Martabat 7 di dalam Mencari Tuhan

Bookmark and Share
Istilah ajaran martabat tujuh, tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah, beliau tidak mengajarkan secara khusus. Ajaran martabat tujuh didalam tasawuf merupakan perkembangan dari ilmu tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah. Kedudukan ilmu ini sama halnya dengan mempelajari ilmu fiqh, ushul fiqh, filsafat, ilmu dirayah hadist, riwayah hadist, ilmu Alqur'an dan ilmu tafsir (ilmu-ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah secara khusus), akan tetapi ilmu-ilmu ini merupakan pembahasan yang mengacu kepada dasar yang telah
diajarkan oleh Rasulullah.

Ada beberapa hal yang menyebabkan ilmu-ilmu itu muncul.

Hadist Rasulullah, yang merupakan qauli (ucapan), fi'li (perbuatan) dan taqriri (ketetapan), ditulis oleh para periwayat hadist secara sederhana, sehingga tidak semua orang mampu mengerti kedalamannya.
Dengan bahasa yang digunakan oleh Rasulullah banyak diantara sahabat yang bukan orang asli Arab setempat tidak mengerti maksudnya. Hal ini disebabkan gaya bahasa yang disampaikan terlalu tinggi balaghahnya (biasanya sering menggunakan bahasa perumpamaan), yang terasa sulit bagi kita untuk mengerti, akan tetapi pada saat itu para sahabat bisa langsung bertanya kepada Rasulullah apabila ada kalimat yang tidak bisa difahami.

Persoalan kadang juga muncul karena ada kata yang bersifat musytarak (satu kata banyak arti ), sehingga sulit bagi generasi setelahnya untuk menentukan makna yang sebenarnya seperti kata lamastum (Qs: An Nisa':43) yang memiliki dua arti yaitu menyentuh dan bersetubuh .

Kemudian di bidang Hadist, ..banyak para periwayat tidak menggunakan bahasa yang redaksinya berasal dari Rasulullah. Setelah mereka melihat perilaku Rasulullah, lalu mereka menulis redaksi hadist tersebut dengan bahasanya sendiri, sedangkan kita tahu bahwa setiap periwayat tidak semuanya berasal dari orang-orang Arab setempat, akan tetapi ada yang berasal dari Yaman, Madinah, Persia dan kaum Baduy yang berasal dari pegunungan, yang kesemuanya itu memiliki dialek yang berbeda.

Oleh karena itu wajarlah hikmah itu muncul dengan adanya ilmu-ilmu seperti ilmu balaghah, ilmu Bayan, ilmu ushul Fiqh, ilmu Dirayah, Riwayah, mustalahul hadist, ilmu tauhid dll.

Dengan demikian kita boleh menerima apa yang datang dari gagasan ulama masyhur, selama tidak bertentangan dengan Alqur'an dan Al hadist. Salah satunya tentang ajaran Martabat Tujuh. Tetapi apabila kita tidak setuju dengan pendapat ulama tersebut, sebaiknya kita menjadikan ilmu tersebut sebagai wacana keilmuan Islam yang berkembang .

Ajaran martabat tujuh di susun oleh Muhammad Ibn Fadhilah dalam kitabnya Al Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi. Dalam kitab ini diterangkan bahwa Dzat Tuhan merupakan Wujud Mutlak, tidak dapat dipersepsikan oleh akal, perasaan, khayal dan indera.. Dzatullah sebagai aspek bathin segala yang maujud (ada), karena Tuhan meliputi segala sesuatu (Lihat surat Fushilat :54) dan untuk bisa memahami wujud Tuhan yang sebenarnya secara transenden harus setelah bertajalli sebanyak tujuh martabat yakni :

1. Martabat Ahadiyat, yaitu martabat la Ta'yun dan ithlaq. Ialah tahap yang belum mengenal individuasi, inilah martabat yang tersembunyi (kosong), karena belum ada ide-ide, namanya Dzat Mutlak. Hakikat ketuhanan.tak seorangpun dapat meraih-Nya, bahkan nabi-nabi dan wali-walipun tidak. Para malaikat yang berdiri dekat Allah tidak dapat meraih hakikat Yang Maha Luhur, tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikat-Nya. Sifat-sifat dan nama-nama belum ada, sebuah manifestasi yang jelaspun belum ada. Hanya Dialah yang ada dan nama-Nya ialah " wujud makal" Dzat Yang langgeng, hakikat segala hakikat. AdaNya ialah kesepian atau kekosongan ( kosong tapi ADA). Siapakah gerangan yang tahu akan hal keadaan ini?

Diantara semua martabat, tak ada satupun yang melebihi martabat ini yang bernama ahadiyah. Semua martabat lainnya berada dibawahnya.

2.. Martabat kedua bernama Martabat ta'yun awal ( awal kenyataan).
Pada tahap wahdah ini mulailah individuasi. Inilah kenyataan Muhammad yang tersembunyi di dalam rahasia Tuhan, didalam cara-cara berada dzatNya. Semua kenyataan belum terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, karena masih terikat satu sama lain dalam cara-cara berada itu. Antara ide yang satu belum ada perbedaan dengan ide yang lain, karena masih tersembunyi di dalam wahdat. Mereka masih terkumpul di dalam (kenyataan) Muhammad yang merupakan awal pemancaran cara-cara berada hakikat sejati. Yang dinamakan wahdah ialah hakikat Muhammad, semua hakikat masih berkumpul dalam martabat wahdah dan belum terpisah-pisah. Martabat wahdah ini dapat di ibaratkan dengan sebutir biji; batang, cabang-cabang dan daun-daunnya masih tersembunyi di dalam biji itu dan belum terpisah-pisah. Batang, cabang-cabang dan daun-daun melambangkan engkau, aku, mereka, sedangkan bijinya tunggal (wahdat).

Masih ada perumpamaan lain, yaitu tinta dalam wadahnya. Semua huruf terkumpul di dalam tinta, huruf yang satu belum dibedakan dari huruf lain. demikian juga dalam wahdah semua huruf, tuhan dan kita, sebelum terpisahkan.

Dari tinta inilah segala sesuatu itu terjadi, gambar rumah, gambar gunung, gambar manusia , batu, angin dan bentuk-bentuk lainnya. Dan Tinta itu bukanlah yang menulis, akan tetapi Dialah Yang menggerakkan, Yang hidup, Kuasa, Yang Gagah, dengan demikian muncullah sifat-sifat "siapa" yang menggoreskan tinta itu. Bisa ditarik kesimpulan bahwa sifat bukan hakikat ketuhanan akan tetapi sifat adalah yang bersandar kepada Dzat Tuhan. Sesuatu yang bersandar
kepada Dzat bukanlah Tuhan, kedudukannya sama halnya dengan tanaman, pohonan, gunung, surga dan neraka, karena semua muncul karena adanya Dzat yang Hidup, dzat-lah Yang menggerakkan semua ini.

Mengetahui Martabat ini disebut wahdat dan hakikat kemuhammadan atau Nur Muhammad artinya cahaya yang penuh pujian Tuhan. Inilah permulaan segala sesuatu, sehingga Allah bisa disifati karena Ia Yang Menciptakan (Al Khaliq), Yang Memelihara (Al hafidz), Yang Perkasa (Al Jabbar), Yang Maha Kuat (Al qawwiyu), Yang Hidup (Al Hayyu) dst, sedangkan sifat itu sendiri bergantung kepada sang Dzat (tidak berdiri sendiri ), oleh karena itu Islam melarang berhenti kepada sifat. Karena sifat itu bukan Dzat itu sendiri. dan untuk mengetahui Dzatullah harus meninggalkan sifat-Nya (mengembalikan kepada martabat pertama, yaitu keadaaan hakikat Tuhan yang belum ada apa-apa ) karena sifat merupakan sesuatu yang bergantung (membutuhkan sandaran) Dan sifat Allah itu masih bisa dirasakan oleh makhluk-Nya seperti Ar
Rahman (Pengasih) Ar Rahiem (Penyayang), Al Qawiyyu ( Kuat) sedangkan sifat itu muncul karena persepsi sang hamba (inna dzanni 'abdi, Aku tergantung persepsi hamba-hamba-KU)

Hal ini digambarkan oleh kaum Hindu sebagai Trimurti (tiga sifat Tuhan yang tidak terpisahkan), yaitu sifat Tuhan Hyang Widi Wasa, dimana ketiga sifat itu tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya yaitu Dewa Brahma (Pencipta/ Al Khaliq), Wisnu ( Pemelihara/ Al Hafidz), Siwa ( Perusak atau pelebur/ Al Jabbar). Kaum Hindu menyadari bahwa Tuhan yang sebenarnya tidak bisa digambarkan dengan pikiran, tidak bisa diserupakan dengan yang lainnya, Aku berada dimana-mana diseluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak terwujud (tidak bisa dibayangkan). Semua makhluk hidup berada didalam diri-Ku(liputan-Ku) tetapi Aku tidak berada di dalam mereka (Bhagavat Gita Sloka 9.0 ) dan tidak boleh menyembah sifatnya seperti tercantum dalam kitab Bhagavat Gita sloka 9.25 : Yanti deva-vranta devan pitrn yanti pitr-vantrah, bhutani yanti bhutejya, yanti mad-yajino 'pimam artinya : orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan diatara para dewa , orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan ditengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu. Dan orang yang menyembah-KU akan hidup bersama-Ku.

Begitu jelas ajaran hindu melarang menyembah dewa-dewa atau sifat-sifat seperti Brahmana, wisnu dan siwa, akan tetapi mereka membatasi diri terhadap sifat-sifatnya saja, mereka menyadari manusia tidak akan pernah sampai kepada Dzat Mutlak tersebut kecuali para Guru Suci, kaum Brahmana yang memiliki kasta lebih tinggi dari pada kaum Sudra dan Vaisa

Sebaliknya Islam menyempurnakannya dengan langsung kepada Dzatullah, tidak berhenti kepada sifat-Nya ,yaitu dengan menafikan (mengabaikan) segala sesuatu kecuali Allah. Laa ilaaha illallah. atau laa syai'un illallah ( tiada sesuatu kecuali Allah) juga terdapat dalam Surat Thaha:14 innanii Ana Allah, laa ilaaha illa ANA, fa'budnii,
sesungguhnya AKU ini Allah, tidak ada Tuhan selain AKU maka sembahlah AKU dan dirikanlah Shalat untuk Menyembah AKU !!

Jelas dengan tegas bahwa Allah mengarahkan kita untuk menyembah DZAT-NYA bukan Nama-Nya bukan Sifat-Nya. Itulah bedanya kaum Hindu dengan Islam. Islam tidak mengenal perantara, seperti tercantum dalam Surat Al; An'am 79 : Sesungguhnya aku hadapkan diriku kepada wajah Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (aku tidak melalui perantara siapapun). Ditegaskan dalam Baghavat Gita sloka 2.61 : orang-orang yang mengekang dan mengendalikan indriya-indriya sepenuhnya dan memusatkan kesadarannya sepenuhnya Kepada-KU, dikenal sebagai orang yang mempunyai kesadaran yang mantap !!


1.. Martabat ta'yun kedua, atau wahidiyat. Yaitu kesatuan yang mengandung kejamakan, tiap-tiap bagian telah jelas batas-batasnya.
Sebagai hakikat manusia. Ibarat ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu secara terperinci, sebagian terpisah dengan lain.

Ketiga martabat tersebut bersifat bathin dan ilahi, terjadi semenjak dari qadim. Urutan kejadian dari ketiganya bersifat akal, bukan perbedaan jaman. Dari ketiga martabat bathin muncullah tiga martabat lahir.

2.. Martabat alam arwah. Merupakan aspek lahir yang masih dalam bentuk mujarrad dan murni.
3.. Martabat alam mitsal, ibarat sesuatu yang telah tersusun dari bagian-bagian, tetapi masih bersifat halus, tidak dapat dipisah-pisahkan.
4.. Martabat alam ajsam (tubuh) Yakni ibarat sesuatu dalam keadaan tersusun secara marteriil telah menerima pemisahan dan dapat dibagi-bagi. Yaitu telah terukur tebal tipisnya.
5.. Martabat Insan, mencakup segala martabat diatasnya, sehingga dalam manusia terkumpul tiga martabat yang sifat bathin dan tiga martabat lahir.
Kalau kita perhatikan ajaran martabat tujuh, pada dasarnya adalah mengungkapkan secara berurutan asal muasal kejadian manusia maupun alam semesta. Didalam pengurutannya Syekh Muhammad Ibnu Fadhilah menempatkan Dzat sebagai hakikat dari segala sesuatu. Karena itu Dzat disebut sebagai la ta'yun tidak bisa dikenal hakikatnya. Keadaan-Nya tidak kenal penyebutan karena segala persepsi tidak bisa menggambarkan keadaan-Nya. Keadaan yang masih belum ada apa-apa, masih awang uwung (ithlaq ), yang wilayah ini digambarkan oleh Al Qur'an sebagai orang yang pingsan ( suatu keadaan yang di alami oleh Nabi Musa As, lihat QS: 7:143)

Inilah objek yang kita tuju, bukan kepada sifat dan Nur-Nya. Kepada Dzat itulah kita kembali innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun, kita memuja, bersujud, kita bergantung !!

Kesadaran ketuhanan ini jarang sekali dipahami masyarakat kita dengan baik, karena sudah dihambat oleh para pengajar (ustadz), bahwa kita tidak boleh langsung kepada Tuhan. Karena Tuhan itu suci, maka harus melalui perantaranya, atau kita hanya sampai kepada cahaya-Nya.
Pendapat ini sering bercampur dengan ajaran hindu yang memang mengajarkan hal serupa yaitu harus melalui birokrasi ketuhanan (wasilah)

Oleh karena itu, apabila manusia dapat mengembangkan kehidupan rohaninya, sehingga dapat memperhatikan ke tujuh martabat tersebut, maka dia akan menjadi manusia sempurna (insan kamil). Sedangkan insan kamil yang paling tinggi dan yang paling sempurna adalah Nabi
Muhammad SAW.

Dasar pandangan yang terdapat pada rumusan martabat tujuh tersebut, adalah paham pantheisme-monoisme. Menurut Muhammad Ibn Fadhilah, bahwa segala yang ada ini dari segi hakikat adalah Tuhan, sedangkan dari segi yang kelihatan secara lahir bukan Tuhan. Sebagai tamsil misalnya uap, air, es, salju dan buih, dari segi hakikat adalah air. Akan tetapi dari wujud lahir bukan air .

Untuk sedikit memahami ajaran ini, saya akan mengajak anda keluar ruangan dan memperhatikan sebuah pohon kacang hijau yang baru tumbuh (kecambah), atau pohon apa saja yang anda lihat di depan rumah anda.

Mari kita perhatikan dengan seksama !!

Berasal dari sebuah biji yang kecil lalu tumbuh bergerak menjadi batang yang tinggi, menjadi pucuk daun, menjadi ranting, menjadi akar, lalu mati ...biji-biji yang lainnya akan berlaku sama seperti itu.., kemudian anda perhatikan Bumi bergerak , bulan bergerak, atom-atom bergerak pada aturan yang harmoni... kemudian anda pandangi seluruh alam semesta, pandangnlah dengan hening .lihatlah alam itu .semuanya bergerak serentak dengan rencana yang baik dan sempurna, ia tidak berdaya mengikuti kemauan yang tidak bisa dibendung dari dalam ..mereka pasrah terhadap gerak yang Yang menggerakkan, mereka tidak bisa menolaknya ..ada sebuah gerak yang meliputi seluruh alam yang tidak kelihatan, yang tidak bisa dijangkau oleh mata dan perasaan. Akan tetapi gerak itu tampak sekali dengan jelas sehingga bumi itu bergerak, matahari bergerak, tumbuhan bergerak, jantung kita bergerak, atom-atom bergerak. SEMUA MENGIKUTI GERAK HAKIKI, bukan kehendak kita . lihatlah sekali lagi dengan seksama, anda akan melihat Yang Menggerakkan, Yang Hidup, Yang Nyata ( Dhohir), Yang Tersembunyi ( Bathin), dan Dialah Yang tidak bisa dijangkau oleh kata-kata dan sifat.

Dan bersujudlah kepada yang Tampak itu, bukan kepada alam semesta yang fana, yang bergantung kepada Sang Hidup, anda akan melihat semua alam bersujud dengan caranya masing-masing kemudian semuanya bertasbih dengan bahasanya yang khusus .

Kemudian lihatlah yang menggerakkan jantung anda, jangan lihat jantungnya. tetapi yang menggerakkan itu, yang amat dekat itu, yang hidup itu, yang kuasa itu, yang lebih dekat dari jantung anda sendiri !! maha suci Engkau..maha suci Engkau. maha Suci Engkau.

(di sarankan apabila anda belum memahami hal ini, jangan diteruskan. saya tidak berani mengupas lebih dalam mengenai hakikat takut salah persepsi. Atau ini cukup dijadikan wacana dan bahan renungan. akan tetapi jika anda penasaran ingin sampai mencapai keadaan tersebut sebaiknya di rencanakan dengan baik agar kita memulai dari yang paling dasar dari sisi keTuhanan dan tidak sekedar main-main mempelajari ilmu hakikat ini apalagi hanya untuk sekedar tahu )

Mudah-mudahan dengan bahasan ini akan mengawali perjalanan kita lebih baik setelah mengerti Dzat dan arah beragama kita, bukan bergejolak dalam retorika ilmu tauhid yang tidak ada habisnya. Akan tetapi mari kita jalani sampai memasuki hakikat yang sebenarnya !

Kesimpulan
Apakah di dalam ajaran tasawuf para sufi harus melalui martabat tujuh ?

Jawab:

Tidak wajib .Akan tetapi disarankan memiliki wawasan ketuhanan yang baik agar kita tidak mudah taqlid kepada orang yang menyelewengkan ajaran ini. Ajaran Martabat tujuh ini baik untuk pegangan atau referensi di dalam perjalanan menuju Tuhan. disamping ilmu-ilmu yang
lainnya sebagai pendukung.
Firman Allah : Hai Manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu , maka pasti kamu akan menemui-Nya (QS . Al Insiqaaq:6)

Insya Allah !!

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar