Islamkah Kita ?

Bookmark and Share
Alkisah, raja Persia yang bernama Tukla, mengunjungi salah satu orang saleh dan berkata, “Kegagalan telah melandaku. Hanya orang miskin yang mendapatkan kekayaan di dunia ini, bila kemuliaan dunia ditinggalkan. Oleh karena itu, kini aku akan habiskan waktuku beribadah agar aku bisa memanfaatkan waktuku yang tersisa bagiku”. Orang saleh yang mendengarkan marah lalu berkata, “Cukup!”. Lalu ia berseru, “Agama bertindak sama dalam memberikan pelayanan kepada manusia; yang pelayanan kepada umat manusia tersebut tidak akan ditemukan dalam tasbih, atau diatas sajadah atau pada pakaian yang compang-camping.

Jadilah seorang raja yang bermoral suci. Berbuatlah dan bukan hanya kata-kata, yang dituntut oleh agama, karena kata-kata tanpa perbuatan adalah kesia-siaan”. Penggalan cerita ini tertulis pada buku berjudul Bustan, salah satu magnus opus-nya Sang penyair besar Persia, Sa’di. Kalu coba kita renungkan, maka pada penggalan tersebut, Sa’di ingin memberikan ‘hikmah’ bahwa : Pertama, agama (dalam artian konsep takdir) bukanlah sebuah upaya justifikasi terhadap gagalnya kita dengan segala upaya kita. Kita sangat sering terjebak pada determinisme yang berujung pada sikap fatalistik, bahwa Tuhan adalah perantara bagi gagalnya kita dalam melakukan sesuatu. Kita sering menisbahkan kesalahan kita kepada Sang Esa tersebut. Bukan sekedar itu, kita juga sering malahan menyalahkan orang lain atas sesuatu yang menimpa kita. Negara kita saat ini dilanda semacam ‘kemiskinan berjamaah’, tetapi oleh sebahagian orang malahan menyalahkan orang-orang miskin tersebut dengan tuduhan malas dan lain sebagainya. Kita terjebak dengan mem-blaming the victim. Mereka adalah korban dari dosa kolektif kita semua. Kita semua bertanggungjawab terhadap masalah tersebut. Menanggulangi masalah kemiskinan juga mnembutuhkan tindakan kolektif, karena itu konsep takdir dalam agama Islam tidaklah berada pada kutub determinisme, apalagi terletak pada free will. Kita adalah co-creator Allah didunia ini, ucap terminologi tashawwuf. Kedua, agama Islam bukanlah sarana ‘onani spiritual’ an sich. Dalam agama Islam, bukanlah pendekatan kepada Allah saja yang harus kita lakukan. Kita punya berbagai kerja dari pengejawantahan misi dan visi Islam sebagai agama pembebasan. Agama Islam memberikan tempat yang sama bagi upaya pendekatan kepada Allah dan pendekatan kepada masyarakat. Muhammad Iqbal menuliskan sebuah perbedaan yang mencolok dari seorang mistikus dengan seorang nabi. Seorang mistikus, katanya, hanya melakukan perjalanan dari dirinya menuju ke Tuhannya semata. Dan puncak perjalanan seorang mistikus adalah ketika ia ‘bertemu’ Tuhannya. Tetapi seorang nabi, melakukan upaya seorang mistikus dalam pendekatan ke Tuhannya dan melakukan upaya pendekatan kepada masyarakatnya. Seorang nabi menawarkan rekayasa budaya, menawarkan rekayasa sosial dan pembentukan paradigma baru bahwa betapa berfikir rasional adalah senjata ampuh dan berfikir irasional adalah kenaifan. Seorang nabi melakukan siklus kehidupan, yaitu menata spiritual dan intelektual untuk aksi sosial yang kesemuanya dibingkai oleh pandangan dunia tauhid. Ketiga, agama yang membebaskan tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada aksi. Kadang teori-teori dan adagium-adagium keagamaan telah menjejal otak kita terlalu banyak sehingga aksi teramat sering kita lupakan. Kita larut mempelajari dan berteori tentang sesuatu, tapi tidak melakukan sesuatu. Untuk hal ini, mungkin kita harus menyepakati Karl Marx yang ‘membenci’ orang yang hanya berfikir tentang hakikat sesuatu, tetapi tidak berusaha untuk melakukan perubahan. Islam adalah penyerahan diri, penyerahan diri adalah keyakinan, keyakinan adalah pembenaran, pembenaran adalah ikrar, ikrar adalah pelaksanaan, dan pelaksanaan adalah amal perbuatan.

Kita harus mulai belajar untuk memisahkan ajaran agama Islam yang rasional dan rasionalisasi ajaran agama Islam oleh manusia. Ada perbedaan signifikan terhadap ajaran agama Islam yang esensial dan membebaskan dengan ajaran agama Islam yang tampak sekarang bahwa seakan-akan tidak membebaskan dan terkurung pada pemahaman sempit yang berangkat dari beda-beda mazhab yang secara malang, hal itu dilakoni dengan fanatik. Dan terciptalah agama yang anti pada keterbukaan dan sarang anti pembebasan. Memotret Indonesia kita, maka memang harus kita akui bahwa ada semacam ‘paradoksal faktual’. Kita dapat lihat betapa unsur-unsur spiritualitas mengalami eskalasi yang cukup signifikan dengan menjamurnya pengajian-pengajian dan pusat-pusat pengkajian Islam. Hal ini mengingatkan kita pada ramalan John Naissbit bahwa dipenghujung abad 20 akan ada peningkatan perasaan keagamaan. Tetapi juga kita harus melihat secara faktual bahwa terjadi peningkatan kekerasan, terjadi peningkatan kejahatan-kejahatan yang mungkin dapat kita simpulkan bahwa berbanding lurus dengan kenyataan peningkatan spiritualitas. Kita dibanjiri dengan buku-buku yang membawa kita pada dunia spiritualitas tetapi kita juga dibanjiri dengan buku-buku, tabloid-tabloid ataupun koran-koran yang mengantar kita pada dunia pornografis yang rendahan. Kita belum juga membicarakan dunia cyber.Pertanyaan sekarang adalah Islamkah kita ? Atau kita hanya mengaku beragama Islam ? Ataukah kita adalah beragama Islam oleh kultur yang terbentuk secara turun-temurun oleh keluarga kita yang secara kebetulan mengecap agama Islam ? Ataukah kita adalah Islam yang rasional dengan penangkapan esensi Islam secara tepat ? Tentu yang kita harusnya akui adalah yang terakhir, namun sudahkah kita mengetahui Islam esensial yang indah tersebut ? Dan setelah kita tahu apa yang harus kita lakukan untuk menembak realitas sekarang menggunakan ‘episteme’ realitas keagamaan Rasulullah di limabelas abad yang lalu tersebut ? Tugas kita memang mencari. Mencari Islam esensial untuk menemukan metodologi yang tepat, lalu mencoba melanjutkan misi profetik kenabian untuk melakukan rekayasa sosial untuk mencapai masyarakat madani. Selamat mencari…! Wallahu a’lam Bishshawab



{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar