Puisi: Cipta Arief Wibawa

Bookmark and Share

Ode Malam Buat Gadisku
Malam adalah debar paling mesra yang selalu nikmat kusantap bersama kerinduan. Lewat langit angin masih mengabarkan isyarat tentang getar-getar romansa di wajahmu.
Fragmen malam yang begitu absurd, kamar yang mendadak jadi kota dengan ribuan pemabuk gila tengah sibuk berpesta, meracaui segala hal tentang bahasa hati yang tak akan pernah bisa dimaknai. “Pada detik ini aku bayangkan hujan di luar tengah bergerak lamban meninabobokan kita dengan cerita penantian. Daun yang purna dilabur coklat keemasan pun gugur dan mengabadikan segala rentang usia pada cacing-cacing kecil di tanah gembur milik petani,” lihat di ujung pematang, pipit-pipit pulang dengan paruh kosong dan perut melompong!
Memang hanya untuk sebuah malam yang begitu absurd. Di barat awan tengah memilin bintang, mengingatkanku akan hatimu yang juga selalu menenun setiap episode hari yang kubangun bersama senyuman dan air mata. Derap langkah kita yang meninggalkan jejak-jejak cinta kelak akan kembali berubah menjadi kota. Tinggal di sana kata-kata yang berangkai membariskan diri dalam sebentuk sajak-sajak alit pasal asmara.
Penantian berarti deret purnama yang berguguran di tengah ladang. Mengendap dan menjelma benih bagi hati-hati yang setia mengamsal rindu di geriap kota yang mengabur dari ingatan. Aku percaya musim itu, hari panen bagi petani dan pipit yang bersarang di lesung pipi.
Langit dan angin (masih) mengabarkan isyarat tentang getar-getar romansa di wajahmu.
Rumah Cahaya, 2012


Hatimu
Hatimu yang tersangkut di tiang listrik sudut jalan pada gerimis malam gasal membuat langit menjadi begitu terang meski tanpa bulan tanpa bintang. Aku yang merasa takjub pun lantas segera terbang dan mengambil lembut hatimu untuk kubawa pulang agar jadi penerang kamarku yang sudah sebulan ini gelap karena bola lampu yang kubeli dulu hari di kios setengah hidup-setengah mati milik koko Liong telah memilih untuk mati daripada menjalani hidupnya yang hanya sisa setengah itu. Dalam pulang perjalanan aku senantiasa berharap semoga terang hatimu selalu membuatku tersenyum meski perusahaan listrik yang katanya milik negara itu kadang menyajikan noktah hitam pada malam-malam sederhana kita. Semoga….
Rumah Cahaya, 2012


Pada Suatu Natal
Pelan-pelan kita berjalan menyusuri semak kabut pada pagi sepi dan gerimis tengah sibuk wara-wiri. Pinus-pinus yang berbaris di kiri dan kanan kita seakan menjadi dinding duri yang selalu saja senang menusuk-nusuk kulit kita yang legam. Sekilas kulihat matamu begitu binar melahirkan bintang dan bulan serta secercah harap yang bisa juga ditakar sebagai penantian. Karena tak akan ada lagi dingin selain putihnya salju di bulan Desember, maka biarlah detik terhenti dan menjadi pigura lukis di kamar tempat kita biasa menutup dan memulai segala pernak-pernik hari.
Lonceng-lonceng lahir pada katedral di kota yang lain. Kita melihat ke langit dan kini doa-doa mengalun merdu dari suara bocah-bocah yang entah kenapa untuk episode sajak ini memilih tidur pada kaos kaki yang digantung di dinding-dinding rumah mereka. Cerobong asap adalah jalan bagi bohemian budiman. Abu di unggun mengepul dan bersiap untuk mati.
: Aku ingin kita beranjak dari hari ini. Melangkah pelan-pelan sambil sesekali mengerlingkan mata pada debu yang berputar di belakang punggungmu. Semoga ada tempat untuk kita mati di altar suci misa nanti.
Rumah Cahaya, 2012

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar