Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Ir. Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Ir. Soekamo, Bung Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Ir. Soekarno meminta Bung Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Bung Hatta menyarankan agar Ir. Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai, mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir. Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Kehidupan pribadi
Masa Revolusi Pasca Kemerdekaan
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soedirman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden, Mohammad Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul "Lampau dan Datang".
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul "Menuju Negara Hukum".
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia pada waktu itu.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Perpustakaan Bung Hatta memiliki lebih dari 8.000 buku, terdiri dari Sejarah, Budaya, Politik, Bahasa dan lain-lain. Hal inilah yang turut menyumbang kemampuannya dalam berdiplomasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Suri Teladan dari Bung Hatta
Salah satu karya monumental beliau adalah ide tentang pembentukan koperasi. Pemikiran ini kemudian beliau tuangkan melalui pembentukan koperasi pengusaha batik yang berhasil mendorong kemajuan bagi pengusaha batik sampai bisa ekspor ke luar negeri.
Pada saat bangsa Indonesia masih berkutat untuk menumbuhkan minat baca, pemikiran beliau sudah jauh lebih maju dengan memberikan teladan bangsa Indonesia untuk menumbuhkan budaya menulis. Kegiatan tulis-menulis ini telah beliau lakukan sejak masih belajar di negeri Belanda sampai akhir hayatnya. Tak terhitung lagi jumlah artikel dan buku yang telah beliau tulis. Sebuah monumen intelektual berupa perpustakaan di Bukittinggi pun telah didirikan untuk mengenang Bung Hatta.
Ada sebuah cerita yang bisa dijadikan teladan bagi kita, cerita yang mungkin jarang diketahui oleh banyak orang tentang sosok Mohammad Hatta.
Namun, hingga akhir hayat beliau, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi karena tabungan itu selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini adalah guntingan iklan sepatu Bally itu masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana Bung Hatta hingga beliau wafat. Padahal jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu yang masuk dalam jajaran tinggi wakil negara, sebenarnya sangatlah mudah bagi Bung Hatta untuk memperoleh sepatu Bally.
Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Beliau tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri pada orang lain. Bung Hatta lebih memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena beliau lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Itulah salah satu teladan besar yang beliau tinggalkan, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, santun bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.
Galeri ~ Bung Hatta
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar