramuan ini pada ayahmu setiap malam. Caranya sedu dengan air hangat!” jelasku lagi.
“Maaf, Pak. Begini saja, nanti sore bapak datang lagi. Bicara dengan mamak saya, sekarang ini saya tidak bisa memutuskan apa-apa” tiba-tiba ia berkilah.
“Adek nggak mau, ayah sembuh? Nanti sore saya ada keperluan lain, saya nggak jamin bisa kemari lagi, karena besok pagi saya harus pulang ke Jawa” aku coba menggertaknya.
“Saya mengerti. Inilah yang kami harapkan, ayah bisa sembuh. Apa obat ini gratis?” tanyanya polos
Aku tersenyum.
“Ya sudah, kau ambil saja obat ini, saya jauh-jauh membelinya dari India khusus buat ayahmu. Karena kita bersaudara, saya hanya minta maharnya tujuh puluh lima ribu saja!” aku langsung saja pada inti transaksi ini.
“Tapi, saya tidak punya uang segitu, uang saya hanya ada dua puluh ribu”
Sial! Aku seperti salah sasaran.
“Ya sudah, kalian sudah kuanggap saudaraku sendiri, ambillah obat ini!”
Anak tersebut merogoh kantungnya. Ia berikan dua lembar uang sepuluh ribu.
“Tadi, bapak bilang obat ini sengaja dibawa untuk ayah tapi kok jadi bayar sih?”
Brengsek! Anak ini mulai mencurigaiku. Aku masih harus memainkan peranku. Aku memasang senyum terindah yang aku punya.
“Sebenarnya obat ini adalah pesanan orang yang juga terserang stroke. Tapi ketika saya mendengar ayahmu sakit, maka obat ini ingin saya berikan pada ayahmu dulu. Jadi anggap sajalah, uang yang kau berikan sebagai ongkos mengantar obat ini” kilahku lagi.
Ia mangut-mangut saja. Kulihat di raut wajahnya masih ada sebersit ragu.
“kalau begitu saya permisi dulu. Sampaikan salam saya pada mamakmu. Pak, saya permisi dulu, semoga cepat sembuh! Pamitku pada keduanya.
“Oya, jangan lupa minumkan obat itu tiap malam selama dua puluh hari! Dan ini saya berikan bonus, minyak urut” sodorku padanya.
“Terima kasih, Pak” Ia tersenyum di dagu pintu.
***
Aku menggipaskan wajahku yang dirembesi peluh dengan potongan kardus kecil. Belakangan, penghasilanku menurun drastis. Banyak masyarakat yang mulai tak percaya dengan omong kosongku. Penjual koyok. Sudah kubilang, aku tak punya cara lain selain menjadi penjual obat palsu.
Panas begitu merambat di kepalaku. Keringat mengalir susul menyusul. Jam sudah pukul tiga sore. Aku menyekah peluh dan bulir keringat di wajah. Duduk di halte sendiri. Entah mengapa, tubuhku letih sekali. Aku ingin pulang secepatnya. Merebahkan diri. Meski tebusannya, aku harus rela mendengar omelan istriku. Tak lama bus yang ingin kutumpangi datang. Aku melesat masuk. Duduk di kursi belakang. Mataku mulai ketar-ketir menahan kantuk. Dalam kejab aku tertidur lelap.
***
“Tas, tas saya mana?” tanyaku pada kernet.
“Manalah aku tahu dimana tas abang” ujarnya dengan logat batak yang tajam.
Aku sibuk menjelajah sekitarku. Kolong kursi, depan , belakang. Nihil! Kulihat bus ini penuh sesak penumpang. Aku tak tahu dimana tasku berada. Firasatku mengatakan kalau tas ini pasti dicuri.
“Sial! Tasku dicuri” ceracauku sendiri.
Padahal di dalamnya kuselipkan uang simpananku. Memang, jumlahnya tak banyak bagi orang-orang yang berduit. Tapi bagi kami, orang-orang kecil. Jumlah itu tak sedikit. Aku turun pada perempatan lampu merah. Langkahku kian gontai tak karuan. Penampilanku lusuh sekali. Tubuhku lemas sekali. Kepalaku pusing tak karuan. Di tengah jalan aku merasakan. Semacam ada yang mendorong kuat tubuhku. aku sempat merasakan melayang. Masih sempat pula kuceracau kata makian.
“Pencuri sial!”
***
Aku pulang dengan tubuh gontai. Limbung hampir tubuhku. Seharian ini belum sesuap nasipun singgah di perutku. Aku seperti orang tenggen yang habis meneguk berpuluh gelas minuman keras. Baru kali ini aku mengasihani diriku sendiri. Aku masih tak tahu harus bilang apa pada istriku nanti. Pikiranku juga sibuk membayangkan anak-anakku yang akan kelaparan. Belum lagi kontarakan rumah yang sudah menunggak lima bulan. Rasanya ingin aku berlari dari ini semua. Rasanya aku ingin mati saja. Tapi senyum, kerlingan mata, celoteh bungsuku, anak-anakku adalah penyemangat hidupku yang kian terpuruk. Aku merasa menjadi bapak yang gagal. Aku tak mampu memenuhi harapan dan keinginan mereka. Tuhan, salahkah pekerjaan yang selama ini kulakukan?
Aku sadar sudah begitu banyak orang-orang yang kutipu. Aku tak ubahnya sama dengan para koruptor negeri ini. Penjual janji palsu demi menguntungkan diri sendiri. Oh, mungkin inilah balasannya. Tasku hilang beserta uang yang selama setahun ini kutabung. Padahal uang itu akan aku gunakan untuk melunasi semua hutang-hutang. Kini kandas. Aku harus siap menerima caci maki istriku. Kali ini aku pasrah jika ia memintaku untuk menceraikannya. Aku akan turuti kemauan perempuan yang telah memberiku tiga orang putra ini. Biarlah ia menemukan jalan hidupnya sendiri. Biarlah anak-anakku ikut bersamanya. Semoga ia menemukan jalan hidup yang baik. Dan aku. Mungkin akan bunuh diri saja. Aku sudah begitu bosan dengan hidup.
Aih, sial! Aku kelelawar yang takut pada siang.Aku tak boleh begini. Lama aku bermonolog pada diriku sendiri. Aku ini seorang ayah. Aku pemimpin keluarga. Jika aku lemah, maka pada siapa lagi istri dan anakku akan berlindung? Baiklah, aku akan memulai semuanya dari awal lagi.
Dengan penuh semangat aku memantabkan langkah. Kali ini meski omelan istriku akan melabuh hebat di telinga. Aku tak peduli. Malah aku akan memeluknya dengan segenap cinta.
Dalam kurun waktu yang tak lama. Hanya lima menit saja. Sebentar lagi aku akan sampai rumah. Kurapikan pakaianku. Kuseka peluh dan keringat di wajah. Kusisir rambutku.
Tak lama. Persimpangan rumah telah tampak. Tapi, tunggu! Mengapa ada bendera merah disitu. Mengapa banyak orang berpeci dan berkerudung. Apa ada yang meninggal? Firasatku mulai tak enak. Kupercepat langkahku. Setengah berlari. Aku semakin dekat dengan tempat yang dikerubungi para pelayat. Astaga! Itukan rumahku. Siapa yang meninggal? Aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Aku membayangkan istriku menenggak racun atau anakku ditabrak lari.
Oh, tidak! Aku tak mau ini semua terjadi. Dengan cepat aku berlari. Aku masuk rumah. Orang-orang ramai di luar dan di dalam. Sebujur mayat di ruang tamu. Itu bukan istriku atau anak-anakku. Jadi, mayat siapa? Aku medekat pada istriku. Aku peluk ia dengan segenap jiwa.
“Abang, tega sekali kau meninggalkan kami!” ujarnya menangis haru pada sebujur tubuh itu.
Aku tergeragap. Mayat itu mirip aku. Aku menjauh. Kusandarkan tubuhku pada dinding.
Aku tak percaya dengan apa yang terjadi. Istriku banjir air mata di pipinya. Anak-anakku menggiba. Ada apa sebenarnya? Mengapa orang-orang mengabaikanku? Istriku, mengapa pula ia mengira aku telah mati. Mayat itu, apakah ia kembaranku? Ah, terlalu banyak teka teki yang tak kumenggerti. Rumit sekali masalah ini. Kumohon bicaralah padaku. Beritahu aku kebenaranya. Siapa mayat yang wajahnya mirip sekali denganku itu? Ya Tuhan, mohon beri aku petunjukmu! Beribu tanya mendesak di kepalaku. Jika aku telah mati. Kapan matinya? Aku merasa baik-baik saja. Tak ada yang kurang dari diriku. Aku masih sibuk mencari tahu hal ini. Kutanya pada setiap orang yang kutemui. Semuanya. Apa aku telah mati?
Tak lama, jasad itu dibawa untuk dimandikan. Aku ikuti. kekagetanku semakin menjadi-jadi. Kulihat kepalanya bocor. Matanya sedikit membelalak. Di hidung dan telinganya masih ada darah. Darah kental. Ih, menjijikan sekali! Bau amis pula. Mayat siapakah gerangan? Mengapa wajahnya mirip aku?
Aku kembali menemui istriku yang mengisak. Sesekali ia berpelukkan dengan para pelayat. Tangisnya mengiris hati. Belum lagi anak-anakku. Kupandangi wajah mereka satu persatu. Aku coba mendekap. Namun aku seperti asap. Tidak! Tidak mungkin. Pasti aku bermimpi panjang. Kumohon bangunkan aku! Ketakutan mulai menjalar. Perlahan aku mulai mencoba mengingat kejadian seharian ini. Kecopetan, turun di perempatan jalan, suara-suara yang memekik, aku yang terpelanting dan terbang, suara mobil mendecit. Astaga! Aku mati ditabrak rupanya. Tragis sekali nasibku!
Seketika air mataku tumpah. Baru saja aku akan memulai semuanya dari awal. Baru saja aku ingin belajar untuk tidak membual. Kini aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku selama ini kepada Tuhan. Medan, Oktober 2010
Oleh : Abdillah Putra Siregar
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar